3 MASA LALU MAREY MEGAN

"Dean Luther! kenapa dia kembali?" ucap Marey dalam hati dengan tangan gemetar saat menerima bunga itu. Hati Marey telah terisi dengan kebencian yang sangat mendalam.

"Ada apa Rey? kenapa wajahmu sangat terkejut? ada apa dengan bunga itu?" tanya Luis saat melihat wajah Marey yang tiba-tiba menjadi di pucat.

"Tidak apa-apa, mungkin ini ini hanya kebetulan saja." jawab Marey dengan suara sangat pelan.

"Kalau hanya kebetulan saja, kenapa wajahmu begitu pucat? apa ada sesuatu dengan bunga itu? coba...sekarang lihat siapa pengirimnya? kamu bisa memastikannya dari situ." ucap Luis menatap penuh wajah Marey.

"Tidak perlu...aku yakin pengirimnya adalah orang yang iseng saja. Karena yang aku tahu seseorang yang suka bunga itu telah mati dan tidak akan pernah hidup kembali." ucap Marey dengan menahan kesedihan yang mendalam.

"Coba biar aku yang lihat siapa pengirimnya." ucap Luis seraya merebut bunga itu dari tangan Marey.

"Lihat Rey, yang mengirim bunga itu adalah Dean Luther. Apa kamu mengenal Dean Luther?" tanya Luis dengan penasaran.

"Aku tidak mengenalnya, dan kamu! aku harap tidak perlu ikut campur dengan urusanku." ucap Marey sambil mendorong kursi rodanya masuk ke dalam ruangannya.

Luis menatap bunga itu dengan memegang sebuah kartu itu di tangannya dengan atas nama Dean Luther.

Bergegas Luis menyusul Marey yang meninggalkannya sendiri.

"Marey...kamu jangan marah padaku. Aku minta maaf, aku hanya ingin tahu saja kenapa kamu terlihat pucat dan marah setelah melihat bunga itu. aku menguatirkan dirimu Marey." ucap Luis mendekati Marey yang sudah fokus kembali bekerja.

"Kamu sudah sehat kan? kalau kamu sudah sehat sebaiknya kamu sekarang bekerja. Kalau masih belum sehat kamu bisa ke ruang kesehatan atau di sini dengan syarat duduk dan tanpa bicara." ucap Marey bicara pada Luis dengan sangat jelas namun dengan pandangannya fokus mengarah layar laptop.

Luis menghela nafas panjang, sangat tahu Marey sangat marah padanya.

Tanpa bicara Luis duduk di sofa dan hanya bisa menatap wajah Marey yang terlihat sangat menyedihkan.

"Ada apa kamu menatapku?" tanya Marey setelah hampir dua jam Luis tidak bicara dan hanya menatapnya.

"Aku melihatmu bekerja." jawab Luis apa adanya karena Marey menyuruhnya untuk diam tanpa boleh bicara.

"Kamu...Aahhh!!! kamu membuatku semakin stress. Sebaiknya kamu pulang saja, besok kamu kembali dan langsung bekerja ke lantai dan jangan ke sini!" ucap Marey dengan hati semakin tertekan dengan adanya Luis yang selalu mengikutinya.

"Aku sudah menuruti apa katamu dengan duduk diam, tapi kamu tetap marah juga..aku rasa...aku harus lebih banyak memperhatikan kamu, agar kamu tidak marah-marah terus." ucap Luis dengan sebuah senyuman.

"Bisa tidak! kamu tidak bicara dengan membual dan penuh rayuan gombal! di sini bukan tempat untuk tebar pesona tahu!" ucap Marey semakin kesal tingkat dewa.

"Aku tidak membual dan merayu Marey cantik, dan aku juga tidak tebar pesona... karena aku hanya melakukannya padamu." ucap Luis dengan tatapan serius.

"Kamu!... hiks.. hiks...hiks, apa bisa kamu tidak mengganguku? aku sudah sakit dengan jalan hidupku, dan sekarang lebih memperdalam rasa sakitku." ucap Marey tiba-tiba menangis dengan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Luis menatap iba wajah Marey yang terlihat lelah. Luis yakin Marey di malam hari tidak busa tidur dengan baik, karena di kedua matanya terdapat kantung berwarna hitam.

"Marey, maafkan aku...kamu jangan menangis, jangan lagi menangisi masa lalumu. Masa depanmu masih panjang, kamu harus bahagia dengan orang yang mencintaimu dan yang kamu cintai." ucap Luis dengan suara bergetar seolah-olah ikut merasakan rasa sakitnya Marey.

