1 Bab. 1 Diantara Derasnya Hujan

Prolog

Tap. Tap. Tap. Bunyi langkah mantap seorang wanita menapaki sebuah koridor hotel. Kakinya yang jenjang terlihat sempurna dengan high heel maroon yang terlihat sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Di badannya sebuah dress berwarna senada membalut sempurna tubuh rampingnya yang seperti gitar Spanyol. Walaupun tinggi wanita itu hanya seratus empat puluh sembilan. Namun, tak menyurutkan kecantikan yang terbentuk di wajahnya yang tampak seperti gadis belasan tahun itu.

"Seribu delapan ratus empat puluh satu. Seribu delapan ratus empat puluh dua…," gumam wanita itu membaca setiap nomor yang ada di atas pintu hotel yang berjejeran. Dengan tangan terangkat menunjuk satu per satu angka-angka yang tersedia. "Nah, ini dia. Seribu delapan ratus empat puluh tiga," soraknya bahagia. Ia pun melirik gawai yang ada di tangan kanannya. Dimana sebuah pesan dari sang suami tercinta. Nampak memenuhi layar datar itu. 'Seribu delapan ratus empat puluh tiga. Angka yang sangat istimewa untuk kita berdua, Mas. Karena di tahun dua ribu delapan belas, bulan keempat dan tepat di tanggal tiga. Kamu meminangku dengan akad di depan penghulu dan almarhumah Papa dulu,' batin wanita itu sambil menggosok pelan cincin yang melingkar di jari manisnya.

Senyumnya pun mengembang indah di bibir tipisnya. 'Terima kasih kamu masih bersikap romantis sampai hari ini, Mas,' batinnya lagi sebelum akhirnya ia mengangkat tangan kanannya untuk mengetuk pintu di depannya.

Tok. Tok. Tok. Bunyi pintu kayu itu saat bersentuhan dengan tangan wanita itu pelan. Cekrek! Pintu pun terbuka lebar tanpa ada sosok yang nampak membukakannya. 'Ini, pasti kejutan dari Mas Zul,' batin wanita tadi sambil tersenyum. Tanpa pikir panjang wanita itu pun berjalan menerobos pintu yang sudah terbuka sebagian itu. Dan aroma semerbak bunga mawar pun langsung tercium memenuhi ruangan itu. Saat kedua mata sang wanita menatap lurus tempat tidur ukuran big size di tengah ruangan yang sudah dihiasi bunga mawar membentuk hati.

Blak! Si lelaki yang bersembunyi di belakang pintu pun menutup pintu itu pelan. Kemudian saat sang wanita sedang mengagumi hiasan bunga di atas ranjang hotel yang sudah ia pesan. Perlahan lelaki itu mencabut kunci kamar lalu menyimpannya di bawah keset. Seringai lebar pun terbentuk di bibir lelaki tersebut. Ketika ia berjalan mendekati si wanita tadi.

"Kamu suka bunga-bunga itu, Sayang?" ucap lelaki itu sambil memeluk erat si wanita dari belakang. Sontak wanita itu pun kaget. Mendengar suara yang sudah tidak asing itu bukanlah suara sang suami tercinta.

"Mas Samuel? Apa yang kamu lakukan di sini? Lepaskan aku!!" kata si wanita sambil berusaha melepaskan pelukan lelaki yang ia kenal sebagai sahabat suaminya di kantor.

"Kenapa harus aku lepaskan? Nikmati sajalah, Nat. Aku akan membawamu ke angkasa raya malam ini. Hahaha," balas lelaki yang dipanggil Samuel itu dengan tertawa girang. Kemudian lelaki itu pun menyeret tubuh si wanita ke arah tempat tidur. Lalu menghempaskan tubuh itu begitu saja ke atas tempat tidur. Sampai-sampai tubuh kecil wanita itu sedikit terpantul saat mendarat di atas kasur yang empuk.

Segera wanita itu bangkit lalu berlari ke sudut kamar yang lain.

"Jangan Mas. Jangan!!! Saya mohon jangan lakukan itu terhadap saya. Ingat, Mas. Saya ini istri temanmu sendiri," rengek si wanita itu terus menerus.

"Hahaha. Jangan sungkan-sungkan kepadaku, Nat. Aku akan bermain lebih baik daripada suamimu," ujar lelaki itu sambil meloncat ke arah si wanita berdiri. Lalu dengan sigap ia pun memeluk tubuh wanita itu tanpa memberi jeda agar wanita yang ia panggil Nat itu melakukan perlawanan.

"Mas Sam. Aku mohon sadarlah, Mas. Sadar," ucap si wanita sambil terus berontak.

