4 Leave Me Alone

Bruum ... motor Tomi melaju kencang membelah jalanan kota. Situasi yang masih ramai tidak ia pedulikan. Ia hanya ingin cepat sampai ke pantai. Fakta yang baru saja ia dengar dari calon istrinya tersebut benar-benar memukul hati Tomi. Ia begitu kecewa, dan pantai adalah tempat ia biasa menumpahkan kekecewaan.

Tak sampai sepuluh menit, ia tiba di pantai. Sejenak menatap laut, ia lalu menumpahkan kekecewaannya.

"Kenapa ...!" teriaknya. kemudian tangisnya pecah begitu saja.

Tomi terus berteriak dan mulai menyalahkan Allah, hingga kemudian lewatlah seorang wanita.

"Tidak baik seperti itu, Mas. Semua pasti ada hikmahnya," ucap wanita tersebut.

Tomi mendelik. Wajahnya mengeras. "Tahu apa kamu?!" bentaknya.

Wanita tersebut tampak acuh terhadap bentakan Tomi, ia lebih memilih pergi.

"Dasar ... makanya jangan sok menasihati. Apa kamu tahu rasanya dikhianati?!" Tomi berusaha memprovokasi wanita tersebut. Namun gagal, wanita itu tetap melenggang.

Kesal dengan gangguan tadi, Tomi memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah, Tomi langsung ke kamarnya. Orang tua Tomi yang melihat gelagat kurang baik itu hanya diam.

Di kamar, ia kembali meluapkan kekesalannya. Ia banting semua benda yang ada, hingga meracau tak jelas. Pagi itu ia menjelma menjadi monster. Kedua orang tuanya tak berani mengusik, hanya diam dan menunggu anak mereka lebih tenang.

"Tuh kan, benar feeling Mama, gadis itu tidak baik buat anak kita. Ah ... semoga dia tidak bertindak nekat," ucap Mamanya cemas.

"Tenang Ma, sebentar lagi juga baikan dia, dia pasti capek. Udah kita pantau saja. Mungkin ini saatnya memanggil Andi pulang." Suaminya coba menenangkan seraya menyodorkan handphone. Sang istri hanya meraihnya tanpa melakukan permintaan sang Suami.

Setelah hampir seharian mengurung diri di kamar, Tomi keluar menuju ruang makan. Disana sudah ada Mama dan Papanya. Semua diam.

"Mama benar, Nancy memang gak baik, Tomi gak mengira, dia mau jadian karena taruhan saja," cerita Tomi setelah selesai makan.

"Apa ... dasar kurang ajar. Awas kalau dia berani kesini, papa usir!" teriak papanya geram.

Esok harinya, Tomi bersiap meninjau salah satu gerainya. Mengetahui hal itu, kedua orangtuanya sempat melarang.

"Kamu di rumah saja dulu, gerai baik-baik saja kok. Sudah ada yang urus," Papanya coba menahan.

"Tenang saja, Pa. Tomi baik-baik saja kok. Kalau di rumah malah keingat terus. Ya sudah, Tomi pamit dulu!"

Melihat tekad anaknya, mereka akhirnya mengizinkan.

Di gerai yang didatangi, dia mencak-mencak melihat kinerja karyawannya.

"Bisa kerja tidak, ini kan hal mudah. Masa tidak bisa sih, niat kerja, tidak?!" hardiknya saat melihat laporan keuangan yang berantakan.

"Ini juga, kalian sebagai waiters harusnya bisa melayani tamu dengan baik, dengan sopan. Mau saya pecat ?!" kembali ia menghardik karyawannya.

Semua karyawan tidak ada yang berani berkomentar atau menjawab.

"Saya ingin ada perbaikan secepatnya. Minggu depan saya cek lagi. Awas kalau masih belum beres, saya pecat kalian!"

Setelah itu, Tomi berencana memeriksa cabang lainnya.

"Maaf, Pak. Apakah tidak lebih baik jika Bapak pulang saja. Sepertinya suasana Bapak sedang tidak bagus. Kasihan mereka sudah bekerja ...."

"Kamu itu sopir, ikuti saja perintah saya. Mau saya pecat?!" hardik Tomi.

Sang sopir segera minta maaf karena sudah lancang.

Setelah hampir seharian memantau tiap cabang, Tomi pun ingin ke pantai.

"Maaf ya, saya sudah bentak Bapak tadi, hari ini saya sedang banyak masalah," ucap Tomi pada sang sopir saat mereka menuju pantai.

Sang sopir tersenyum. "Tenang saja, Pak. Saya paham kok. Kalau mau cerita, monggo bisa diceritakan."

