1 Suami yang dingin

"Berapa lama lagi saya harus menunggu kehadiran cucu dari kamu, Syafa?" tanya Erna di saat sarapan pagi baru saja berlangsung. Syafa yang hendak menyuapi mulutnya dengan makanan, terpaksa meletakkan kembali sendoknya diatas piring.

"Allah belum kasih kita amanah, Ma," balas Syafa dengan segala kesabarannya sembari melirik ke arah Aldebaran.

Syafa masih belum tahu pasti, apakah suaminya itu sudah benar-benar mencintainya atau belum, tapi melihat dari ekspresinya yang biasa-biasa saja, membuat Syafa yakin kalau suaminya belum sepenuhnya mencintainya. Pasalnya, pernikahan mereka memang dijodohkan oleh kedua ayah mereka. Jadi, butuh waktu untuk saling mencintai.

"Ma, bisa tidak masalah ini tidak di bicarakan saat sarapan. Siapa sih yang tidak mau kehadiran buah hati. Syafa dan Al juga sedang berusaha. Seharusnya kamu support mereka dong," sambung Rasyid memberi Syafa semangat.

Setiap kali ditanya tentang anak, setiap kali juga Syafa harus melindungi suaminya dari pertanyaan itu. Sebenarnya, setelah sah menjadi suami istri, Aldebaran dan Syafa tidak pernah tidur bersama. Namun, satu bulan yang lalu mereka pernah bangun tidur di tempat yang sama, diatas kasur yang biasanya Syafa tidur, tapi Al mengatakan ia hanya tidur sebentar dan tidak melakukan apapun pada Syafa. Padahal Syafa berharap Al memang ingin tidur didekatnya.

Setelah kejadian itu, setiap malamnya mereka tidur terpisah seperti biasanya lagi. Syafa di tempat tidur dan Aldebaran membentangkan alas di lantai atau kadang tidur di sofa kamar. Mereka melakukan itu hampir satu tahun ini dan Syafa tidak pernah menuntut apapun. Padahal seorang suami wajib memberi nafkah lahir batin kepada seorang istri.

"Al berangkat," ucap Al kepada seluruh orang yang ada di meja makan.

Syafa ikut menyelesaikan sarapannya dan sigap membawa tas suaminya itu sampai ke depan pintu. "Ini tasnya, Mas."

"Lain kali kalau Mama nanya masalah itu lagi, enggak usah dijawab. Kamu paham kan?!"

"Bukan hanya Mama yang menginginkan seorang anak, Mas, tapi Syafa juga. Meski umur Syafa baru 22 tahun, aku udah siap kok menjadi seorang ibu."

Aldebaran tidak menggubris istrinya itu, Ia langsung menyodorkan tangannya ke arah Syafa dan langsung berangkat menuju perusahaan Store.Id.

Sebenarnya, hati Syafa selalu khawatir setiap Aldebaran tidak ada disisnya, selalu ada pikiran aneh yang melintas di kepalanya. Laki-laki berusia 27 tahun itu mempunyai paras yang tampan, ia juga seorang CEO di perusahan milik keluarganya. Kemungkinan berselingkuh atau dekat dengan wanita lain sangat besar. Namun, gadis berjilbab itu selalu percaya bahwa suaminya tidak akan pernah menghianatinya.

"Aku suka cueknya, aku suka marahnya, aku suka secuil perhatiannya, aku suka suaranya, aku suka wajahnya, aku suka semua yang ada pada dirinya, termasuk rasa sakitnya."

****

Syafa mengeluarkan motor scoopy miliknya dari garasi. Pagi itu ia akan pergi ke Supermarket dan toko bunga untuk membeli keperluan malam nanti. Hari itu adalah satu tahun usia pernikahan mereka dan Syafa ingin merayakannya meski sederhana sembari berharap Aldebaran lebih bisa mencintainya dengan setulus hati.

"Non Syafa udah bilang sama Pak Al belum kalau mau keluar?" tanya Marno, Satpam keluarga Rasyid.

Tatapan sendu memenuhi kedua bola mata Syafa. "Aman, Pak." Syafa menghela nafas panjang sebelum berangkat. Kemanapun Syafa pergi, hal itu tidak akan membuat Aldebaran marah. Suaminya itu tidak akan peduli juga, tapi sebagai istri yang baik, Syafa selalu mengabari kalau ingin pergi kemanapun, meski kadang pesannya hanya dibaca.

"Hati-hati, Non."

Syafa mengangguk. Ia melajukan kendaraanya dengan santai sambil menikmati udara pagi yang begitu menyegarkan. Gadis itu sangat menyukai sinar matahari pagi karena sangat bagus untuk kesehatan. Namun, tiba-tiba saja motor Syafa mendadak berhenti tengah jalan. Gadis itu akhirnya mau tidak mau harus menepikan motornya dipinggir jalan.