"Hahahaha." Bukannya memiliki rasa iba. Lelaki tadi malah semakin mempererat pelukannya. Wanita tadi pun terus meronta-ronta hingga akhirnya tubuh keduanya terjatuh ke atas kasur.

Blak!!! Belum sempat keduanya beranjak. Beberapa orang sudah membuka pintu kamar itu dengan tiba-tiba.

"Natasha!!!" seru salah seorang lelaki diantara mereka.

*******

Bab. 1 Diantara Derasnya Hujan

Siang itu langit di atas kota Jakarta ditutupi awan tebal Kumulonimbus. Sampai-sampai sinar matahari saja tak bisa menembus awan yang membuat hujan lebat beserta petir yang menggelegar itu. Tentu saja hal ini membuat sebagian besar masyarakat kota Metropolitan malas menapakkan kakinya keluar rumah. Walaupun perut keroncongan meminta jatah makanan, tapi tetap saja mereka enggan berbasah-basah ria di jalanan dan lebih memilih jasa pengantar makanan sebagai sarana untuk mendapatkan makanan yang mereka inginkan.

Dan demi lembaran rupiah yang akan memenuhi kebutuhan hidupnya. Para pengantar makanan yang bekerja di bawah naungan sebuah aplikasi modern berbasis jasa mobilitas pun dengan penuh tanggung jawab melaksanakan tugasnya. Salah satu diantaranya bernama Natasha.

Dengan penuh hati-hati wanita berusia dua puluh lima tahun itu melajukan sepeda motor matic yang diberikan bosnya. Ia tak lagi memperdulikan dinginnya air hujan yang mengguyur seluruh badan. Meskipun ia sudah menggunakan mantel sebagai pelindung. Namun, hawa sejuknya tetap bisa menembus tulang.

Tepat di depan sebuah lobi kantor Natasha menghentikan laju motornya. Ia pun membuka kaca helmnya. Kemudian meraih ponsel pintar yang tersimpan di dalam saku celana jeansnya. Natasha pun memencet beberapa kali layar datar itu. Sebelum akhirnya ia menempelkan gadget itu ke telinga kanannya.

"Hallo, Mbak Safira. Saya sudah sampai lobi kantor Putra Perkasa," ucap Natasha pada salah satu pelanggannya hari ini.

"Oh, iya Mbak. Saya kesana sekarang," balas Safira.

"Baik, Mbak. Saya tunggu." Tut. Hubungan pun terputus.

Natasha memasukkan Smartphonenya kembali ke dalam saku bagian dalam jaket hijau kebanggaan. Lalu ia pun melepas sarung tangan basah yang melapisi kulit tangannya yang mulai berkerut. Huft. Huft. Huft. Beberapa kali Natasha meniup kedua telapak tangannya sebelum ia gosok-gosokan dengan cukup cepat. Rasa hangat pun langsung terasa menjalar begitu saja.

"Mbak Natasha ya?" ucap seseorang dari belakang Natasha. Wanita yang masih berada di atas motor matic itu langsung menoleh.

"Oh, iya. Dengan Mbak Safira?" tanya Natasha balik. Sambil menstandarkan motornya. Lalu ia segera turun dari motor itu.

"Benar," jawabnya singkat.

"Ini, Mbak. Pesanannya. Dua bakso bakar ekstra pedas dan tiga bakso cumi goreng kranci ekstra saus Padangnya," kata Natasha dengan mulut yang berbusa. Rasanya ia ingin meneteskan air ludah saat mengatakan makanan yang pastinya akan enak jika dimakan saat hujan-hujan begini. Apalagi di saat perut sedang meronta-ronta meminta jatah makanan seperti perut Natasha. 'Hems…. Pasti enak sekali rasanya,' batin Natasha sambil menyerahkan lima boks makanan itu dengan berat hati.

"Iya. Makasih ya, Mbak. Oh, ya. Aku udah bayar lewat aplikasi," sahut Safira kemudian melenggang pergi.

"Iya, Mbak," balas Natasha setengah bergumam. Senyum Natasha pun meredup. Huft. Lalu Natasha menghembuskan nafas beratnya. 'Padahal, andai dia bayar uang cash. Mau aku beliin makanan untuk Karen,' batinnya nelangsa. Sambil memandangi punggung Safira yang kian menjauh.

Lagi-lagi Natasha hanya bisa menghembuskan nafas berat. Dengan tatapan penuh kekecewaan tergambar di wajahnya. Lalu dengan tak bersemangat ia pun segera naik ke atas motor yang terparkir di sampingnya. Ia ingin segera pulang dan bertemu dengan putrinya. Namun, sebelum itu Natasha harus kembali ke kantor untuk mengembalikan penyimpan makanan yang dipasang di jok belakang motornya.