"Aku sudah tidak bisa mencintai siapapun lagi, cintaku sudah di bawa oleh Dean saat dia meninggal dan terkubur di dalam tanah yang menjadi saksi cintaku padanya. Bagaimana rasanya bertahun-tahun duduk di kursi roda pesakitan ini? aku merasa sakit dan kesepian dalam kesendirian yang panjang. Dan di saat aku sudah mulai bangkit, satu bulan yang lalu aku mendengar dari sahabatnya yang masih saudara sepupunya kalau Dean sebenarnya masih hidup dan dia pulang dari luar negeri. Kamu bisa bayangkan.. bagaimana aku bisa menerima itu, karena kematiannya aku rela menderita bertahun-tahun dan ternyata kematiannya adalah palsu. Apakah perasaan dan cintaku begitu tidak penting bagi dia? karena dia anak orang kaya dan seenaknya mempermainkan perasaanku. Aku sangat membencinya, sangat membencinya dan selama hidupku aku tidak akan memaafkannya walau dalam keadaan mati sekalipun." ucap Marey bercerita di sela-sela Isak tangisnya.

Luis merengkuh punggung Marey yang masih terguncang-guncang karena isak tangisnya.

Kedua mata Luis ikut berkaca-kaca seolah-olah ikut merasakan rasa sakit yang sama.

"Jangan menangis lagi Marey, kamu harus yakin mungkin dia melakukan hal itu karena ada alasan yang sangat penting. Apa sejak Dean kembali kamu sudah bertemu dengannya?" tanya Luis seraya mengusap pelan punggung Marey.

"Tidak, sepertinya dia sembunyi dariku. Dia tidak pernah keluar dari rumah besarnya yang tertutup rapat dengan pagar besi yang tinggi. Dan lagi aku sudah bersumpah aku tidak ingin melihatnya lagi karena bagiku Dean sudah mati seperti terakhir saat aku melihatnya terkubur di dalam tanah." ucap Marey dengan kedua matanya mengalir perlahan setelah hatinya mulai sedikit tenang.

Entah kenapa dalam rengkuhan tubuh kurus Luis yang terlihat ringkih tapi kuat, Marey merasa sedikit tenang dan nyaman.

"Apakah kamu sudah tenang sekarang Rey?" tanya Luis seraya mengusap air mata terakhir Marey.

"Terima kasih, aku sudah sedikit tenang. Dan maafkan aku..jadi cengeng di hadapanmu." ucap Marey kembali menegakkan punggungnya dan menatap Luis yang masih berjongkok di hadapannya.

"Aku tidak apa-apa, selama kamu masih memerlukan sandaran bahu dan dada untuk menumpahkan kesedihanmu aku siap dua puluh empat jam untukmu nona cantik." ucap Luis dengan tersenyum.

"Terima kasih Luis...namamu Luis kan?" tanya Marey yang dari pertama sama sekali tidak memanggil nama Luis.

"Ya...panggil saja Luis." sahut Luis dengan sedikit terdiam sebelum dia bangun dari duduknya.

"Luis, sebaiknya kamu pulang sekarang dan istirahat, karena besok pagi kamu harus bekerja keras untuk pengiriman paket." ucap Marey yang sudah sadar dengan keadaannya.

"Baiklah...aku akan pulang, tapi bolehkah aku besok pagi menjemputmu?" tanya Luis dengan tatapan memohon.

"Memang kamu tahu rumahku? hingga kamu berniat menjemputku?" tanya Marey dengan tatapan heran.

"Jangan terkejut seperti itu! aku sebenarnya tetangga samping rumahmu. Aku baru pindah dan sudah dua minggu aku tinggal, kamu saja yang tidak melihat ke kanan dan ke kiri kalau keluar masuk rumah." jelas Luis dengan tertawa lirih.

"Benarkah Luis? ahhh.. maafkan aku. Kamu pasti mengira aku wanita yang sombong karena tidak melihat ke kiri dan kanan, itu semua karena memang aku fokus dengan kursi roda dan jalanku saja, kalau aku tidak fokus aku bisa jatuh seperti kejadian tadi yang hampir terjatuh. Untung ada kamu yang bantu sampai tangan kamu terluka karenanya." ucap Marey dengan sebuah senyuman.

avataravatar
Next chapter