1 Salah Mengira

"Sekarang kamu dengerin baik-baik karena aku mau ngomong serius."

"Iya udah buruan! Dari tadi juga begitu." Aku benar-benar sudah tak sabar ingin mendengar apa yang akan dikatakan Nanta, dia terlalu bertele-tele.

"Ini tentang perasaan aku."

Deg.

Segelintir rasa kege'eran hinggap begitu saja di hati ku tanpa bisa kucegah.

Perasaan apa nih? Jangan-jangan Nanta suka sama aku? Alhamdulillah akhirnya ada cowok yang suka sama aku.

Aku berusaha menahan senyumku, mungkin pipiku sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Perasaan apa?" tanyaku berpura-pura tak mengerti, bahkan alisku turut mengernyit agar semakin mempermantap aktingku.

"Aku lagi suka sama cewek, dia cantik, baik, pengertian, dan cocok banget kalo dijadiin tempat curhat," lanjut Nanta dengan wajah berseri-serinya, seolah tengah membayangkan sosok gadis yang kupikir saat ini adalah aku.

Aku masih berusaha menahan senyum yang seolah ingin merekah ini. Aku merasa yakin Nanta menyukaiku karena selama ini kami sering bersama sebagai sahabat, bahkan dari kecil. Wajah Nanta yang terlihat salah tingkah itu membuatku semakin penasaran. Sepertinya Nanta benar-benar menyukaiku, makanya dia terlihat begitu gugup.

"Siapa cewek itu?" tanyaku lagi.

Cowok tampan asli Bandung yang sekarang tinggal menetap di Kota Banjarmasin ini menatapku dengan senyumnya yang begitu manis dan lembut. "Dia ...."

Aku menaikkan kedua alisku penuh tanya menunggu Nanta melanjutkan kalimatnya yang menggantung di udara. Senyum di bibirku pun tak dapat berhenti mengembang mendapati tatapan manis yang menghipnotis itu.

"Dia ... Yura."

Hah?! Apa aku salah dengar?

Mendadak senyuman ku pudar. Bisa-bisanya aku kege'eran seperti ini. Ini terasa sangat menyebalkan sekaligus memalukan.

"Gimana, Sha? Cocok gak kalau aku jadian sama dia?" tanya Nanta sembari menaik turunkan alisnya, seperti tak sabar meminta pendapatku.

Aku langsung membuang muka dan memutar bola mata malas. "Gak tau," jawabku ketus.

"Yang bener Sha, aku mau nembak dia takut gak di terima," ucap Nanta dengan nada memelas.

"Nembak apaan? Mau ngajak pacaran? Gak boleh pacaran, dosa!" jawabku begitu tegas tanpa mau menatapnya.

"Huu! Mentang-mentang situ jomblo, gak ngebolehin orang pacaran!"

"Pacaran emang gak boleh, makanya aku jomblo." Aku masih bersikap angkuh.

"Masa? Jomblo karena prinsip atau nasib nih?" ledeknya yang masih juga tidak peka kalau aku sedang marah padanya.

Aku bertambah kesal dan mendengkus sebal. Aku tak berminat untuk meladeni cowok menyebalkan ini sekarang. Bisa-bisanya dalam waktu sesingkat ini dia mematahkan perasaanku.

Nanta masih diam saja, aku dapat melihat dari sudut mataku kalau dia tengah memperhatikanku, mungkin dia tengah mengamati ekspresi kesalku.

"Kamu marah?" tanyanya yang masih mengamati wajahku dengan seksama.

Pakai nanya lagi! gumamku dalam hati.

"Cewek kalo diem kayak gini nih, fix lagi marah."

Tuh tau! Aku masih tak ingin membalas ucapannya. Aku memilih untuk mendiamkannya agar dia peka dan menyadari sendiri apa salahnya. Eh tapi, apa Nanta salah kalau dia menyukai perempuan selain aku? Aku hanya sahabatnya, bukan kekasihnya, aku lah yang terlalu kege'eran, tapi tetap saja aku kesal!

"Tapi aku salah apa Sha? Ngapain kamu marah?" tanya Nanta dengan wajah innocent-nya yang justru membuatku semakin merasa sebal. Dasar cowok.

"Dahlah aku mau pulang, dah gak mood." Aku berdiri dan bersiap untuk beranjak.

Nanta menahan lenganku saat aku ingin menjauh. "Loh kok gitu? Marah gara-gara aku ngatain kamu jomblo?"

Aku menepis kasar tangannya yang mencengkram pergelangan tanganku. "Jangan pegang-pegang, bukan mahram!" tajamku. Sembarangan sekali main sentuh-sentuh.

