13 KETAKUTAN MAREY

"Luis, Luis! Mengapa kamu diam saja? katakan sesuatu jangan membuatku takut! " panggil Marey beberapa kali sambil mengusap wajah Dean yang terlihat pucat.

Dalam keadaan setengah sadar Dean memeluk Marey dengan erat. Marey semakin cemas mengusap punggung tangan Dean yang dingin secara berulang-ulang.

"Luis, buka matamu Luis kamu kenapa? apa yang kamu rasakan? apa yang terjadi padamu Luis?" tanya Marey sambil menangis sedih merasa takut kehilangan Dean.

"Marey." panggil Dean dengan suara meracau memanggil nama Marey.

"Luis, aku panggil Dokter ya? aku takut melihat keadaanmu seperti ini." ucap Marey mengusap wajah Dean yang setengah tersadar.

"Jangan Marey, aku tidak apa-apa. Aku akan tenang di sini bersamamu." Ucap Dean dengan suara lemah, matanya masih setengah terpejam, dengan wajah dan bibir yang sangat pucat.

"Kalau aku tidak memanggil Dokter, sakitmu akan semakin parah Luis. Kamu harus mendengarkan aku." ucap Marey dengan suara tertahan, ingin sekali berteriak mengeluarkan rasa sesak yang ada di dalam dadanya. Perasaan bersalah semakin mencengkeram hati Marey tidak tega melihat keadaan Dean.

"Aku hanya sedikit kesakitan Marey, aku tidak apa-apa. Bisakah kamu memelukku lebih erat Marey. Aku merasa kedinginan Marey." ucap Dean berusaha menahan rasa sakitnya agar Marey tidak terlalu kuatir padanya.

Dengan penuh kesedihan Marey memeluk Dean lebih erat, Dean menangis dalam hati menahan dadanya yang semakin terasa sakit.

"Luis, berbaringlah...aku akan menggosok tubuhmu dengan minyak kayu putih biar hangat dan tidak kedinginan." ucap Marey seraya membaringkan Dean dengan pelan. Dengan telaten Marey menggosokkan minyak kayu putih yang di ambilnya dari dalam tasnya ke area leher, perut, dan telapak kaki Dean. Kemudian Marey mengambil selimut tebal dan menyelimuti tubuh Dean agar merasa hangat.

"Sekarang berusahalah untuk tidur, tapi kamu harus minum dulu obat anti nyerinya." ucap Marey sambil memberikan obat nyeri dan demam pada Dean.

"Sekarang tidurlah Luis." ucap Marey lagi, setelah Dean meminum obatnya.

"Bagaimana aku bisa tidur Marey, aku takut saat aku tidur aku tidak bisa bangun lagi." ucap Dean menatap Marey yang merapikan selimutnya.

"Jangan bicara seperti itu Luis, tidak akan terjadi sesuatu padamu. Pejamkan matamu sekarang. Aku ada di sini menemanimu, sampai kamu bangun." sahut Marey berusaha menenangkan hati Dean.

Mata Dean terpejam namun gerakan wajahnya terlihat gelisah, selimut yang tebal sepertinya tak bisa menghalau rasa dinginnya.

Tubuhnya terlihat gemetar, wajah Dean yang pucat terlihat menahan sakit yang sangat. Dengan tubuh yang meringkuk, Dean menahan rasa yang sakit secara bersamaan terasa di dadanya dan di perutnya, serta semua persendiannya terasa melemah.

Dean menahan rasa sakitnya, tak ingin rasa sakitnya membuat Marey cemas seperti hari-hari sebelumnya.

Tangan Dean meremas ujung guling yang di peluknya, airmatapun menetes di ujung mata Dean karena tak tahan dengan rasa sakitnya.

Tak sengaja Marey melihat punggung Dean bergetar, hati Marey semakin bersalah melihatnya.

Marey memegang kening Dean, di mana tubuh Dean sangat dingin sekali.

Wajah Dean sangat pucat, bibirnya bawahnya bergetar, tampak airmata mengalir di ujung matanya.

"Apa yang terjadi padamu sekarang Dean." jerit hati Marey, saat Dean menatapnya dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.

Di singkirkannya selimut yang menutup tubuh Dean, terlihat jelas tubuh Dean menggigil kedinginan dengan kedua tangan yang mencengkaram kuat di dadanya.

"Bagaimana ini, aku kesulitan untuk naik ke atas tempat tidur. Tapi aku harus berusaha demi Dean." ucap Marey berusaha untuk menggerakkan kakinya untuk berdiri dan naik ke atas tempat tidur.

