5 Ikut Ke Rumah Suami.

Setelah mendapat ciuman dari suaminya Fania yang merasa risih, segera mendorong Alfito. "Apa pikiran para tamu jika kamu masih di sini, cepat keluar sana!"

"Bagaimana bisa kamu mengusirku, seperti ini! Lagian terserah pikiran mereka yang penting aku ingin menghabiskan waktu bersamamu. Apa kamu tidak tahu betapa cepatnya aku dengan keadaanmu seperti ini? Rasanya aku juga merasakan sakit mau tahu."

'Masya Allah ... gusti Allah ... orang ini lebaynya. Bagaimana bisa si Anaya suka sama dengan dia,' umpat Fania dalam hati sambil memejamkan mata. Tiba-tiba tangan itu merangkul ke tubuhnya. 

"Aku sakit ... kata kamu, kamu juga merasakannya, jadi tolong ... aku ingin sendiri dulu. Aku ingin istirahat ini perutku sangat sangat sakit. Mungkin karena datang bulan jadi sakit banget."

"Jadi kamu sudah datang bulan? Yah ... gagal dong malam pertama kita."

"Memang kamu menikahiku hanya untuk kebutuhan logis. Hanya membutuhkan itu ...? Kamu katanya cinta kepadaku. Kok tidak mempedulikan rasa sakitku malah memikirkan yang itu terus," ujar Fania menunjukkan kekecewaannya.

"Maafkan aku sayang, Ya sudah, kamu istirahat dulu, aku akan temui para tamu." Alfito kembali mencium kening istrinya kemudian pergi. Fania terus mengusap dahi bekas bibir suaminya.

'Orang itu agresif sekali sih. Membuat aku semakin ilfil. Ih ... keningku ... ah. Hik hik hiks. Est ....' batin Fania yang kemudian bangun. Fania mukai melepas riasannya.

"Kakak ipar. Setelah salat duhur Kakak akan boyongan ke rumah kami ya." Suara dari depan pintu kamar Fania. Fania segera membuka pintu.

"Hai ... maaf Ingatanku melemah kamu siapa ya?" tanya Fania kepada gadis cantik itu. Gadis itu memandang Fania lekat.

'Aku tahu dia bukan Kak Anaya, tapi aku yakin dia wanita baik. Jadi lebih baik aku tidak berkata apa pun kepada Mas Alfito,' batin gadis itu kemudian mendekat, menghampiri kakak iparnya.

"Diana Mbak."

Fania menepuk dahi. "Maaf ya ...."

"Aku harap Mbak bisa tulus kepada Mas Alfito bukan hanya sekedar memanfaatkannya. Karena Mas Alfito itu sangat mencintai Mbak. 

Mendengar penuturan Diana. Fania sangat terkejut. Seakan-akan Fania sudah di sindir halus oleh adik iparnya.

"Mbak adalah wanita yang pertama kali dicintai oleh Mas Alfito. Mbak seseorang yang membuat dia berani mengambil keputusan untuk menikah. Mbak kan tahu sendiri, masalah broken home yang kami alami membuat ia sangat tidak percaya akan cinta. Mas Alfito merasa sebuah cinta adalah sesuatu yang manfaatkan bukan perasaan kasih sayang. Itu dulu sebelum mengenal Mbak. Jadi aku harap Mbak bisa setia dan tidak akan meninggalkannya. Walau pun masa-masa sulit, kalian harus menghadapi bersama. Mbak juga siap-siap ya, setelah ini kita Mbak akan pulang ke rumah Mbak," ujar Diana lalu pergi dengan tersenyum. 

Fania masih menatap gadis itu. 'Dia menasehati aku seakan-akan dia tahu bahwa aku akan meninggalkan Kakaknya. Apa dia tahu kalau aku hanya memanfaatkan Kakaknya? Ah ... entahlah.' 

Fania menutup pintu, Bi Sri sudah mengemas barangnya. "Maaf ya Bi ... aku pura-pura. Tapi memang sakit di perutku, tapi nggak terlalu. Aku sedikit malas menemui para tamu. Aku juga lelah dan letih, karena ibu dan Anaya yang meninggal."

"Apa maksudmu?" tanya Alfito yang ternyata berdiri di tengah pintu. Fania menutup bibirnya. "Siapa yang meninggal?" tanya Alfito yang kemudian menghampiri istrinya. Membuat Fania semakin gugup dan mengatur kata-kata dalam hati.

