2 1. New Grade

Hari ini seharusnya tidak terlalu buruk. Memang pagi tadi Kurnia harus bangun pagi dengan susah payah berhubung hari ini libur panjang telah berakhir. Tetapi karena hari ini masih hari pertama di tahun ajaran baru, sekolah usai lebih awal, dan yang terpenting; tidak ada pekerjaan rumah.

Ya, hari ini seharusnya tidak terlalu buruk, sampai Aristo bersama komplotannya lewat di antara meja-meja di kantin.

Dan sialnya, pemuda itu menangkap kehadiran Kurnia bersama dua orang temannya di kantin. Aristo langsung berpisah dari komplotannya dan berjalan menuju meja Kurnia.

Tsk.

"Hei."

"Apaan."

Kurnia—serius—malas setengah mati. Tanpa sadar ia menggigit-gigit roti bakar di tangannya seperti tikus menggerogoti kabel.

Aristo yang kini sudah memakai celana abu-abu itu duduk seenaknya di kursi yang terletak di samping Kurnia. Sementara dua orang teman Kurnia yang lain hanya memandang sedikit heran—mereka masih ingat samar-samar kalau kakak kelas yang sedang duduk semeja dengan mereka sekarang ini pernah beberapa kali terlibat masalah kecil dengan Kurnia.

"Kakak lo sekolah di mana sekarang?"

Kurnia memutar bola mata. Sudah ia duga kalau pembicaraan ini tidak akan jauh-jauh dari topik Diandra.

Sebelah alis Aristo terangkat ketika Kurnia tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Kenapa? Masih nggak mau ngasih tahu?"

Kurnia mendecak, menelan kunyahan roti di mulutnya kemudian menjawab, "SMA Suryajaya."

"Whoa, yang favorit itu?"

Kurnia mengangguk malas.

Aristo menghela napas kecewa. "Yaah, jadi dia memang nggak masuk ke Pelita, huh. Pantesan aja dari tadi gue cari dia di seluruh sudut sekolah, nggak ada. Tahunya dia nggak satu sekolah sama gue. Lo sih, nggak mau kasih tahu gue nama sekolah incaran Diandra."

Kurnia mendelik. "Kok gue?" protesnya. "Kakak gue yang nyuruh supaya gue jangan kasih tahu lo. Dia nggak mau kalo sampai satu sekolahan sama lo. Kalo gue sih nggak peduli. Diberitahu pun gue nggak yakin kalo lo bakal lulus tes masuk."

"Anjir lo bocah. Lo kira—"

"To!"

"Aristo!"

Ucapan Aristo terhenti ketika teman-temannya memanggilnya. Pemuda itu mendecak lalu langsung meninggalkan meja Kurnia tanpa mengatakan apa pun.

Kurnia menatap jengkel punggung Aristo yang menyandang ransel marun—yang berlalu bersama teman-temannya.

"Itu kakak kelas yang waktu itu bermasalah sama lo, Kur?"

Kurnia berdecak mengiyakan.

"Yang ditanya dia tadi—Diandra, itu maksudnya kakak lo?"

"Iya."

"Dia ngegebet kakak lo?"

"Sialnya, iya. Sakit kepala gue. Dia jadi sering nanya-nanya soal Diandra sama gue. Ganggu banget tuh orang."

Kurnia mendengus jengkel ketika teman-temannya tergelak.

———————————————————————

"Din, tadi gue ketemu si Aristo di sekolah."

Diandra mengernyit. Menelan nasi di mulutnya lalu meneguk air putih. "Ketemu di sekolah? Oh, jadi dia masuk SMA Pelita?"

Kurnia mengangguk sambil mengaduk-aduk nasi di piringnya. Mendadak jengkel ketika melihat wajah lega kakaknya. "Senang deh lu."

Diandra menyeringai. Tentu saja dia senang. Itu berarti, besok dia sudah dijamin tidak akan melihat batang hidung Aristo di hari pertamanya di sekolah. Awalnya gadis itu memang sempat khawatir kalau-kalau Aristo berhasil melacak sekolah incarannya dan berhasil masuk. Secara, cowok sinting itu sepertinya jago nge-stalk.

"Lo sih enak. Lah, gue," Kurnia masih misuh-misuh, "apa lo nggak bisa terima aja si bedebah itu? Gue bakalan naik tensi kalo tiap hari dia datang ke rumah. Mana lo pake acara ngurung diri di kamar lagi kalo dia datang. Gue yang sengsara."

Diandra tertawa pendek. Terdengar seperti kekehan setan di telinga Kurnia.

"Hadapin aja deh, gue saranin. Coba akrab sama dia, jadi lo nggak bakal terbebanin setiap kali dia datang."

"Bacot lo." Kurnia menusuk-nusuk daging ikannya dengan ganas. "Gue nggak mau dengar saran semacam itu dari mulut orang yang bahkan nggak mau menghadapi masalahnya sendiri," sindirnya. "Lagian gue nggak mungkin bisa akrab sama dia. Dia pernah bermasalah sama gue."

Kedua alis Diandra spontan terangkat. "Hah?"

"Nah 'kan, lo memang nggak pernah peduli sama keadaan adik kandung lo sendiri di sekolah. Lo kira kenapa gue bisa langsung tahu siapa orang brengsek yang nyium lo saat lo sebutin namanya? Lo kira gue tahu dia karena dia ganteng? Yang benar aja, memangnya gue cewek."

"Ck, lo juga gak pernah cerita sama gue 'kan." Diandra mendecak jengkel karena Kurnia membuatnya kembali teringat dengan tragedi di perpustakaan.

"Memangnya masalah apaan?"

"Yah, nggak serius sih. Cuma masalah cewek aja. Tapi kami udah pernah bermasalah lebih dari sekali."

"O-oh." Diandra seketika teringat. "Masalah yang waktu itu lo di bawa ke kantor BP karena hampir adu jotos sama senior cuma gara-gara cewek? Jadi yang mau lo jotos waktu itu si Filo?"

Kurnia mengiyakan dengan malas.

"Heh, lo sih, buat malu aja. Masalah nggak penting juga. Mendingan lo banyak belajar daripada pacaran."

Terserah, pikir Kurnia. Anak itu kemudian melanjutkan topik awalnya. "Jadi, tadi dia nanyain di mana lo sekolah. Dan gue jawab—"

"Oh, udah nggak apa-apa. Nggak mungkin juga 'kan dia pindah sekolah cuma gara-gara mau ngejar gue,"potong Diandra santai.

"—bukan itu maksud gue, keong." Kurnia menatap kakaknya sebal. "Kalo dia udah tahu kalo kalian nggak satu sekolahan, pasti dia jadi bakal lebih sering datang ke rumah."

"Uh-huh?"

"Jadi gue mau minta lo—Diandra, Kakanda yang terhormat—buat menyelesaikan urusan kalian secepatnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

"Gue nggak ingat punya urusan sama dia."

"Tapi dia punya, dodol!"

Kurnia merasa darah naik ke ubun-ubunnya ketika melihat tampang kakaknya yang cueknya minta ampun.

Diandra menghela napas. "Asal lo tahu aja, sekali pun gue usir dia berkali-kali, dia tetap bakalan datang. Dia keras kepalanya keterlaluan."

"Tapi 'kan lo bisa—Din! Woi, Kak!"

Kurnia hanya bisa mengerang kesal ketika Diandra meninggalkan meja makan dengan sikap acuh tak acuh.

avataravatar
Next chapter