1 Kehilangan

Suara tembakan terdengar, nyaris membuat jiwa jantungan ketika peluru tajam itu keluar dari senapan. Darah segar kini berceceran hingga warna merah darah menghiasi permukaan. Tak mungkin terpikirkan kejadian kelam itu terjadi di depan mata. Sosok yang tercinta pun ambruk dengan denyut nadi yang tak akan kunjung datang. Menahan senapan pun tiada arti, kini hanya tersisa kenangan di dalam memori.

"Papa! Tidak!" Seorang gadis berparas cantik, bermata biru, dan bulu matanya yang lentik. Tercekat kaget dengan keringat pada dahinya. Bagaimana tidak, baru saja wanita itu tiba di rumahnya sudah membuat ia begitu terkejut ketika mendengar dua kali suara tembakan yang melayang kearah sang ayah tepat di depan matanya sendiri.

Gadis kelahiran di ibu kota sekaligus kota terbesar di Meksiko, bernama Kya Cristine, dan berumur 22 tahun. Ia harus melihat kematian sang ayah dengan sangat tragis. Wajahnya dingin dan pucat, terlihat jelas kesedihan dan pilu menyelimuti jiwanya yang kering dan kosong. Dia berusaha untuk mendekati jasad ayahnya yang sudah terbaring lemah tak berdaya. Jeritan dibarengi air mata kini sudah tidak ada artinya lagi. Ia memilih terbaring di samping jasad ayahnya sambil memeluk dalam kesedihan yang amat besar.

"Papa, ayo bangun. Kya enggak bisa hidup sendiri apalagi Kya masih belum tahu caranya mencari uang." Mencoba menggerakkan tubuh sang ayah, tapi tak ada tanggapan melainkan darah segar yang membasahi telapak tangannya.

Merasa putus asa apalagi di saat ia sadar tak ada satu pun orang yang membantunya untuk mengurus jasad ayahnya itu, apalagi rumahnya yang jauh dari keramaian. Kya pun bangkit, berjalan kearah dapur. Tak ada lagi harapan hidup yang tenang jika orang tersayang sudah pergi, meskipun banyak kekayaan yang ditinggali, namun, tidak membuat dirinya bahagia apalagi melihat kematian sang ayah dengan tragis dan penuh drama air mata. Ia berpikir akan mengakhiri hidupnya juga saat itu, namun tiba-tiba seseorang datang mendekatinya.

"Jangan lakukan itu, nak. Kamu masih memiliki kerabat keluarga di sini." Suara itu terdengar begitu dekat dengan telinganya, ia pun menoleh. Namun, Kya sendiri tidak kenal dengan pria paruh baya yang sedang berdiri tidak jauh dengannya.

"Anda siapa?" tanya Kya dengan sikap acuh.

Pria paruh baya berjalan mendekat dengan senyuman tipis yang membuat dirinya penuh pertanyaan dalam benaknya.

"Kenalkan namaku, Giovanni Hartono. Aku adalah salah satu sahabat dari papamu, dan kedatangan aku kesini untuk membantumu sekaligus aku ingin menyerahkan sebuah surat wasiat sebelum papamu meninggal. Surat ini dituliskan tepat saat kami bertemu agar bisa berjaga-jaga jika ada musuh besar yang mengancam. Ini ambillah, nak."

Meskipun ada keraguan di hati Kya, namun, dia tak ingin egois apalagi dalam keadaan ayahnya yang sedang sekarat. Dengan perlahan ia membaca isi di dalam surat itu. Isi menyebutkan. 'Kya Cristine, kesayangan dan cinta Papa. Jika nantinya kamu membaca surat ini, itu artinya aku sudah tidak bisa menemanimu lagi, nak. Tapi jangan khawatir ada Om Giovanni yang akan menjagamu seperti itu anaknya sendiri. Maafkan, Papa. Tapi musuh bisnis Papa tidak membiarkan Papa hidup tenang.'

Air mata tak sadar mengalir di saat membaca isi surat itu. Kaki Kya lemas hingga tak sadar ia pun terjatuh dan pingsan dalam seketika. Dengan cepat pria paruh baya itu membopong tubuh Kya serta mengurus penghormatan terakhir kepada sahabatnya.

Acara pemakaman pun telah selesai dengan baik, dan Kya juga sudah sadarkan diri. Ia masih setia di samping batu nisan milik sang ayah. Tapi saat itu Giovanni Hartono pun membantu agar Kya bisa menerima semua ini dengan hati yang lapang.

"Nak, sebaiknya kita pulang ke rumah Om. Nantinya semua keperluan kamu di sini biarkan pelayan kami yang akan mengurusnya. Ayo pulang supaya papamu bisa istirahat dengan tenang," ajak Om Giovanni dengan baik-baik. Kya pun menjawab dengan anggukan kepala, yang berarti ia sudah setuju.

