1 1. Malaikat Maut

Nama yang diberikan kedua orang tua ku adalah Sofi Handirga. Namun kebanyakan orang memanggilku Opi. Nama panggilan itu berawal dari adikku yang mulai belajar bicara. Agak lucu memang, anak yang berumur dua tahun itu selalu tersenyum dengan imutnya dan memanggil-manggil namaku.

Tapi...

AKU TIDAK SUKA!!!

Saat umurku tujuh tahun, Kakak dan Ibuku meninggal dunia. Mereka meninggal karena kecelakaan dan tewas di tempat. Ayahku Diro Handirga, saat itu benar-benar hancur dan bahkan berhenti bekerja.

Dua tahun kemudian saat umurku sembilan tahun, kami benar-benar mengalami kemiskinan. Sehari terkadang makan, terkadang juga tidak. Dulu sesekali tetangga memberikan kami bantuan. Namun aku sangat yakin semakin lama mereka pasti bosan memberi kami makan.

Hari demi hari tetap berlanjut, tapi aku masih dalam hitungan beruntung. Meskipun ayah tidak berkerja dan kami jarang makan tetapi aku masih bisa bersekolah. Semua itu karena uang tabungan ibuku sadari beliau pensiun berkerja dan memilih membuka usaha kecil-kecilan di rumah.

Dan tibalah saatnya hari itu tiba, saat aku berumur dua belas tahun. Tepatnya lima tahun setelah kepergian ibu dan kakak. Ayahku bertemu dengan teman lamanya dan kemudian menikah lagi.

"Sofi, maafkan Ayah. Mulai dari sekarang Ayah akan selalu memenuhi kebutuhan Sofi. Ayah berjanji akan selalu menyayangimu. Tolong kamu bersikap baik dengan Tante Tiara, ibu tirimu", ucap Ayah menekanku dengan sebuah pelukan hangat.

Ayah mungkin memang tetap menyayangiku, tapi sejujurnya Aku benar-benar tidak suka bila Ayah menikah lagi. Aku memang belum pernah mengerti dan merasakan apa itu cinta. Tapi Aku tahu satu hal, seiring dengan waktu berlalu cinta Ayah kepada Ibu telah memudar dan pada akhirnya Ayah telah larut dalam cinta yang baru, lalu melupakan Ibu.

Dari itu aku membuat alasan yang sangat jelas untuk tidak ada kata cinta dalam kamusku. Semua itu hanya perasaan yang tidak berguna dan membuang-buang waktu saja. Begitupun perasaanku untuk adik tiriku, Aku sangat tidak menyayanginya.

Sekarang yang ingin terus Ku kejar hanyalah uang dan uang. Kemiskinan di tahun-tahun yang lalu bagiku sangat mengerikan. Kejadian di depan kantin sekolah selalu teringat dan membuatku merasa sangat malu.

"Hey Opet, ngapain Lu diri di depan warung? Gak punya duit, ya?" dorong siku Ditya pada pundakku.

"Sttt.. Jangan gitu kasian. Bapaknya kan udah gila mana mungkin dia punya uang buat beli makan, haha", tambah Bili menghinaku.

"Hahaha", tawa semua murid yang ada di kantin.

Ya, memang benar Aku adalah orang miskin yang makan saja tidak mampu membeli. Tapi satu hal yang tidak benar ialah Ayah ku tak pernah gila. Dia hanya terlarut dalam kesedihan karena kehilangan ibu dan kakak. Dia hanya tidak tahu dan tidak bisa melakukan apa-apa saat kehilangan mereka.

Ku pikir semua akan berlalu seiring dengan berjalannya waktu. Tetapi tidak seperti yang ku inginkan, setelah Ayah menikah lagi mereka pindah ke rumah ibu tiriku. Ayah dan Ibu Tiara selalu mengajakku untuk pindah. Namun aku tidak bisa, terlalu banyak kenangan indah saat aku bersama Ibu dan kakak. Aku tidak bisa meninggalkan rumah ini.

Akhirnya mereka tetap pindah dan tanpa aku. Aku pun tetap menjalani kehidupan ku sendiri tanpa mengeluh, Aku hanya berpikir harus melakukan apa yang memang harus dilakukan. Seperti yang di ajarkan oleh ibu, makan tepat waktu misalnya, mencuci pakaian sendiri dan bebersih rumah setiap hari.

