5 APA KAMU BAIK-BAIK SAJA (1)

"Apa dia tampan seperti aku Rey?" tanya Luis dengan nada menggoda.

"Hm...apa kamu mau bilang kalau wajah kamu tampan?" tanya Marey sambil memicingkan matanya.

"Kata teman-temanku wajahku terbilang tampan, tapi tidak tahu kalau menurutmu. Apa menurutmu aku tampan?" tanya Luis menatap penuh wajah Marey.

"Hmm...aku tidak bisa menilai seseorang dari wajahnya, aku hanya bisa lihat dari hatinya saja." ucap Marey dengan jujur.

"Wuihhh! syukurlah kalau begitu... setidaknya walau Dean lebih tampan daripada aku, tapi hatiku lebih baik daripada Dean yang telah tega membuatmu menangis." ucap Luis sambil menyerahkan pekerjaannya yang telah selesai.

Tubuh Luis mulai lelah dan sedikit merasa demam jika terlalu capek, apalagi dengan terlambat minum obatnya.

"Apa hanya ini saja yang aku harus aku selesaikan Rey?" tanya Luis menatap Marey yang sedang memeriksa pekerjaannya.

"Eumm, kamu sangat teliti sekali Luis. Aku suka dengan hasil kerjamu." ucap Marey dengan tatapan puas.

"Syukurlah...ayo kita pulang, aku masih ada pekerjaan di rumah Rey." ucap Luis sudah tidak bisa menahan rasa sakit pada luka di tangannya.

"Sebentar Luis, aku mau ke kamar kecil dulu." ucap Marey sambil mendorong kursinya ke kamar kecil.

Luis bersandar di kepala sofa, tubuhnya terasa sangat lemah.

"Ya Tuhan, bagaimana aku bekerja besok sebagai kurir padahal kondisiku tidak mungkin untuk bekerja berat." ucap Luis merasa demamnya naik karena infeksi pada lukanya.

"Ayo Luis, kita pulang." ucap Marey yang sudah menunggunya di pintu keluar.

Luis menatap Marey dengan matanya yang sedikit berkunang-kunang.

"Luis? apa kamu sakit? wajah kamu terlihat pucat?" tanya Marey menatap curiga pada Luis.

"Aku hanya sedikit demam saja, mungkin karena luka di tanganku infeksi." ucap Luis seraya berdiri dengan sekuat tenaga agar tidak pingsan di hadapan Marey.

"Kamu sudah minum obat kan?" tanya Marey sedikit kuatir melihat keadaan Luis yang terlihat kelelahan dengan wajahnya yang pucat.

"Nanti di rumah saja." ucap Luis tersenyum kemudian berpegangan pada pegangan kursi roda Marey.

"Kamu bawa kendaraan apa Luis?" tanya Marey mendongakkan wajahnya menatap Luis yang mendorongnya.

"Bawa motor, kenapa Rey? apa kamu tidak suka?" tanya Luis semakin lemas.

"Suka kok, tapi aku tidak tahu bagaimana aku bisa naik ke motor kamu dengan kakiku yang lumpuh ini dan kursi rodaku bagaimana?" tanya Marey dengan tersenyum.

"Ya Tuhan Rey... maafkan aku. Kenapa aku melupakan hal itu." ucap Luis berpikir keras bagaimana caranya agar bisa pulang dengan Marey.

"Biar aku naik taxi saja Luis, biasanya aku juga naik taxi." ucap Marey berusaha menerima keadaannya karena memang kenyataannya seperti itu.

"Oh, begitu ya...baiklah, aku panggil taxi dulu." ucap Luis berlari ke pinggir jalan untuk memanggil taxi.

Sebuah taxi dan berhenti, Luis menatap Marey.

"Ayo Marey masuk." ucap Luis meminta pada Marey untuk segera masuk ke dalam taxi.

Setelah membantu Marey masuk ke dalam taxi dan meletakkan kursi rodanya di bagasi mobil, Luis pun masuk ke dalam taxi.

"Luis? kenapa kamu ikut masuk ke sini? bukannya kamu bawa motor?" tanya Marey dengan tatapan matanya yang tak percaya.

"Bukannya sudah aku bilang, kita akan pulang bersama." jawab Luis tersenyum dengan tubuhnya yang semakin demam.

