3 Meredam Ego

Fania menelusuri setiap langkah rumah ayahnya. Tidak pernah ada yang berubah dari bentuk dan desain rumah. Walaupun dia sudah bertahun-tahun pergi dari rumah itu. Semuanya masih tertata rapi bahkan foto ibunya masih ada walau bingkai itu ditengkurapkan oleh ayahnya.

'Aku sangat tahu Ayah masih mencintai ibu. Tapi api kecemburuan membakarnya. Sehingga tidak terlihat lagi kebenaran dari ibu.' Fania melangkahkan kaki ia masuk ke dalam kamar.

Kamarnya dan kini tertata rapi karena itu kamar milik Anaya sendiri. Matanya menyapu ke setiap tempat. Foto-foto kebersamaan masih terpanjang dan masih sangat bagus. Kenangan-kenangan mulai hadir dalam ingatan Fania.

Bermain bersama di ruangan itu, bercanda, bersama, berlari, berebutan, semua terlintas di benaknya. Air matanya menetes pula ketika dia ingat dia pergi meninggalkan rumah itu memilih bersama ibunya.

"Anaya tetap merawat segalanya. Huft ... aku harus cari Ide agar aku tetap menikah tapi aku akan diceraikan. Aku ingin semua masalah tuntas lalu pergi dari dia. Mana mungkin aku juga mengkhianati cintanya adikku sendiri. Mana mungkin aku juga dicintai sedang status aku adalah Anaya. Jika dia bisa mencintaiku dengan aku yang Fania mungkin ada kesempatan. Pada intinya aku tidak bisa menjadi Anaya."

Fania mengambil bantal dan tidur di lantai. Berusaha memejamkan mata namun semua kejadian pahit yang dialaminya mendatangi ingatannya. Perjuangan pahitnya menjalani kehidupan miskin, mencari makan sana-sini untuk sesuap nasi. Menanam sayuran lalu dijual ke pasar sering pula dia hendak di lecehkan. Bulir air matanya terjatuh menetes mulus dari pipi. Dia berusaha menerima kenyataan lalu memejamkan mata. 

*****

Mentari pagi bersinar menerobos lewat tirai. Fania terbangun karena silaunya dan dia terkejut ketika dia sudah berada di atas ranjang. 

Gaun-gaun pengantin sudah tertata di sampingnya. Fania malah memeluk kedua kakinya melihat kearah matahari. 

Sebuah ponsel berdering di sampingnya. Fania menolak dengan rasa tidak semangat. Dia meninggalkan ponsel yang terus berdering. Fania pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Dari dulu tidak ada niatan untuk menikah di usia sekarang. Tapi apalah dayaku yang tidak punya siapa-siapa lagi. Terlebih lagi aku membutuhkan dia dan bisa aku manfaatkan untuk menjebloskan Si Doko ke dalam penjara. Jadi aku harus bersikap baik," gumamnya lalu kembali ke kamar. 

"Gila nih cowok. Sampai lima kali manggilnya? Apa sih sebenarnya yang ingin dibicarakan? Apa penting?"

Fania memutuskan untuk menelepon balik Alfito. Mengambil ponsel lalu membuka tirai menikmati udara pagi yang sangat sejuk.

Tuttt.

"Hah. Langsung diangkat!" Fania tu lihat gugup.

"Halo, sayang, sejak kapan namamu ganti menjadi Fania?"

"Oh soal itu. Bukankah kalau cinta, hanya berubah nama tidak masalah kan? Kamu kan mencintai orang yang bukan namanya? Jadi menurut kamu masalah tidak."

"Aku hanya ingin tahu ... kenapa kok namanya diganti."

'Waduh, aku harus benar-benar cari alasan apa ya?' batin Fania terus mencoba berfikir.

"Emmm soalnya ... nama itu kurang beruntung. Bahkan, ada paranormal yang mengatakan nama itu sudah mati. Percaya tidak percaya aku sedikit takut. Tidak papa ya? Lagian nama Fania bagus kok." Fania menepuk pipinya.

"Aku tidak masalah sama sekali. Sebenarnya ... dengan bertanya seperti itu ... adalah salah satu cara agar aku bisa mendengar suaramu."

"Pret." Fania segera menutup mulutnya setelah mendapat gombalan dari Alfito.

"Kamu tidak percaya kepadaku? Aku benar-benar rindu setengah mati."

"Kalau begitu. Makanya jangan rindu, kalau rindu itu berat. Aku ingin mencoba gaun pengantinnya. Jadi Sudah dulu ya teleponnya terima kasih banyak."

