2 Malam Panjang

Kesepian melanda hati. Kejadian tiga jam yang lalu sangat membelenggu hati Fania. Fania mengeluarkan nafas berat dan panjang. 'Mana mungkin aku bisa menikahi kekasih adikku sendiri. Oh ... Ya Allah ... jangan hukum hamba dengan sesuatu hal yang rumit,' ujar Fania dalam hati.

"Aku tidak mau jika aku diatur. Aku akan tetap menjadi diriku sendiri."

"Itu terserah kamu yang penting kamu tidak boleh. Meminta cerai dari Alfito."

"Kenapa ayah sangat egois? Apa karena aku memilih hidup bersama Ibu? Ha ...?" Fania terlihat sangat kesal.

"Ibumu itu murahan! Mau tidur dengan siapapun!"

"Turunkan aku sekarang! Aku tidak akan menuruti permintaan Ayah! Suami macam apa yang tidak percaya dengan istrinya sendiri!"

Ngikkk.

Mendengar ucapan dari putrinya Rian sudah mengepalkan tangan dan akan memukul putrinya. Fania berusaha membuka pintu mobil.

"Kenapa ...? Ayah mau memukul aku?! Pukul saja? Sekalian bunuh aku!"

Ryan kembali menancap gas mobilnya. Dia meredam emosi dari semua perkataan Fania. Fania terlihat sangat emosi dia memalingkan wajah ke arah luar sambil menyandarkan kepala.

"Hiks ... heh ... jika memang Ibu benar-benar wanita pengkhianat. Dan mudah tidur dengan laki-laki lain. Kenapa Ibu tetap hidup miskin bersamaku. Bukankah wanita malam itu setidaknya punya uang untuk makan dan tempat tinggal yang layak? Apa Ayah pernah berfikir. Bagaimana kehidupan kami? Ayah terlalu terbakar api cemburu hingga Ayah tidak bisa mengkondisikan hati Ayah. Bahkan aku tidak sekolah. Tapi mana mungkin Ayah ingin tahu kehidupan kami. Aku yakin Ayah tidak percaya dengan semua ucapanku." 

Fania menaikkan kedua di atas kursi mobil lalu memeluk erat kedua kakinya. Ryan melirik sebentar. Hatinya juga perih namun dia tidak ingin mendengar penjelasan apapun dari Fania. 

"Hiks, heh ... hik hik hiks. Heh .... hik hiks. Heh ... heh ... emmm. Est ... setiap malam sesak Ayah." Fania mengusap air matanya. "Hiks ... heh ... Bagaimana pun ... hiks, harta yang paling besar adalah aku bisa hidup bahagia dengan ibu walaupun miskin. He, jika aku menceritakan ke ayah yang berhati batu. Sangat tidak berguna."

Ryan melihat ke putrinya. Yang masih membuang wajah ke arah luar. "Sekarang ini ... yang aku harapkan semoga ayah tidak menjadikanku sosok Anaya. Aku tidak mau dan tidak bisa menjadi Anaya. Aku begini, gadis urakan dan bodoh. Aku akan tetap menerima pernikahanku dengan pemuda itu. Tapi syaratnya Ayah harus merubah nama Anaya menjadi namaku."

Mendengar permintaan putrinya, Rian terpaksa menuruti. "Alfito sangat mencintai Anaya. Kalau kamu tetap menjadi Anaya, Ayah yakin kamu akan selamat. Dari penjahat itu. Ayah juga akan meminta Alfito untuk mencari tahu dan mencari bukti agar mereka tertangkap. Ayah tidak bisa tinggal diam dengan cara sadis mereka membunuh anak Ayah."

"Aku heran sama ayah. Bagaimana bisa hati seorang suami mati, apa Ayah pernah berfikir. Bagaimana ibu melahirkan kami. Apa Ayah pernah berfikir. Perjuangan melahirkan kami itu taruhannya nyawa. Cara Ayah mengusir Ibu masih terlihat jelas di memoriku."

"Aku tidak ingin lagi membicarakan Ibumu itu. Sekarang kamu tinggal bersama Ayah jadi kamu tidak boleh membahas ibumu." Rian mengatakan dengan tegas sambil menatap putrinya.

"Jika aku mengatakan semua tentang ibu. Hati ayah akan tergerak menyayanginya. Menyesal atas segala kesalahpahaman yang ayah buat sendiri. Para penjahat itu tidak jahat. Yang jahat itu Ayah!" Fania menatap sadis kepada sang ayah. Ryan benar-benar kesal dengan semua yang dibicarakan anaknya.