Tomi memilih diam. Ia memang sering bercerita apapun dengan sang sopir, baik itu tentang bisnis atau kadang juga tentang Nancy. Tapi untuk kali ini, ia memilih untuk menyimpan sendiri. Karena kelelahan, Tomi kemudian tertidur.

"Gak ada apa-apa kok, pak. Itu mereka memang kelewatan. Bapak lihat sendiri, kan mereka gak bisa kerja. Saya tidur dulu ya, nanti kalau sudah sampai, bangunkan saya!"

"Lho, kok sudah di kamar, gimana sih Pak Burhan itu, disuruh ke pantai kok malah bablas ke rumah," gerutu Tomi saat bangun dan sadar sudah di kamarnya.

Tomi segera beringsut saat ia melihat jam menunjukkan pukul setengah enam petang.

"Ah, sudah hampir Maghrib ternyata. Mandi ah, besok akan kutanyakan pada Pak Burhan," gumamnya.

"Eh, sudah bangun, kecapekan ya. Tadi jalan saja sampai sempoyongan. Besok kamu di rumah saja, gak perlu ngecek ke gerai-gerai cabang," sapa Papanya.

Mendengar permintaan tersebut, Tomi langsung berang.

"Mereka itu gak becus kerjanya. Bikin laporan keuangan salah, waitersnya gak ramah, belum lagi ...,! bentak Tomi terputus saat Papanya menyebutkan sebuah nama.

"Kenapa bawa-bawa Kak Andi. Dia kan sibuk di luar negeri!?"

"Kamu gak perlu mikir itu, dia sudah setuju akan pulang ke Indonesia, Kamis besok. Kamu jemput ya," jawab Papanya.

"Huh ...iya iya, besok Tomi jemput." Tomi mengiyakan sambil mendengus kesal.

****

Esoknya di Bandara.

"Tomi ... wah bagaimana kabar adikku ini, dua tahun kakak tinggal, sudah jadi pengusaha sekarang, kakak ikuti lho berita usahamu!" seru seorang pria berjaket kulit. Seseorang yang sudah lama ingin Tomi temui, Andi.

"Ayo kak, kita pulang, Papa Mama sudah nunggu dari tadi," ajak Tomi dengan ekspresi datar. Tanpa bertanya, Andi segera mengikuti Tomi.

"Pokoknya jangan buat dia gusar, adikmu itu sedang ada masalah, jadi ikuti saja yang dia lakukan." Begitu pesan Mama kemarin.

"Kenapa tiba-tiba balik ke Indonesia, bukankah sudah nyaman di Jepang?" tanya Tomi ketus.

"Kakak kangen saja, dua tahun disana membuat kakak kangen suasana Semarang. Kangen ngerjain kamu."

Tomi tersenyum kecil mendengar jawaban kakaknya.

"Banyak yang terjadi selama kakak pergi, termasuk ... ah sudahlah, pokoknya banyak lah. Oh ya, siang ini, aku ada urusan, jadi aku akan langsung cabut setelah sampai rumah."

"Ya...ya... yang sudah sukses, Kakak gak boleh ikut nih?" Andi coba menggoda adiknya.

"Kakak istirahat saja dulu, nanti sebelum makan malam, Tomi janji sudah sampai rumah."

Lama tak bertemu membuat perjalanan mereka terasa seru. Sampai kemudian ...,

"Bagaimana kamu dengan Nancy, sudah sejauh mana, kapan nih dilamar?"

Seketika ekspresi Tomi berubah. Tangannya menggenggam erat kemudi mobil. Wajahnya mengeras.

"Kakak tidak usah ikut campur urusan itu, kamu disuruh Mama, kan?!"

Andi terdiam, menyadari dia melakukan kesalahan. "Apa maksudmu disuruh ...?" Andi pura-pura bingung.

"Sudahlah, Kak, mengaku saja!"

Karena tak mendapat jawaban, Tomi langsung melajukan mobilnya dengan ngebut.

"Tomi, nyetirnya yang benar, gak perlu ngebut-ngebut seperti ini!"

Seolah tak mendengar protes Andi, Tomi malah melajukan mobilnya lebih kencang.

"Ayo turun, sudah sampai, cepat bawa barang-barangmu!" perintah Tomi sesampainya mereka di rumah.

Andi segera menurunkan barang bawaannya, Tomi sendiri tampak membantu dengan setengah hati.

"Pa, Ma, Tomi pergi dulu ya, udah ditunggu teman ini!" pamitnya saat barang terakhir dikeluarkan.

Papa coba menahan Tomi.

"Kenapa sih, Tomi lagi ingin sendiri. Tolong jangan ganggu Tomi dulu!" protes Tomi akhirnya.

melihat Tomi seperti itu, akhirnya mereka mengalah.

avataravatar
Next chapter