Aku juga tidak pernah menyerahkan pada kehidupan di sekolah. Aku tetap berusaha bersekolah hingga lulus SMP dengan prestasi yang cukup gemilang. Meskipun banyak kenangan buruk tetapi aku anggap semua itu hanya sebuah cobaan dan ujian.

Sekarang Aku telah duduk di kelas 2 SMA. Meskipun Ayah selalu memberikan uang setiap minggunya tapi Aku merasa harus mempunyai tabungan. Aku bercita-cita ingin melanjutkan kuliah dengan serius.

Jadi, Aku bekerja paruh waktu. Aku bekerja di sebuah kafe kecil, masuknya jam 2 siang sepulang sekolah hingga jam 10 malam. Karena kafe itu dekat dengan rumah jadi tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk pulang.

"Opi, jangan lupa untuk mengunci pintu", ucap Bu Miranda pemilik kafe.

"Baik", ucapku tanpa tersenyum.

Click Cklik

Hari ini pengunjung sangat ramai, sepertinya Aku agak lelah. Masih jam setengah 11, apa Aku langsung istirahat saja? Tidak ada PR juga.

Jalanan malam ini kenapa begitu sepi? Seharusnya masih banyak anak-anak nongkrong. Warung tukang gorengan juga sudah tutup, atau memang dari pagi tidak buka? Ah, Aku tidak memperhatikan.

Lho? Kok ada orang tidur di depan pagar rumah ku?

"Permisi, Paman kenapa Anda tidur di sini?", ucap ku dengan perlahan.

"Maaf, tapi Aku bukan seorang paman", jawab ketus orang itu sambil mengucek mata kanannya.

"Oh, maaf. Kalau begitu kenapa Anda tidur di sini?", tanyaku dengan sopan.

"Karena Aku akan mencabut nyawa mu", jawab orang itu dengan sorot mata yang tajam.

"Orang gila! Anda mau membunuhku?!", ucapku keras sambil melangkah mundur.

Gawat! Aku harus menelpon polisi!! Apa dia seorang rampok. Dia mau membunuhku, orang yang mengerikan.

Rogoh Rogoh.

"Apa yang Kau inginkan? Uang?! Ini ambil!!", Sraaaakkkhh... uang berhamburan. "Sebaiknya Anda pergi karena Saya telah melapor pada polisi", mundur.

"Aku ini malaikat, kenapa Kau repot-repot lapor polisi?", kata orang itu berdiri.

Kepak Kepak

"Celana ku jadi kotor karena lama menunggu mu", membersihkan celananya.

Puft. . .

"Bwahahah, Malaikat?!", tawaku terbahak-bahak. "Orang tua yang konyol, sepertinya Anda punya penyakit jiwa", tawaku kembali dengan geli.

Ckit.. Drap Drap...

"Nona Anda yang melapor, ada masalah apa?", tanya salah satu polisi.

"Tangkap orang tua ini Pak, Dia tadi mengatakan mau membunuhku! Aku yakin Dia sudah tidak waras", ucap ku berlari menuju ke belakang Pak polisi.

"Nona tolong jangan bergurau dengan kami", kata polisi itu seperti tidak percaya padaku.

"Saya tidak bergurau Pak. Dia bilang Dia ingin mencabut nyawaku. Dia mau melakukan pembunuhan terhadap diriku! Sebaiknya cepat di tangkap sebelum Dia kabur", jelasku sambil mengacungkan tangan ke arah orang tua itu.

"Sudahlah Nona, di sini tidak ada bahaya apapun. Tidak ada seorangpun di situ, sebaiknya Nona silahkan masuk ke dalam rumah", ucap para polisi menaiki mobilnya.

A-Apa ?! Apa-apaan ini!!! Kenapa polisi-polisi itu tidak dapat melihat Pak tua ini? Jangan-jangan yang dikatakannya adalah benar???

"Hmm, kenapa? Kamu tidak perlu melaporkanku ke polisi, mereka tidak akan pernah bisa menangkap ku. Kau hanya akan malu", melangkah mendekatiku.

"Jangan mendekat!!!", berlari ke rumah.

Clik Blamb..

Aku takut. Kenapa orang itu tidak terlihat, dan bagaimana bisa hanya Aku yang dapat melihatnya. Jangan-jangan Dia benar-benar malaikat pencabut nyawa! Tidak! Dia pasti hanya hantu gentayangan yang kebetulan bisa kulihat.

Aaaa!!!

"Hei jangan teriak-teriak", duduk di sofa dalam rumah.

"B- Bagaimana B- Bisa Kek Kekk Kau Ma M Masuk?" gemetaran.

avataravatar