"Sebenarnya, aku punya adik dan ibu. Keduanya meninggal dua hari sebelum pernikahan kita, dan aku belum bisa mencari bukti boleh aku sudah tahu pelakunya, yang melakukan perbuatan keji itu. Makanya asam lambung naik, aku terlalu banyak pikiran." Fania menangis tersedu-sedu entah itu akting atau nyata, tapi jelas saja membuat Alfito merasa sedih.

"Kenapa kamu tidak bilang?" tanya Alfito yang kemudian menggenggam tangan istrinya.

"Aku tunggu waktu yang pas. Lagian kan kemarin akan ada hari pernikahan kita, masa aku jujur atas cerita duka."

"Kamu tenang saja ya sayang ... aku akan menyuruh seseorang untuk menyelidiki kasus ini. Kamu yang sabar ya, kamu yang tabah. Aku ada di sampingmu." Alfito memeluk istrinya. Ekspresi wajah yang disembunyikan Fania ketakutan dan sangat gugup, dia menggigit bibir bawah miliknya. 

Perasaan semakin berdegup kencang di dalam dadanya. "Malu ada Bibi," ujar Fania mendorong pelan dada suaminya. Dia sengaja menghindar dari suaminya. 

"Aku salat dulu bersama yang lain, nanti setelah ini kita berangkat ke rumah kita." Alfito tersenyum manis lalu pergi. 

Fania menghirup napas lega. Dia kemudian memeluk rumah tangganya. "Bi ... apa nanti aku bisa mencintai suamiku? Suamiku mencintai adikku sendiri. Bukan aku yang dicintai olehnya. Aku harus bagaimana Bi ...."

"Neng Fania yang ayu ... yang cantik. Dulu Bibi juga menikahnya terpaksa karena dijodohkan. Tapi nyatanya karena sudah sama-sama satu rumah ya jadi. Bahkan anaknya sampai enam. Kasih sayang akan tumbuh Neng ... Den Alfito juga sangat baik. Selama ini dia sangat menghibur Neng Anaya, ketika Neng Anaya sangat sedih. Tapi Neng Anaya tidak pernah menceritakan kalau dia memiliki saudara kembar. Karena Tuhan Ryan menyuruh untuk tidak membicarakan itu kepada Den Alfito."

'Apa sebegitu hinanya kami, hingga ayah tidak mau orang lain tahu. Jika kami keluarganya. Apa Ayah malu mengakui kami sebagai keluarganya. Ayah ... Ayah. aku kecewa,' ujar Fania dalam hati.

"Neng malah melamun, cepat mandi pakai baju ini ya," ujar Bi Sri sambil memberikan gaun warna biru langit. Fania setuju dan bergegas.

****

Mentari bersembunyi di balik awan mendung Fania menuruni anak tangga dengan dituntun ayahnya. Fania tidak henti memandang ayahnya. Matanya memerah dan basah, ia berusaha menahan air matanya.

"Ayah, doakan aku ya. Agar aku bisa tulus menjalin bahtera rumah tangga. Maafkan Fania jika Fania sudah meninggalkan Ayah. Maafkan Fania yang egois dan sering nembantah."

Mendengar penuturan dari putrinya Ryan menahan tangis. "Ayah yang egois tidak menjagamu dan ibumu. Kemarahan dan kecemburuan membuat ayah kehilangan kalian. Sekarang Ayah harus mendoakan dan memaafkan Ibumu agar bahagia di sana. Kamu harus menjadi istri yang baik ya. Ingat pesan Ayah, jangan sampai meminta cerai," tutur sang ayah. 

Di sana seorang pemuda gagah dan tampan menanti pengantinnya. Pesona Fania membuat dia melayang akan kecantikan istrinya. Rian memberikan tangan Fania kepada menantunya. Fania mengeluarkan keringat dingin dan pipinya memanas. 

Mereka berpamitan. "Jika Fania nakal jangan sungkan untuk menegur dan menasehatinya. Ayah percaya kepadamu," ujar Rian kepada menantunya. Alfito tersenyum. 

"Terima kasih sudah memberikan restu kepadaku Ayah. Terima kasih sudah memberikan putri Ayah ini. Aku akan menjaganya itu janjiku," ujar Alfito. 

Mereka bersalam-salaman Fania memeluk Ayahnya sebelum masuk ke mobil. Fania menangis hari, Rian membelainya menunjukkan kasih sayangnya. 

'Bagaimanapun aku hanya bayangan dari Anaya. Ayah menyayangi Anaya bukan aku,' batin Fania yang kemudian masuk mobil mewah milik suaminya. 

Bersambung. 

avataravatar
Next chapter