Dengan susah payah akhirnya Marey bisa naik ke atas tempat tidur, dan memeluk tubuh Dean yang menggigil kedinginan.

Marey mengangkat punggung dan kepala Dean ke dalam pangkuannya, kemudian kembali memeluk Dean dengan sangat erat.

Dean merespon apa yang di lakukan Marey padanya. Tanpa bersuara kepala Dean menyusup ke dalam dada Marey, dengan kedua tangannya memeluk pinggang Marey.

Marey mengusap lembut punggung Dean. Marey sudah tak tahan melihat penderitaan yang di alami Dean.

Rasa takut kehilangan Dean semakin membuat dadanya semakin sesak. Airmata Marey mengalir tanpa ada suara. Setetes jatuh ke dalam wajah Dean dan Dean merasakan sesuatu yang basah mengenai wajahnya, terasa hangat terkena kulitnya yang dingin.

Perlahan Dean membuka matanya, menatap wajah Marey yang tepat di atas wajahnya.

"Kamu menangis lagi Marey? apa aku membuatmu cemas?" suara Dean terdengar berat.

Segera Marey menghapus airmatanya dengan cepat, menggelengkan kepalanya seraya tersenyum sedih.

"Aku tidak menangis Luis, dan aku juga tidak cemas. Melihatmu yang sangat kuat, dan selalu tersenyum, kenapa aku harus menangis?" ucap Marey dengan suara tertahan.

"Aku bisa kuat, dan bisa bertahan sampai saat ini karena ada kamu Marey. Aku ingin sembuh agar bisa bersamamu untuk membahagiakanmu di sisa hidupku." ucap suara Luis dengan senyum lemah di sela sudut bibirnya.

"Aku sudah bersamamu bukan? kamu harus sembuh demi aku." balas Marey dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Tentu Marey, aku akan berusaha untuk sembuh. Demi kamu Marey." ucap Dean sedikit menggoda Marey agar tidak larut dalam rasa sedih dan cemasnya.

Rasa sakit yang di rasakan Dean sedikit berkurang saat Marey memeluk dan mengusap punggungnya dengan lembut.

Rasa dingin yang menyerangnya berangsur hangat saat Marey mendekapnya semakin erat.

"Aku berjanji padamu Marey, aku tidak akan membuat cemas atau bersedih lagi, aku akan bertahan demi dirimu." ucap Dean dalam hati.

"Aku senang mendengarnya Luis. Sekarang, apa kamu tidak ingin tidur?" tanya Marey dengan tatapan penuh.

"Ya Marey, aku sudah mengantuk...kamu tidur di sini ya? temani aku." lanjut Dean sambil menatap wajah Marey yang tampak terlihat lelah.

"Em... baiklah, tapi aku tidur di sofa ya?" ucap Marey seraya mengangkat kepala Dean dari pangkuannya dan menggantikannya dengan sebuah bantal.

"Tidurlah sekarang Luis...aku akan menjagamu." ucap Marey sambil mengecup kening Dean.

"Marey, aku mencintaimu." ucap Dean menatap dalam wajah Marey dengan tatapan penuh cinta.

Marey tersenyum mengusap lembut wajah Dean kemudian berusaha untuk turun dan kembali ke kursi rodanya. Kelumpuhan Marey tidaklah permanen masih bisa di gerakkan namun sangat lemah dan masih belum kuat untuk berdiri.

"Marey." panggil Dean dengan wajah terlihat serius.

"Ya Luis, ada apa? apa kamu masih memerlukan sesuatu?" tanya Marey berbalik dan mendekati Dean setelah duduk di kursi rodanya.

"Apa kamu masih belum mencintaiku Marey? apa kamu masih mencintai Dean mantan kekasihmu?" tanya Dean dengan perasaan sedih.

Marey terdiam, menatap lembut wajah Dean yang masih terlihat pucat.

"Kenapa kamu diam Marey, apa kamu masih membenci Dean?" tanya Dean lagi berharap Marey sudah tidak membencinya.

"Kamu ingin sekali mendengar jawabanku Luis? apa kamu penasaran dengan perasaan hatiku?" tanya Marey dengan sebuah senyuman.

"Tentu Marey, kita sudah menjadi sepasang kekasih. Apa kekasihku tidak mencintaiku sama sekali. Kalau kamu tidak mencintaiku, kenapa kamu menangis dan mencemaskan aku?" tanya Dean dengan tatapan dalam.

"Baiklah Tuan Luis, dengarkan aku ya." ucap Marey menggantung ucapannya dengan tersenyum dan tatapan menggoda.

avataravatar
Next chapter