Fania ingin segera mengangkat telepon namun suara itu mencegah. "Tunggu-tunggu."

"Apa ... Kakanda Alfito."

"Hehehe. Bolehkah aku lihat, maksudnya nanti setelah mencoba gaunnya. Aku ingin lihat, kamu video call ya?" pinta Alfito kepada Fania.

"Ya tidak surprise lah ... jika aku menunjukkannya, sekarang. Lagian pernikahan kita kan kurang 1 hari. Jadi tenang saja ... bagaimana penampilanku nantinya. Kalau dasarnya cinta walau sederhana pasti terlihat sangat spesial," ujar Fania.

"Love you." Mendengar ucapan Alfito yang mengungkapkan perasaannya Fania malah menjulurkan lidahnya. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Fania meletakkan ponsel lalu kembali berbaring. Fasilitas mewah milik Anaya.  Tidak membuat Fania ingin memilikinya. "Neng Ana ...." Panggil wanita penuh uban. Fania menoleh dan terkejut.

"Bi Sri?" Fania tanpa ragu memeluk wanita itu. Wanita itu hanya tercengang. Tiba-tiba air matanya jatuh. "Neng Nia?" tanya wanita itu. Fania melepas pelukannya kemudian mengangguk. Fania kembali menangis dan kembali memeluknya.

Wanita itu adalah asisten rumah tangga yang merawat Fania dan Anaya saat mereka kecil. "Ya Allah gusti ... cantiknya, tapi kok kurus kering seperti ini?" tanya wanita itu yang prihatin melihat keadaan Fania.

"Ini sudah biasa."

"Yang tidak biasa keadaan Pak Rian. Setiap malam Pak Rian selalu mengigo. Sekarang makan dulu ya Neng, Bi Sri yakin dengan keberadaan Neng. Pasti Pak Rian akan lebih baik keadaannya. Beliau selalu merindukan kalian. Walaupun rasa marah masih menggebu-gebu. Tapi tidak bisa dibohongi lagi jika beliau masih sangat cinta kepada kalian."

Mendengar penuturan dari asisten rumah tangga, Fania merasa iba kepada Ayahnya.

'Sedari dulu aku memang tidak pernah memikirkan perasaan Ayah. Ayah pasti juga sangat menderita juga. Tapi salah sendiri terlalu curigaan terlalu cemburuan. Hingga kecemburuan merusak perasaan cintanya. Huft ... entahlah,' batin Fania.

Wanita itu menyiapkan makanan, Fania juga mengikuti ke dapur. Melihat makanan yang berada di atas meja, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. 

"Ayah sudah menyuruh seseorang untuk mengganti nama di buku nikah. Aku harap pernikahan kalian akan langgeng. Ayah harap kamu akan setia dan tidak seperti ibumu." Rian menarik kursi.

"Bilang saja kalau Ayah selama ini kesepian tanpa ibu? Cinta adalah nafas dan bisa menentramkan. Nyatanya aku saat ini melihat Ayah rapuh. Apakah selama ini ayah tidak ingin mencari tahu kebenarannya? Jika Ayah tahu kebenarannya pasti Ayah akan menyesal. Aku tidak nafsu makan." Fania berjalan Ayah tangannya.

"Duduk! Ayah bilang, duduk sekarang juga! Makan," titah ayahnya. 

Dengan wajah sangat terpaksa dan tidak tega melihat ayahnya Fania memilih duduk dan memilih makan bersama.

"Ayah sudah meminta seseorang untuk merias. Saya harap kamu tidak akan membuat malu karena Alfito adalah pengusaha. Alfito pemuda yang mengalami broken home, dia tiga bersaudara dan dia hidup mandiri.  Dia sukses tanpa bantuan kedua orang tuanya. Dia sangat mencintai Anaya. Anaya adalah cinta pertamanya. Dia laki-laki baik, Ayah yakin kamu akan bahagia hidup bersamanya. Membutuhkan waktu untuk bisa mencintainya. Ayah harap kamu mencoba dan tidak akan pernah meminta cerai darinya." Ayahnya kemudian pergi meninggalkan Fania tanpa makan. 

"Aku minta maaf Ayah. Bersediakah Ayah makan bersamaku?" Fania menahan egonya. Rian berbalik badan dan kembali duduk sambil tersenyum menatap putrinya, keduanya makan bersama dan saling meredam ego masing-masing. 

Bersambung. 

avataravatar
Next chapter