10 Tolong Naikkan

Melihat gambar sang suami, dia jelas terpukau. "Kamu lebih cantik, dari gambar itu." Alfito menyentuh pipi Fania. Kali ini Fania menumpukkan tanganya ke tangan Alfito yang masih berada di pipinya. 

'Fania. Kamu harus melakukannya dengan sempurna. Lagian saat ini memang dia suamimu. Bahkan kamu sendiri tidak mencintai siapa pun. Apa kali ini aku benar harus mencoba perasaanku?' tanya Fania dalam hati.

Suster masuk ke kamar Alfito. Itulah kesempatan Fania menghindari tindakan romantis dari suami. Fania masuk kamar mandi. Alfito lanjut diperiksa, dengan memejamkan mata. 

Diana masuk dengan membawa tas. "Hai Mas, bagaimana sudah mendingan?" tanya Diana. 

"Ya masih sakit, tapi penawarnya ada di sini, jadi berkurang," jawab Alfito sambil sedikit menegakkan saudaranya. 

"Aku datang membawa makanan dan baju untuk Mbak Fania. Mas harus lebih keras, ancam jika dia tidak mau melakukannya. Istri wajib melayani suami, jika menolak ajakan nanana, bilang saja dosanya besar, mau Allah marah?"

"Apa urusanmu Bocil." Alfito fokus membuka makanan. Mendengar ucapan kakaknya, Diana meringis. 

"Ha ... aku sudah kuliah."

"Baik-baik. Terima kasih. Oh ya. Tadi Ibu kemari?"

"Iya." Diana menjawab dengan wajah malas. "Dia bilang pernikahan kalian tidak sah. Udah ah, aku mau kencan," ujar Diana meraih tangan Alfito kemudian mencium punggung tangan kakaknya, dia sangat menghormati laki-laki yang bertanggung jawab besar dan menafkahinya.

"Tidak usah macam-macam."

"Mas Alfito aku tahu batasan ku aku tidak akan macam-macam." 

"Nanti akan ada Bodyguard yang memperhatikan tindakanmu, jadi awas jangan macam-macam."

Diana malah menarik kursi kemudian duduk. "Tingkah Mas ini terlalu posesif atau bagaimana?"

"Aku ingin kamu mendapatkan pemuda yang baik dan tulus kepadamu. Bukan hanya karena statusku. Siapa yang tidak mengenal mu sebagai adik orang ternama, aku hanya tidak mau kamu dimanfaatkan. Percayalah, Mas bukan ingin mengekangmu. Ya ... pikirkan baik-baik. Karena seusia kamu ini benar-benar ingin mencoba sesuatu hal yang berbeda. Mas percaya sama kamu yang tidak mudah terbuai akan gombalan para pria."

"Aku bertemu teman itu hanya sekedar melepas kebosanan. Di rumah tidak ada siapa-siapa, kalau untuk bercanda nobar dengan para asisten rumah tangga itu sudah sering. Kali ini aku akan bertemu dengan temanku SMA. Aku setuju Kalau Mas menyuruh orang untuk mengawasi ku, dengan syarat orang itu memakai baju biasa. Aku paling tidak suka diikuti dengan orang yang berpakaian baju hitam."

"Asiap. Soalnya itu tenang saja, cepat berangkat sana, pulang jangan lebih dari jam sembilan. Oke?" 

Diana berdiri dan tersenyum sambil mengangguk dia pun keluar dari kamar rawat Alfito. 

Fania keluar dari kamar mandi. Dengan wangi yang sangat menarik perhatian Alfito. Alfito tidak henti menatap wanita yang kini sudah resmi menjadi kekasih halalnya. 

Dia terlihat sangat tidak nyaman. 'Aku tidak bisa mengancing resleting punggung ku, karena ini terlalu sempit. Kan memang tadi membutuhkan bantuan seseorang. Apa mungkin aku harus meminta bantuannya? Ah ... tidak. Tapi juga tidak bisa dibiarkan terbuka. Ya Allah.' 

Fania berjalan ke arah Alfito dengan ekspresi wajah yang sangat lucu. Fania menggigit bibir bawahnya. 

"Emmm. Tolong bantu," ujar Fania yang kemudian berbalik ke arah, membelakangi suaminya. Dengan canggung dan mata terpejam.

"Kurang mundur," ucap Alfito menarik tangan istrinya hingga berada di pangkuannya. "Eh, huft ...."

"Tuh kan ... kesakitan." Fania hendak bangkit. Alfito malah mendekapnya dari belakang. Tangan kanannya masih mempertahankan tubuh Fania. Fania tidak henti meneguk salivanya yang terasa kasar. 

Sementara tangan kiri Alfito sudah berada di punggung istrinya. Menyibakkan hijab sang istri ke depan. Sudah di depan mata, terlihat punggung putih, mulus milik istrinya. 

'Ya Allah bebaskan hamba. Bagaimana hamba ingin melarikan diri dari pria ini,' keluh Fania dalam hati. 

Telapak tangan yang mulai mendingin membuat Fania meremat bajunya. Dia sangat gugup, perasaan tidak karuan di dalam dada.

Hembusan napas Alfito membuat Fania semakin memejamkan mata.

"Jangan lama-lama, ini tempat umum," protes Fania. Alfito tersenyum miring, dia semakin menggoda istrinya dengan menelusuri puggung Fania dengan bibirnya. Fania yang terkejut segera bergerak, untuk membebaskan diri.

Alfito masih memiliki kekuatan, dia semakin mendekap istrinya. Bahkan tangannya berjalan ke area yang selama ini sangat dilindungi Fania. 

"Aku tidak suka." Fania berkata dengan tegas. Membuat Alfito tidak memaksa lagi dan segera menaikkan resleting baju istrinya. Fania bangun dan merasa bersalah setelah melihat ekspresi dari Alfito.

"Kamu akan melakukan sepuasnya di rumah. Jangan di sini. Jadi kalau sudah mendingan, langsung pulang saja. Aku akan melakukannya sepenuh hatiku karena itu kewajibanku." Fania menyentuh pipi Alfito. Alfito menatapnya kemudian mencium telapak tangan istrinya.

"Oh ... ya Allah. Aku ini munafik atau bagaimana sih? Kenapa aku berbicara seperti itu. Apa Anaya ada di dalam diriku? Hah ... entahlah,' batin Fania yang semakin bingung.

"Memang sudah berhenti?"

"Belum," jawab Fania.

"Kalau belum ya di sini saja. Takutnya aku tidak bisa menahan," kata Alfito.

"Ya sudah, makan ya." Fania menarik kursi lalu duduk. Alfito terus memandangi Fania yang mengambil makanan.

"Kamu sudah siap kalau sudah tidak M lagi?" 

Fania tidak berkutik dengan pertanyaan suami. 

"Kamu terlihat masih keberatan," ujar Alfito, Fania tersenyum. 

"Siap untuk apa? Kalau untuk buat anak ya siap saja. Memang ingin punya anak berapa?" tanya Fania. Alfito tertawa dia masih belum percaya dengan apa yang didengarnya. 

"Hehehe. Kamu ingin punya baby berapa?" tanya Alfito. 

"Emmm. Terserah kamu saja," jawab Fania yang kemudian menyuapi suaminya. Alfito tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. 

Bersambung. 

avataravatar
Next chapter