"Baiklah aku rasa, aku harus mengalah pada kamu yang punya otak sedikit gesrek." ucap Marey dengan senyum tertahan.

"Tidak apa-apa sedikit punya otak gesrek, yang penting sangat sayang sama kamu." ucap Luis sambil bersandar untuk melepasnya lelahnya kemudian memejamkan matanya agar tidak terlalu pusing.

Marey mengamati wajah Luis dengan seksama. Wajah tampan yang pucat.. berkulit putih bersih, hidung mancung dengan kedua mata yang agak sipit dan teduh seperti milik Dean tapi bola mata Dean coklat sedang Luis kebiruan. Tapi secara keseluruhan wajah Luis berbeda dengan wajah Dean.

"Ya Tuhan! kenapa aku jadi mengingat Dean pada diri Luis? padahal sudah sangat jelas Luis dan Dean adalah orang yang beda?" ucap Marey dalam hati sambil menghela nafas panjang mengusir kegundahannya.

Kembali Marey menatap ke arah jalan yang sudah tidak akan lama lagi akan sampai.

"Nona, sudah tiba di tujuan." ucap Sopir taxi keluar dari mobil untuk membantu mengeluarkan kursi roda yang ada di dalam bagasi.

"Luis, bangun." panggil Marey dengan suara pelan menyentuh punggung tangan Luis.

Seketika Marey menarik tangannya dengan cepat saat telapak tangannya merasakan panasnya punggung tangan Luis.

"Luis kamu demam, apa karena tanganmu yang terluka?" gumam Marey menjadi cemas karena dia sangat tahu tangan Luis terluka karena dirinyalah penyebabnya.

"Tuan! bisa minta tolong untuk membantu saya untuk duduk di kursi?" pinta Marey para sopir taxi.

"Tentu Nona." sahut sopir taxi dengan senang hati membantu Marey.

"Terima kasih Tuan... bisakah saya minta tolong lagi untuk membawa teman saya masuk ke dalam rumah saya? teman saya sepertinya demam tinggi dan tidak bisa bangun." ucap Marey dengan tatapan memohon.

"Tentu Nona, jangan kuatir pasti akan saya bantu. Bukannya kita harus saling tolong menolong pada sesama." ucap sopir taxi itu dengan tersenyum.

Marey menjalankan kursinya masuk ke dalam rumah untuk memanggil adik laki-lakinya Max. untuk ikut membantu Sopir taxi membawa Luis masuk ke dalam rumah.

Dengan susah payah akhirnya Luis di baringkan di sofa panjang di ruang keluarga.

"Terima kasih Tuan." ucap Marey pada sopir taxi seraya memberi uang seratus ribu.

Sopir taxi itu pun mengucapkan terima kasih kemudian pergi meninggalkan Marey yang masih berdiri dengan Max.

"Siapa dia Rey?" tanya Max dengan penasaran karena baru kali ini Marey membawa seorang laki-laki ke dalam rumah sejak kematian Dean pacar Marey.

"Dia Luis tetangga kita sebelah." ucap Marey menjelaskan pada Max agar tidak salah paham.

"Ohh... laki-laki itu ya? aku sekilas melihatnya jadi tidak terlalu jelas dengan wajahnya. Kata teman-teman dia laki-laki yang ramah." ucap Max memberikan pendapat dari teman-temannya yang sudah mengenal Luis.

"Emm Max, Papi dan Mami apa belum datang?" tanya Marey seraya meletakkan tasnya di atas meja.

"Belum Rey, mungkin tiga hari lagi pulang." jawab Max yang sudah terbiasa di tinggal orang tuanya yang bekerja sebagai guide di sebuah agen perjalanan yang cukup besar di kotanya.

"Ohhh...ya sudah, Max bisa ambilkan air di baskom dan handuk kecil di belakang?" pinta Marey setelah meraba kening Luis yang semakin tinggi demamnya.

Tanpa membantah ucapan Marey, segera Max ke belakang menjalankan tugas dari Marey.

"Ini Rey." ucap Max setelah beberapa saat datang dengan membawa sebaskom air dan handuk.

Dengan penuh perhatian Marey mengompres kening Luis dengan handuk yang sudah basah.

"Mareyyy...." panggil Luis dalam demamnya.

avataravatar
Next chapter