Nanta nyengir tak berdosa. "Iya maaf lupa. Tapi Sha, kamu jangan pulang dulu, kita belum selesai ngobrol."

"Ngomongin apa lagi sih?" Aku menanggapinya dengan sangat malas.

"Kamu belum kasih pendapat. Gimana? Cocok gak aku sama Yura? Tembak dia gak, ya?"

Aku menghela napas kasar dan memutar bola mata malas.

"Pikir aja sendiri, aku lagi banyak pikiran, gak usah ditambah-tambahin suruh mikir ini itu."

"Cuma nanya pendapat aja, gak usah mikir yang gimana-gimana, apa susahnya sih emang?"

"Aku capek ah, mau pulang." Aku kembali melangkah menjauh dari teras rumah Nanta, dan kali ini dia tidak menahan ku lagi.

"Sha ...." Dia memanggilku, tapi aku berpura-pura tak mendengarnya. Apa aku berlebihan? Entahlah, bagiku tidak terlalu berlebihan.

Setelah beberapa langkah aku menjauh dari sana, aku membalikkan badanku dan menatap cowok yang tengah mematung menatapku dengan ekspresi bingung itu.

"Gak usah nganterin!" ketusku.

Adnan menaikkan satu alisnya. "Iya, kamu 'kan bawa motor sendiri, ngapain diantar juga?"

Sontak aku menoleh ke samping, menatap motorku yang terparkir damai di sana. Aku berdecak merutuki kebodohanku. Asli, sekarang aku benar-benar merasa malu. Rasanya aku ingin menghilang sekarang juga dari hadapan Nanta.

Aku kembali membuang muka dari Nanta meski masih sangat malu. Aku menaiki motorku, memasang helm, dan bersiap menancapkan gas untuk segera melaju menjauh dari pria paling meneyebalkan hari ini.

"Aku pulang, assalamualaikum," pamitku dengan ketus.

Masih dapat ku dengar Nanta menjawab salamku. Wajahnya masih nampak kebingungan, terlihat dari alisnya yang mengernyit menatapku. Entah dia mengiraku sedang PMS atau bagaimana, yang pasti sekarang aku kesal.

Selama ini, satu kali pun aku tak pernah mendengar ada cowok yang menyukaiku. Aku memang masih kelas sepuluh SMA, tapi aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai cowok? Bagaimana rasanya mendapat pernyataan suka? Teman-temanku semua sudah pernah merasakan yang namanya pacaran, otomatis mereka semua pernah mendapat pernyataan suka.

Aku sering bertanya-tanya, di mana kurangnya aku? Sembari menatap cermin aku melihat gurat wajahku yang terlihat tidak buruk, walaupun memang di luaran sana banyak perempuan yang terlihat jauh lebih cantik dariku. Selama ini aku mengira Nanta menyukaiku, tapi dia tidak mengaku, dan setiap bersamanya aku selalu menunggu-nunggu dia akan menyatakan perasaannya padaku. Terlebih lagi, hanya Nanta satu-satunya teman cowok yang dekat denganku. Namun sekarang apa? Ternyata dia juga tidak menyukaiku. Hanya aku yang merasa kege'eran.

Nanta tidak salah. Akulah yang salah. Aku terlalu kege'eran. Rasanya sakit sekali mendapati kenyataan tidak sesuai harapan. Aku semakin bertambah insecure karena merasa tak diinginkan siapapun.

Air mata ini jatuh tanpa aba-aba. Kekesalanku semakin memuncak karena bisa-bisanya aku menangis hanya karena masalah seperti ini?

Aku sadar bahwa aku tidak pantas untuk menangisi hal sepele seperti ini. Tapi entah mengapa rasanya aku sangat bersedih, tapi bukan bersedih karena masalah tadi, seperti aku sedang sedih untuk hal yang lain tapi aku tidak tau itu apa.

Jarak rumahku dari rumah Nanta tidak terlalu jauh. Kami memang berteman sedari kecil, lebih tepatnya sejak kelas empat sekolah dasar. Dulu Nanta tinggal di rumah yang ada di samping rumahku sebelum akhirnya dia dan keluarganya pindah ke rumahnya yang sekarang, tapi hubungan pertemanan kami tetap baik dan kami selalu menjadi teman sekelas sejak pertama kali dia pindah kesini dulu.

Tak terasa motor yang kunaiki sudah memasuki gang menuju rumahku. Pekarangan rumah sederhana itu pun sudah terlihat, tetapi ada yang berbeda di sana. Aku bertanya-tanya, ada apa ini? Kenapa banyak orang di rumah ku? Dan ... di sana ada bendera kuning yang tertancap.

Siapa yang meninggal?

avataravatar
Next chapter