Menceritakan seorang pria yang mencintai santriwati di pesantren darussalam. Dia bernama Irfandi yang merupakan cucu dari pak kyai Abdullah & adik atau saudara kembar dari Arfan. Irfandi di kirim oleh ayah nya karena masalah sepele yaitu membolos sekolah.
Solo
Di rumah pak Krisna
Di ruang keluarga..
"Nduk, bener panjenengan panggah karep sinau neng pesantren ?"
(Nak, benar kamu tetap ingin belajar di pesantren ?), tanya bu Dewi.
"Inggih bude, Titah karep sinau neng pesantren darussalam iseh wae, Titah luwih anteng neng kana"
(Iya bude, Titah ingin belajar di pesantren darussalam lagi saja, Titah lebih tenang di sana), jawab Titah.
"Nanging nduk.."
(Tapi nak..), keluh bu Dewi yang mendengar jawaban dari Titah.
"Sampun mah, biarkan wae Titah sinau neng pesantren darussalam iseh, kuwi memang kemauannya ta, dheweke anak adik awake satu-satunya loh mah, mama eling mboten almarhum dik Nano sebelum beliau meninggal donya berpesan apa nang awake ?"
(Sudah mah, biarkan saja Titah belajar di pesantren darussalam lagi, itu memang kemauannya kan, dia anak adik kita satu-satunya loh mah, mama ingat tidak almarhum dik Nano sebelum beliau meninggal dunia berpesan apa pada kita ?), tanya pak Krisna.
"Eling yah, wekas saka almarhum dik Nano sebelum beliau meninggal donya berpesan agar awake selalu mendukung Titah kanggo terus menuntut elmu agama, ya contho nya sinau neng pesantren darussalam iseh"
(Ingat yah, pesan dari almarhum dik Nano sebelum beliau meninggal dunia berpesan agar kita selalu mendukung Titah untuk terus menuntut ilmu agama, ya contoh nya belajar di pesantren darussalam lagi), jawab bu Dewi.
"Nah, yen ngono ya wis biarkan wae Titah sinau neng kana, neng pesantren darussalam iseh"
(Nah, kalau begitu ya sudah biarkan saja Titah belajar di sana, di pesantren darussalam lagi), kata pak Krisna.
"Becik, oleh kowe sinau neng pesantren darussalam iseh tah, ana tapinya"
(Baik, boleh kamu belajar di pesantren darussalam lagi tah, ada tapinya), sambung bu Dewi.
"Ana tapinya, apa kuwi bude, tapinya ?"
(Ada tapinya, apa itu bude, tapinya ?), tanya Titah.
"Tapinya berupa syarat", jawab bu Dewi lagi.
"Inggih apa kuwi bude, syarate ?"
(Iya apa itu bude, syaratnya ?), tanya Titah lagi.
"Syarate kowe kudu mengajak mas mu kanggo sinau marang pesantren darussalam"
(Syaratnya kamu harus mengajak mas mu untuk belajar ke pesantren darussalam), jawab bu Dewi.
"Sinten ?"
(Siapa ?), tanya Titah dan pak Krisna lagi dengan kompak.
"Kompak benar..", seru bu Dewi.
"Inggih sinten bude, mas Tiyo atau mas Renal ?"
(Iya siapa bude, mas Tiyo atau mas Renal ?), tanya Titah lagi.
"Muhammad Renaldy Ramadhan", jawab bu Dewi lagi.
"Oh Renal..", seru pak Krisna.
"Inggih bude, mas Renal punika.."
(Iya bude, mas Renal itu..), sambung Titah.
"Lah iya emang Renal, teruse sapa iseh, sing ada neng omah iki selain kowe mas Renal, ta"
(Lah iya memang Renal, terusnya siapa lagi, yang ada di rumah ini selain kamu, mas Renal, kan), kata bu Dewi lagi.
"Terus kapan kowe bali marang pesantren darussalam ?"
(Terus kapan kamu kembali ke pesantren darussalam ?), tanya pak Krisna.
"Kalih pekan iseh"
(Dua minggu lagi), jawab Titah.
"Oh kalih pekan iseh"
(Oh dua minggu lagi), seru bu Dewi dan pak Krisna lagi dengan kompak.
"Isih suwe dong, kowe isih suwe uga temani bude neng omah iki"
(Masih lama dong, kamu masih lama juga temani bude di rumah ini), kata bu Dewi lagi.
"Inggih bude.."
(Iya bude..), seru Titah lagi.
"Oh ya iki jam sepira ya pakde ?"
(Oh ya ini jam berapa ya pakde ?), tanya Titah lagi.
"Jam sanga bengi tah, ngapa ?"
(Jam sembilan malam tah, kenapa ?), tanya pak Krisna juga.
"Kersa tilem pakde, bude, aku mlebet dhateng kamar nggih"
(Mau tidur pakde, bude, aku masuk ke kamar ya), jawab Titah.
"Inggih nduk.."
(Iya nak..), seru pak Krisna dan bu Dewi dengan kompak lagi.
"Assalamu'alaikum", Titah memberikan salam pada pak Krisna dan bu Dewi.
"Wa'alaikumussalam", pak Krisna dan bu Dewi menjawab salam dari Titah.
Keesokan harinya..
Purwokerto
Di rumah pak Joko
Di meja makan..
"Yuk pah di makan sarapannya", kata bu Ajeng.
"Iya mah, eh Arfan..", sambung pak Joko yang memanggil Arfan.