Pagi itu memang cukup banyak kendaraan berlalu lalang, tapi tidak ada satupun yang berhenti membantunya. Syafa ingin menelpon sahabatnya Rere, tapi sahabatnya itu pasti sedang bekerja dan Syafa tidak ingin mengganggunya. Alhasil, mau tidak mau Syafa menghubungi suaminya.

"Assalamu'alaikum, Mas. Motor aku mogok tengah jalan, bisa nggak Mas ke sini sebentar atau suruh siapa yang bisa lihat kerusakannya, bengkel masih jauh," ucap Syafa lewat seberang telepon.

Terdengar jelas helaan nafas Al dari sambungan telepon itu. "Aku lagi ada meeting dengan klien lima menit lagi. Kamu telepon Pak Marno aja. Udah ya, aku mau persiapan sekarang."

Tatapan Syafa terpaku ke depan, perlahan ia menurunkan ponselnya menjauh dari telinganya. Gadis itu tidak bisa berkata apa-apa selain memendam semua yang ia rasakan.

Bim Bim Bim

Suara klakson mobil mengagetkan lamunan Syafa, ponselnya saja sampai jatuh ke aspal dan menyebabkan keretakan pada layar ponselnya, walapaper yang memuat foto pernikahannya itu terlihat tidak enak dipandang mata. Gadis itu segera mengambil ponselnya dan memasukkannya ke dalam tote bag miliknya.

Selang dari itu, keluar seorang laki-laki gagah dengan setelan jas hitam mendekat ke arah Syafa. Laki-laki itu perlahan berjalan ke arahnya sembari mengancing jasnya. "Maaf, apa ada masalah?" tanya laki-laki itu.

Antara bingung dan takut Syafa sempat diam beberapa saat sampai laki-laki itu menggoyangkan tangannya ke depan wajah Syafa. "Iya, ada apa?"

Laki-laki itu tersenyum manis. "Seharusnya saya yang tanya, apa kamu ada masalah?"

Syafa mengangguk pelan. "Motor saya mogok, Pak."

Laki-laki itu menyodorkan tanganya untuk berkenalan, tapi Syafa menolaknya dengan sopan. "Maaf, saya Haigar Kalandra, panggil saya Haigar saja."

Syafa memberi senyuman sebagai tanda menghargainya. Kalau dilihat laki-laki itu memang terlihat masih lumayan muda, tidak jauh dari Aldebaran, mungkin lebih muda beberapa tahun saja.

"Boleh saya periksa?"

Gadis itu mengangguk. "Maaf kalau saya merepotkan anda."

Dengan kepandaiannya, Haigar memeriksa kerusakan pada motor Syafa. Bahkan laki-laki itu sampai membuka jasnya, hanya kemeja putih yang menempel di badannya, ia juga menggulung lengan bajunya. Dengan peralatan miliknya, ia mulai mengotak-atik motor Syafa. Tidak lama dari itu kerusakannya sudah teratasi dengan baik. Permasalahannya hanya pada aliran bensinnya yang macet. Akhirnya motor itu sudah di perbaiki dan hidup kembali.

Syafa merasa tidak enak dengan laki-laki yang sudah membantunya itu. Tangan dan bajunya jadi kotor setelah bergulat dengan motor Syafa. "Terima kasih sudah membantu saya dan maaf baju bapak jadi kotor gara-gara saya," ungkap Syafa penuh penyesalan.

Haigar menerbitkan senyum manis kepada Syafa. "Sama-sama, sebagai imbalannya panggil saya Haigar aja."

Syafa mengangguk. "Makasih Haigar."

"No problem."

Dsst dsst dsst

Ponsel Syafa bergetar, setelah dilihat ada panggilan dari suami tercintanya. Syafa tidak bisa menutupi ekspresi bahagianya, karena Syafa merasa yakin kalau suaminya pasti khawatir dengannya. Ia menjauh sedikit dari Haigar untuk mengangkat telepon. "Halo, Mas Al. Ada apa?"

"Kamu udah telepon Pak Marno?"

Syafa sempat terdiam beberapa detik. "Motor aku udah hidup lagi kok, Mas. Ini mau lanjut jalan."

"Ya udah kalau begitu."

Syafa kembali mendekat ke arah Haigar. Gadis itu menyerahkan jas Haigar yang berada diatas motornya sebelum melanjutkan perjalanan. "Sekali lagi terima kasih sudah membantu aku."

"Oke, sama-sama. Hati-hati."

Beberapa meter melajukan motornya, Syafa terpaksa harus berhenti mendadak saat Haigar berteriak kencang. Syafa menoleh ke arah laki-laki itu sembari kebingungan.

"Nama kamu siapa?"

"Syafa, Syafa Humaira Putri," teriak Syafa dengan sedikit kencang kemudian melanjutkan perjalanan lagi.

"Aku ramal, kita akan bertemu lagi." Untuk terakhir kalinya, laki-laki itu kembali menerbitkan senyuman manis sampai Syafa menghilang dari pelupuk matanya.

avataravatar
Next chapter