9 Kepura-puraan Fania

Flashback On.

Di masa kini, Diana tersadar dengan merasakan sakit kepala yang teramat. Semuanya menjadi dua bagian apa pun yang dipandangnya. 

Dia melebarkan matanya, dan bergegas pergi ke ruangan Alfito. Ketika sampai di depan pintu.

'Beri waktu keduanya untuk bersama. Mungkin dengan seperti itu bisa mencintai Mas Alfito, tapi kenapa ... pusing sekali ya?' Tubuh Diana melemas.

Pandangannya semakin buram. "Hai ... awas!" teriak seorang cowok yang menahan bahunya. Masih samar-samar Diana membuka matanya dengan lebar. 

Pemuda keren, itu menatap Diana lekat-lekat. "Hih lepas! Modus ya kamu?" Diana membersihkan lengannya seakan-akan dia terkena kotoran.

"Bukannya terima kasih. Oh ... kamu, pantas saja tidak ada yang mau berteman denganmu. Kamu tidak bisa menghargai orang yang menolongmu," ujar pemuda tampan itu kemudian pergi meninggalkan Diana dengan langkah panjang.

"Menang siapa? Tapi kenapa wajahnya tidak asing," gumam Diana.

Cekkrek!

Mendengar suara jepretan foto itu, Diana menoleh dan ternyata pemuda itu mengambil fotonya. Diana kemudian mengejarnya. 

**** 

Sementara di ruangan Alfito, Fania merasa canggung. Dia tidak tahu memulai pembicaraan dari mana. Matanya terfokus dengan buah di atas laci.

"Apa masih sakit?" tanya Fania kepada sang suami namun tidak berani menatap mata yang sedari tadi mengawasinya.

"Eh ... sakit sekali," keluh Alfito mendesis sambil memegang perutnya yang masih kaku.

"Lain kali jangan melindungiku! Kamu boleh melindungiku asal kamu tidak mengeluh," ujar Fania lalu menyuapkan apel.

"Semua rasa sakit berkurang Jika kamu berada disisiku, Anaya, eh ... maaf aku terlalu terbiasa Fania."

Fania hanya mengembangkan bibirnya. Alfito menerima suapan sang istri.

Drettt!

Drettt!

"Ada telepon, angkat gih," ujar Fania yang mengambilkan. 

"Tidak ada hari cuti untukku. Walaupun di hari pernikahanku," ujar Alfito lalu menerima panggilan dari asistennya.

"Halo Zain."

"Pak ... Ada masalah, kita dituduh mencuri desain dari Gold Diamond Club.

"Hah ... biar saja."

"Kita kehilangan project besar Bapak diam saja?" tanya Zain yang heran dengan sikap Alfito.

"Sudahlah ... mereka hanya mengambil salah satu desain yang biasa saja. Aku akan meluncurkan sebuah desain, yang jelas akan menguntungkan perusahaan kita. Sekarang aku ingin tidur, kamu akan menerima hasilnya. 3 jam dari sekarang!" Alfito menutup teleponnya lalu memandang istrinya. 

'Imajinasi dan inspirasiku adalah wanita yang ada di sampingku. Terima kasih Engkau telah menjadikan dia, kekasih halalku ya Allah,' ujar Alfito itu dalam hati.

"Sepertinya ada masalah?" 

"Apa kamu mau membelikan buku dan pulpen?" tanya Alfito kepada sang istri.

"Pakaianku seperti ini aku akan minta ke perawat." Fania beranjak, Alfito meraih tangannya, menariknya sampai berputar arah kepada sang suami. 

Muahc!

Gerak cepat Alfito mendaratkan bibirnya menarik bibir Fania. Fania terlihat memberontak. Alfito merasa tidak nyaman dengan sikap istrinya. Dan akhirnya melepaskan, bibir Fania dari bibirnya. 

"Malu dong Ini rumah sakit!" tegur Fania namun laki-laki itu malah tersenyum. Fania menelan salivanya kemudian keluar dari ruangan Alfito.

Alfito terus menyentuh bibirnya, merasakan sisa kehangatan dari ciuman itu. Alfito memejamkan mata dengan tersenyum.

Tarrr!

Lemparan batu besar memecakan kaca anti peluru. Betapa terkejutnya Alfito yang baru saja mengejamkan mata dan kaca di sampingnya pecah. Melihat satpam mengejar orang berjaket dan wajahnya ditutupi oleh masker.

"Aku yakin ini adalah musuh. Aku tidak akan membiarkan Fania tidak aman." Alfito meraih ponsel dengan menahan sakit di perutnya, kemudian menelepon bodyguard untuk menjaga ruangannya. 

Fania datang dan terkejut melihat pecahan kaca berserakan. "Aku tidak apa-apa?" 

"Siapa yang nanya?" gumam Fania.

"Apa?" tanya Alfito memastikan Fania yang tidak jelas didengarnya.

"Syukur Alhamdulillah kalau kamu tidak papa! Tapi Siapa yang menyerang?"

"Biasalah. Tapi kamu tenang saja kamu akan aman bersamaku. Aku akan melindungimu." Alfito belum selesai berbicara, polisi dan satpam datang. Alfito dipindahkan.

Fania memberikan apa yang diminta Alfito. Pria itu menyandarkan punggungnya, dia memulai menggerakan jarinya, menghimpit pulpen dengan tiga jarinya dan mulai menuangkan tinta di atas kertas. Bentuk desain mulai terukir indah. Sesekali dia mengamati istrinya yang terlihat bosan.

"Aku ingin membuatmu bahagia, mau liburan?"

"Liburan kemana pun kalau tidak aman ya tidak nyaman. Musuh terlalu banyak, lebih baik cari aman saja di rumah." Fania bersikap ketus. Namun, pria itu terlihat sangat mencintai istrinya. Dia meletakan alat kerjanya menarik Fania mendekat.