"Nggih pah, ana apa ?"
(Ya pah, ada apa ?), tanya Arfan.
"Irfandi pundi, kondur mboten panjenenganipun semalam ?"
(Irfandi mana, pulang tidak dia semalam ?), tanya pak Joko juga.
"Mboten mangertos pah, wingi kondur kondur saking futsal, mandi, ugi lajeng sare"
(Tidak mengerti pah, kemarin pulang dari futsal, mandi, dan langsung tidur), jawab Arfan.
"Loh gimana sih panjenengan, fan, jengkar futsalnya bareng kaliyan panjenengan ta ?"
(Loh bagaimana sih kamu, fan, kan berangkat futsalnya bareng denganmu ?), tanya bu Ajeng.
"Aku mboten bareng kaliyan Irfandi, mah.., ugi teng panggen futsal mboten wonten panjenenganipun teng ngrika"
(Aku tidak bareng dengan Irfandi, mah.., dan di tempat futsal tidak ada dia di sana), jawab Arfan lagi.
"Punapa !!, dados panjenenganipun mboten mboten futsal, terlewat kemana wingi panjenenganipun punika ?"
(Apa !!, Jadi dia tidak futsal, lalu kemana kemarin dia itu ?), tanya pak Joko lagi.
"Mboten mangertos pah.."
(Tidak mengerti pah..), jawab Arfan lagi.
"Inggih sampun kita sarapan kemawon rumiyen, menawi masalah irfandi, kita rembag mangke iseh"
(Ya sudah kita sarapan saja dulu, kalau masalah Irfandi, kita bahas nanti lagi), kata pak Joko.
"Inggih pah.."
(Iya pah..), seru bu Ajeng dan Arfan.
Yogyakarta
Pesantren Darussalam
Di rumah pak Sobri
Di meja makan..
"Yuk bu sarapan", kata Kamil.
"Yuk, eh mil bapakmu mana ?", tanya bu Indri.
"Mboten mangertos bu, bokmenawi taksih teng kamar"
(Tidak mengerti bu, mungkin masih di kamar), jawab Kamil.
"Oh mekaten nggih sampun tengga sekedhap nggih, ibu mriksa bapakmu rumiyen teng kamar"
(Oh begitu ya sudah tunggu sebentar ya, ibu lihat bapakmu dulu di kamar), kata bu Indri.
"Inggih bu.."
(Iya bu..), seru Kamil.
Di kamar pak Sobri dan bu Indri..
"Mas.., mas.., loh kok tutuk e teng maju-maju kan kados punika, kira-kira bojoku sumpena punapa nggih ?"
(Mas.., mas.., loh kok mulut nya di maju-maju kan seperti itu, kira-kira suamiku mimpi apa ya ?), Indri bertanya-tanya sendiri.
"Dik Ajeng..", kata pak Sobri yang menyebut nama bu Ajeng ketika tidur, sehingga membuat bu Indri marah.
"Punapa, ternyata bojoku mimpikan mbak Ajeng, hemm, mas Sobri, mriksa kemawon panjenengan mas.."
(Apa, ternyata suamiku mimpikan mbak Ajeng, hemm, mas Sobri, lihat saja kamu mas..), kata bu Indri yang keluar dari kamar.
Di kamar mandi..
"Rasakan kamu nanti mas, berani-beraninya kamu menyebut nama perempuan lain, hemm..", kata bu Indri yang kesal pada pak Sobri yang membawa ember ke kamar.
Di depan kamar bu Indri dan pak Sobri..
"Bu, kenapa kok bawa ember segala, untuk apa ?", tanya Kamil.
"Nanti kamu juga tau untuk apa, emm kalau kamu mau sarapan, sarapan duluan saja", jawab bu Indri.
"Gak ah bu, nanti saja, Kamil penasaran untuk apa ember dan air itu, Kamil mau lihat dulu", kata Kamil.
"Oh ya sudah, nih lihat ya..", sambung bu Indri.
"Inggih bu.."
(Iya bu..), seru Kamil.
Di kamar pak Sobri dan bu Indri lagi..
"Dik Ajeng ku, muah muah muah muah..", kata pak Sobri yang bermimpi dan menyebut nama bu Ajeng sehingga membuat bu Indri marah.
"Dik Ajeng, dik Ajeng, nih rasakan ya mas..", kata bu Indri yang kesal pada pak Sobri dan bu Indri mengguyur pak Sobri yang sedang tertidur di kamar.
"Banjir, banjir, banjir..", kata pak Sobri yang terbangun dari tidurnya karena di guyur oleh bu Indri.
"Banjir ya mas, emang iya banjir mas, kamu mimpikan mbak Ajeng kan ?", tanya bu Indri.
"Enggak dik..", jawab pak Sobri.
"Berani kamu ngomong enggak, rasakan ini ya, emm..", kata bu Indri lagi yang mencubit pinggang pak Sobri.
"Awwwww.., sakit dik" pak Sobri berteriak kesakitan karena di cubit pinggangnya oleh bu Indri.
"Wow mantap..", kata Kamil.
"Sakit Kamil bukan mantap..", sambung pak Sobri yang masih kesakitan karena di cubit pinggangnya oleh bu Indri.
"Haha..", Kamil hanya tertawa yang meledek ayahnya yang sedang kesakitan karena di cubit pinggangnya oleh ibunya.
"Mboh rasakan, hemm..", kata bu Indri lagi yang pergi meninggalkan Kamil dan pak Sobri dari kamarnya.