Di dalam perjalanan menuju ke rumah Om Giovanni yang juga berada di kota yang sama dengannya—Meksiko. Kya masih kebingungan darimana asal suara tembakan itu apalagi dia tidak melihat siapapun juga selain pria paruh baya yang sedang membantunya sekarang.

Melihat Kya terus termenung seperti tak ada semangat hidup, membuat Giovanni Hartono ikut merasakan kesedihan yang sedang gadis itu rasakan. Dia pun tersenyum tipis lalu bertanya. "Nak, kenapa kamu diam terus? Jangan ngelamun dong enggak baik."

"Kya cuma bingung, om. Siapa yang sudah menembak papa? Lalu untuk apa orang itu melakukan semua itu?"

Pria paruh baya yang kini telah menolongnya menatap wajah lesu yang tiada lagi semangat seperti sebelumnya. "Om tahu kamu sedang sedih, tapi sudahlah jangan banyak berpikir, nak. Biarkan nanti om saja yang akan membantumu menyelidiki kasus kematian papamu. Oh ya, om punya kabar gembira untukmu."

Pandangan mata Kya langsung tertuju ke arah Om Gio, padahal sebelumnya gadis itu menjawab tanpa menatap ke arah lawannya bicara. Ada rasa penuh harap dalam-dalam yang kini begitu ia rindukan.

"Memangnya kabar gembira apa, om?" tanya Kya dengan rasa penasaran.

"Mulai hari ini kamu akan tinggal dengan om, dan juga ada anak om. Jadi kamu itu enggak perlu khawatir kalau bakalan kesepian," sahut Om Gio.

Kya tidak menjawab ucapan dari pria paruh baya itu, karena baginya tidak ada kebahagiaan yang lebih sempurna jika sudah kehilangan ayahnya. Apalagi selama ini dia hanya tinggal bersama sang ayah ketika ibunya telah memilih hidup dengan pasangan barunya.

Kedatangan Kya di rumah itu membuat Om Gio sangat senang, bahkan gadis itu di perlakukan seperti seorang putri kerajaan. Kya juga bisa memilih kamar mana pun yang ia mau termasuk gaun indah yang sengaja sudah disiapkan untuk dirinya. Tepat di saat memilih kamar untuk dirinya beristirahat, Kya justru memilih kamar di lantai atas tanpa tahu apakah kamar itu sudah ada yang menepati ataupun tidak.

"Om, aku mau kamar yang ini," ucap Kya sembari menunjuk ke arah kamar itu dibarengi senyuman yang terlukis di wajah cantiknya.

Om Gio terdiam beberapa saat, sampai akhirnya pria paruh baya itu tersenyum tipis. "Pilihan yang tepat! Baiklah kamar ini akan menjadi milikmu sekarang. Kalau begitu kamu tunggu sebentar ya biar Om panggil pelayan dulu." Om Gio pun pergi setelah mengatakan hal itu.

"Pelayan! Siapkan kamar ini untuk Nona Kya secepatnya!" Terdengar suara teriakan Om Gio, namun, Kya tak terlalu menghiraukannya.

Sambil menunggu kamar miliknya selesai, Kya pun berjalan-jalan hingga tiba di tepian kolam. Dengan sengaja ia memandangi kolam renang itu sampai ingatannya kembali teringat ketika bermain dengan sang ayah.

"Pa, andai saja papa bisa melihatku sekarang. Aku merindukanmu, dan aku ingin kita bermain air bersama di tepian kolam seperti ini. Andai saja saat itu Kya tidak lengah meninggalkan papa mungkin papa masih bisa selamat sampai sekarang bahkan jika memang harus tertembak biarkan Kya yang terbunuh." Merenungkan diri di tepian kolam sampai tetesan air mata terus membasahi pipinya.

Tak ada rasa kebahagiaan sedikit pun meski kini telah diberikan keluarga baru. Bagi dirinya kasih sayang ketika bersama dengan papa tak bisa tergantikan. Meski kini Kya bersyukur masih ada yang mau menolongnya, namun tetap saja dia merindukan tempatnya berpulang.

Di saat bersamaan, Kya tidak sengaja melihat seorang pria tampan yang lewat dekat kolam. Matanya terus memandangi wajah pria itu yang begitu sempurna bahkan Kya sampai terpana melihat kesempurnaan dari pria tampan itu, ditambah badannya yang kekar membuat Kya semakin ingin mendekat.

Pandangan wajahnya tak ingin berpaling dari pria itu sampai membuat dia tersenyum penuh arti hingga tak sadar Kya melupakan sejenak kesedihan yang baru saja ia rasanya. Dalam sekejap jantungnya berdebar-debar seperti ada euphoria yang membuat Kya bahagia.

"Ya ampun! Dia tampan sekali, siapa dia? Apa mungkin dia anak dari Om Gio? Wajahnya itu begitu indah, dia juga sangat manis, dan badannya kekar seperti pangeran di kayangan." Diam-diam Kya mengagumi ketampanan pria itu sampai membuat dirinya begitu terpesona.

avataravatar
Next chapter