webnovel

Chapter 01

Seorang gadis cantik yang sibuk dengan laptop dan juga buku-buku yang berserakan di atas ranjangnya, terpaksa harus terganggu karena suara panggilan masuk di ponselnya.

Gadis itu menoleh pada benda pipih di sampingnya, memastikan siapa gerangan yang sudah mengganggu konsentrasinya dalam belajar.

Kening gadis itu tampak mengenyit, melihat panggilan masuk itu berasal dari nomor baru. Tentu sang gadis keheranan karena selama ini, tidak sembarang orang mengetahui nomor ponselnya, kecuali orang tua, keluarga dan juga para sahabatnya.

"Siapa, ya? Apa ada yang ganti nomor telepon?" gumamnya penuh rasa penasaran.

Karena tidak ingin terus menerka-nerka, gadis itu segera mengangkat panggilannya.

"Hallo, apa ini dengan Nona Azalea Kinanti?" tanya seseorang di sebrang sana begitu panggilan terhubung.

"Ya, saya Lea. Emm, maaf, kalau boleh saya tahu ini siapa?" tanya balik Lea penasaran.

"Kami dari pihak kepolisian, ingin mengabarkan kalau kedua orang tua anda menjadi korban lakalantas. Saat ini, mayat korban sudah dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi."

Jedarr!

Bagaikan tersambar petir di siang bolong, kabar yang disampaikan oleh pihak kepolisian itu membuat Lea mematung. Gadis itu tidak percaya dengan pendengarannya, karena baru lima menit yang lalu kedua orang tuanya menghubungi untuk menanyakan kabarnya.

"Apa Bapak tidak salah? Tidak mungkin itu kedua orang tua saya, Pak! Orang tua saya itu ada di Jogja, dan baru lima menit yang lalu saya bertukar kabar dengan mereka," ucap Lea menolak percaya dengan apa yang polisi itu sampaikan.

"Ini benar, Nona. Tuan Irwan dan juga Nyonya Larasati mengalami kecelakaan di jalan xxx karena bertabrakan dengan truk pengangkut barang. Kedua korban terjepit di dalam mobil dan …."

Semua penjelasan polisi itu seakan berlalu begitu saja. Yang terngiang di telingan Lea saat ini hanyalah nama kedua orang tuanya.

Gadis itu menangis terguguk. Lea kembali meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang yang dia ketahui sedang bersama kedua orang tuanya. Dia harus memastikan jika apa yang barusan polisi sampaikan itu adalah kebohongan semata.

"Hallo, Paman Ibram. Apa benar …."

"Ya, Lea. Kedua orang tuamu telah tiada. Paman sedang ada di rumah sakit untuk mengurus jenazah mereka. Mungkin baru besok pagi Paman dan jenazah kedua orang tuamu baru akan tiba. Bersabarlah, Nak. Kamu harus kuat. Berdoalah untuk kedua orang tuamu agar tenang di alam keabadian," ucap laki-laki yang berstatus sebagai paman nya itu.

"Bagaimana ini bisa terjadi, Paman? Kenapa Papa sama Mama bisa kecelakaan? Kenapa mereka bisa mengalami ini semua?" lirih Lea dengan air mata yang sudah basah membajiri pipinya.

"Bersabarlah, Lea. Ini adalah kuasa Tuhan. Kamu harus ikhlas menerima semua ini dengan lapang dada. Paman tahu kamu anak yang kuat."

Tanpa mengatakan apa pun, Lea langsung menutup teleponnya. Sudah jelas jika memang kabar itu adalah benar adanya. Kedua orang tuanya kini telah tiada, dan ini bukan hanya sekedar mimpi saja.

Dengan gontai, Lea turun dari atas ranjang. Meskipun kakinya terasa berat untuk dia ajak melangkah, tapi menangis sendiri di sini pun tidan ada gunanya.

Lea harus meminta Bi Asih—sang asisten rumah tangga di rumahnya—untuk membantu dia menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut jenazah orang tuanya.

Satu persatu anak tangga Lea turuni, kakinya yang lemas mengharuskan Lea berpegangan erat pada sisi tangga. Bi Asih yang melihat kondisi Nona-nya yang seperti itu, buru-buru menghampiri Lea.

"Ada apa, Non? Apa sudah terjadi sesuatu?" tanya Bi asih kahwatir.

"Mama sama Papa, Bi. Mereka kecelakaan," jawab Lea dengan suara serak karena terus menangis.

"Jangan bercanda, Non. Baru satu jam yang lalu Nyonya telepon Bibi buat nitipin Non Lea karena akan lebih lama lagi tinggal di Jogja. Bagaimana bisa tiba-tiba kayak gini?" tanya Bi Asih seolah tidak percaya dengan apa yang Lea katakan.

Lea hanya menangis terguguk. Dia pun masih tidak mempercayai semua yang terjadi pada kedua orang tuanya. Akan tetapi, tidak mungkin polisi dan juga sang paman berbohong padanya. Kedua ornga tuanya memang sudah benar-benar tiada, menjadi korban ganasnya jalan raya.

"Duduk dulu, Non, biar Bibi ambilkan minum dulu," ucap Bi Asih mendudukan Lea di sofa.

Lea hanya diam dan terus menangis. Apalagi, saat melihat potret dirinya dan juga kedua malaikat penjaganya itu, membuat tangis Lea semakin pecah saja.

"Lea harus bagaiaman tanpa kalian, Pa, Ma? Kenapa kalian tega ninggalin Lea sendirian? Bagaimana nasib Lea tanpa kalian? Lea takut sendirian," racau Lea penuh kesedihan.

"Non, ini airnya. Non Lea minum dulu biar lebih tenang. Jangan menangis lagi ya, Non. Non Lea anak yang kuat," ucap Bi Asih sambil mengelus punggung Lea, berusaha menenangkan gadis itu.

"Lea harus bagaimana, Bi? Lea tidak punya siapapun lagi. Bagaimana Lea akan hidup tanpa mereka? Kenapa mereka tega meninggalkan Lea seperti ini?"

Bi Asih langsung memeluk erat gadis