Motor matic berwarna hijau daun yang dipakai Natasha itu pun sebenarnya pemberian Bos Natasha secara cuma-cuma. Alasannya sih karena Natasha gabung sebagai anggota ke seribu di Growber. Jadi, dia berhak mendapatkan hadiah berupa motor matic itu. Tapi, entah kenapa sikap lelaki paruh baya itu terlampau baik pada Natasha. Padahal bukan hanya Natasha anggota baru di sana, tapi perhatian Pak Raymond pada Natasha sangat berbeda dengan sikap laki-laki itu pada yang lainnya. Apalagi pada anggota lama. Makanya tidak satu dua orang yang iri sama Natasha bahkan sampai ada yang menggosipkan kedekatan mereka berdua. Sebenarnya, Natasha juga merasa risih si selalu digibahkan menjalin hubungan terlarang dengan lelaki berperut buncit itu. Namun, apa mau dikata. Natasha masih membutuhkan pekerjaan ini. 'Lagian. Selama Pak Raymond tidak bertindak macam-macam. Gue nggak perlu khawatir,' tekad Natasha pada dirinya sendiri.

Klunting. Baru sampai setengah perjalanan tiba-tiba ponsel pintar Natasha berbunyi. Mau tidak mau Natasha pun menepikan laju motornya. Karena ia tidak mau melewatkan orderan yang beberapa bulan ini sudah menghidupi Natasha dan juga Karen, putri semata wayangnya. Natasha pun terpaksa berhenti di pinggir jalan yang cukup lapang, sebab ia tidak menemukan tempat berteduh di sekitar sana. Untung saja ponsel pintarnya sudah dilapisi kantong khusus yang tahan air. Jadi, benda elektronik itu aman walau terkena air hujan deras seperti ini.

Natasha pun memencet beberapa kali layar datar itu. Lalu seketika keningnya pun berkerut.

"Duh, gue ambil nggak ya orderan ini? Mana tempatnya jauh lagi. Bisa pulang malem ntar. Kasian juga Karen di rumah sendirian. Tapi, bayarannya lumayan. Kalau gue nggak ambil sayang juga bonusnya," gumam Natasha sambil terus menatap layar gawainya. "Gue ambil aja deh. Lagian di deket sana ada warung makan murah. Gue bisa beliin Karen makan malam. Seharian ini kan dia cuma makan mie instan. Itu pun kalau dia nggak nungguin gue," lanjut Natasha sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku tadi. Lalu ia segera menstarter mesin motornya.

Natasha memang hidup berdua dengan putri tercintanya, Karen Aleana Zulfikar. Setelah satu setengah tahun yang lalu proses perceraiannya dengan sang mantan suami selesai. Ia pun pergi berdua bersama sang anak lalu memutuskan tinggal di salah satu kosan Haji Boim yang harganya memang tepat di kantong Natasha.

Sedangkan sang mantan suami yang notabene adalah ayah kandung Karen. Sudah mencampakkan mereka berdua begitu saja. Bahkan, dengan tega ia tak memberikan sepeserpun uang untuk bekal hidup mereka di saat Natasha pergi saat itu. Apalagi sampai memberikan sebagian hartanya yang melimpah ruah itu. 'Sungguh dia memang manusia tidak berperasaan,' batin Natasha.

Ia pun tersenyum kecut saat mengingat kejadian menyakitkan yang sudah membuat kehidupannya berantakan seperti ini. 'Andai semua itu tidak terjadi. Gue yakin hidup Karen tidak semenderita ini,' batin Natasha sambil terus mengemudikan motor maticnya diantara derasnya guyuran hujan. 'Maafkan, Bunda ya Nak. Gara-gara Bunda tidak bisa membahagiakan kamu. Kamu jadi harus mengalami hidup seperti ini,' tambah Natasha. Tak terasa air matanya pun meleleh berbarengan dengan tetesan air hujan yang mengguyur seluruh badannya. Walau wajahnya terlindungi kaca helm, tetap saja akhirnya basah karena air matanya.

Pikiran Natasha semakin melanglang buana di dalam pengalaman-pengalaman pahitnya. Sampai-sampai ia pun mengendarai motornya dengan tidak fokus. Saking asyiknya melamun, Natasha sampai tidak sadar dengan keadaan jalanan di depannya. Hingga akhirnya….

Brak!!!

avataravatar
Next chapter