"Kenapa ... Ayah muak? Ayah kesel hidup bersamaku? Ini masih beberapa jam Ayah ... aku mungkin tidak punya etika dan tidak sesopan Anaya. Aku tidak seelegant dia aku tidak sepintar dia. Selama ini Ibu hanya mendidikku untuk memakai hijab. Apapun yang terjadi aku tidak boleh melepaskannya, walaupun kelakuanku seperti hewan. Apa Ayah tahu. Kenapa aku hidup di rumah yang jauh dengan tetangga? Karena aku hampir dilecehkan. Ibu mati-matian melindungi ku. Tiga luka di lengan ibu karena sayatan belati dari mereka. Saat itu harapanku ada malaikat penolong. Berharap ayah akan datang menyelamatkan ku. Semua hanyalah mimpi. Yang menyelamatkanku adalah malaikat yang tidak berdosa tapi dianggap berdosa. Setiap malam Ibu menangis. Lalu aku berkata, menangisi jiwa yang gelap itu percuma."

Mendengar semua ucapan putrinya Ryan benar-benar sudah muak. Dia semakin melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Fania malah berteriak seakan-akan dia menikmati perjalanan seru itu.

Ryan melirik ke putrinya. 'Dia memang tidak jauh berbeda dari Ibunya. Apa sebagai Ayah aku harus melupakan masa lalu dan menjadikan dia putriku satu-satunya. Masa lalu begitu pahit dan masih membelenggu ku. Bagaimana aku bisa percaya dengan wanita pengkhianat. Sangat sulit untuk memaafkannya.' 

Mobil Ryan sampai di rumah megah yang bercat abu-abu. "Aku kira Ayah pergi dari rumah ini? Aku kira Ayah tidak lagi menempati rumah yang penuh kenangan. Hebat sih, aku salut," sindir putrinya.

Rian melihat mobil Expander berada di depan rumahnya. Fania melihat pemuda berkulit putih bersih, dengan alis hitam tegak serta hidung yang banjir dan tatapan yang mempesona tengah berdiri di sana. "Ada Alfito. Turun dan bersikaplah ramah," tegur Ryan kepada Fania. Fania malah menggaruk kepalanya kemudian berjalan menemui Alfito. 

"Hai ... kamu terluka?" tanya Alfito meraih lengan Fania. Fania menghindari tangan Alfito. "Luka ini. Kok bisa ... sejak kapan juga kamu pakai hijab?"

"Aku sangat lelah. Aku baik-baik saja kok. Kamu tidak suka memakai hijab?"

"Emmm cantik," puji Alfito.

"Tidak baik calon suami datang. Pernikahan kita kurang satu hari setengah lagi, kata orang pamali kalau menemui calon pengantinnya. Jadi maaf, aku tidak mempersilahkan kamu untuk masuk. Maaf ya ...." 

"Emmm. Ana, ini baju pengantinnya."

"Aku sekarang pakai hijab, masa baju pengantinnya seksi begini? Bagian dadanya terbuka pula. Aku akan memilih baju pengantin ku sendiri. Bolehkan?" tanya Fania. Alfito mengangguk dan tersenyum.

"Yang penting kita tetap menikah. Selamat malam cinta," ujar Alfito yang akan mengecup kening Fania.

"Hai ... stop. Belum halal." Fania mencegah Alfito. Alfito merasa malu dengan menyiblakan rambutnya ke belakang.

Dari kejauhan Rian memperhatikan putrinya. 'Aku tidak menduga. Jika dia akan melarang Fito menyentuhnya.' Ryan kemudian berjalan menghampiri pasangan calon pengantin itu.

"Tadi ini ada musibah, dan aku akan meminta bantuanmu setelah acara pernikahan selesai. Ayah minta kamu pulang dulu. Biarkan Anaya istirahat. Kamu hati-hati ya Fit," ujar Ryan. Alfito tersenyum lalu meraih tangan calon mertua dan mencium punggung tangan Rian. 

"Aku rindu kamu cinta. Selamat malam."

"Ya pastilah malam. Siapa bilang siang." 

Alfito terbelalak.

Mendengar ucapan dari Sang Putri. Ayahnya menyenggol lengannya.

"Maaf pikiranku kacau, malam juga ...." Fania berusaha tersenyum walau dia menjadi Anaya. "Semoga mimpi indah." Fania lalu pergi, Alfito merasa sangat aneh dengan sikap gadis dicintainya kemudian dia pergi. Dengan tersenyum karena mendapat ucapan semoga mimpi indah dari pujaan hati.

Bersambung. 

avataravatar
Next chapter