Bersentuhan lah kedua dahinya menyatu tanpa pembatas, Alfito memandangnya lekat. Fania selalu menghindari pandangan suaminya. 

Alfito menarik leher Fania, dan mencium bibirnya tanpa izin istrinya. Fania sangat muak. Dia menutup rapat bibirnya sama sekali tidak membuka, namun sang suami menarik bibirnya, hingga basah dan hangat, Fania sangat ingin melepaskan. 

Alfito merasakan sesuatu yang membasahi pipinya. Merasa tidak tega dengan Fania, Alfito melepas ciuman itu. Alfito menatap penuh ketakutan, dia menggenggam erat tangan Fania.

Fania tertegun menangis tanpa suara. Alfito merasa sangat sedih. "Maafkan aku, jika memaksamu, tolong jangan menangis Fania." Suara Alfito sangat sedih. Fania menatap suaminya yang juga menangis.

'Fania redam ketidaksukaanmu. Berpura-puralah mencintainya, ayo Fania ... kamu pasti bisa,' ujar Fania dalam hati. Fania duduk di samping Alfito.

Menyentuh dengan hangat pipi Alfito dengan tangan kanannya. "Aku hanya merasa bahagia dicintai kamu. Hanya saja aku memang belum siap, ini kali pertamanya aku dicium, aku terharu dan bahagia." Fania menatap lekat sang suami kontak mata terjadi.

Alfito segera memeluknya. "Au ...! Aku lupa, jika perut sakit."

Fania malah tersenyum ketika suaminya mengeluh. Alfito menatapnya hangat dengan penuh cinta. 

"Kira-kira kapan sucinya?" tanya Alfito berbisik. Fania yang terkejut memundurkan badan sambil mengerutkan kening. 

"Ini masih dua hari, biasanya aku paling lama 10 hari," jawab Fania enteng. Alfito lemas. "Tidak papa kalau lama, kita kan sama-sama belajar saling menerima." Fania menenangkan Alfito dan menyentuh tangannya dengan canggung.

'Dasar laki-laki, apa yang diinginkan hanya itu?' tanya Fania dalam hati. 

"Oh ya tadi ada wanita yang mengaku ibu. Itu siapa? Dia bilang pernikahan kita tidak sah," ujar Fania.

"Dia wanita yang melahirkanku. Sudah Jangan dianggap jika dia berkata yang tidak-tidak. Dia hanya datang kepadaku jika butuh uang," ujar Alfito yang belum terbuka.

'Masa sih, ada seorang ibu yang seperti itu? Mungkin saja salah paham, kepada ibu mereka. Ah ... itu urusan mereka, bukan urusanku, yang penting aku harus segera menjebloskan pria tua bangka itu ke penjara. Apa ini kesempatanku? Aku sangat ingin terlepas dari pernikahan ini dan masalahku kelar. Jika seperti itu aku terlihat sangat jahat sih,' ujar Fania dalam hati.

"Hai ... kok ngelamun?" tanya Alfito kepada Fania.

"Aku hanya ingin ... orang yang membunuh ibu dan adik ku masuk penjara." Fania tertegun. Alfito menarik dagunya menghadapkan wajah istri ke arahnya.

"Kalau masalah itu kamu tenang saja. Jika kamu tahu alamatnya, aku akan segera mencari bukti. Aku juga ingin berbuat adil atas meninggalnya ibu mertua dan adik iparku. Kamu tenang saja ya, tapi dari dulu. Aku sama sekali tidak melihat ibu dan adikmu. Apa karena broken home?" tanya Alfito lebih lanjut.

"Kesalahpahaman sering terjadi. Saling egois, dan merasa paling benar sendiri. Aku ingin, jika kita memiliki masalah kita langsung tuntaskan, jangan menunda untuk berbicara. Jangan melarikan diri, jangan juga menghindari dari masalah." Fania mengatakannya dengan tulus.

Alfito tersenyum dan kemudian menyentuh istrinya. Memandangnya lekat-lekat penuh dengan cinta namun membuat Fania salah tingkah merasa tidak nyaman.

"Jangan seperti itu," ujar Fania yang lalu menutup wajahnya. 

"Aku setuju. Kamu juga tidak boleh menghindar dari segala masalah apa pun. Apa pun nanti cobaan yang kita hadapi, kita harus berjalan bersama-sama. Jangan pernah meninggalkanku Fania, aku tidak tahu bagaimana diriku tanpamu."

'Aku benar-benar muak mendengar gombalan pria ini. Astagfirullah ... astagfirullah. Fania kamu harus menghargai perasaan pacar adikmu, yang sekarang menjadi suamimu ....' tegurnya kepeda diri sendiri. 

"Jangan terlalu cinta karena kita akan dipisahkan dengan kematian."

Alfito sangat terkejut mendengar ucapan istrinya. "Aku tahu, tapi kenapa kamu bicara seperti itu. Jangan berkata yang tidak-tidak untuk saat ini, karena ini masih hari indah untuk kita. Setiap perkataan adalah doa, jadi jangan berkata yang macam-macam. Ya ...." Alfito menatapnya penuh ketakutan. Fania menggangguk dia melihat ketulusan Alfito dalam cintanya.

'Dia benar-benar sangat mencintai Anaya. Tapi aku bukan Anaya. Ya Allah, sampai kapan aku harus berpura-pura. Huft ... terpaksa mencintaimu itu pun tidak mudah,' batin Fania. 

Fania melihat desain sang suaminya, melihat tokoh yang ada digambar, hatinya tersentuh. Iya itu wajahnya. Namun bukan dia yang ada di hati Alfito, melainkan saudara kembarnya.

Bersambung.

avataravatar
Next chapter