113 Cinta yang sejati

Nizam bangkit dari berbaringnya. Baru saja Ia mau mencium istrinya sudah ada masalah lagi." Ya Tuhan, dosa apa yang sudah Aku lakukan di masa lalu" Nizam komat kamit sambil berjaga-jaga, kalau-kalau Alena kalap lagi. Jangan sampai Ia ditendang atau digigit lagi. Mengapa cinta harus sangat menyakitkan bagi dirinya. Nizam mengeluh dalam hati. Secara naluri Ia memundurkan tubuhnya ke belakang. Alena ikut bangun. Ia melihat tubuh suaminya siaga.

Tubuh Nizam tegak dengan pandangan menatap wajah istrinya. Tangannya berada disampingnya. Ia mirip dengan hewan yang siaga menghadapi musuhnya yang akan menantangnya berkelahi.

Alena mengerutkan keningnya. "Apa Kamu mau mengajak istrimu berkelahi?" Alena berkata tajam.

Nizam menggelengkan kepalanya. "Aku sedang bersiap, kalau-kalau Kau mau menendangku lagi. Ingat Alena benda yang Kau tendang itu lebih berharga dari apapun di dunia ini. Mungkin Kau sekarang tidak membutuhkannya. Tapi Aku jamin nanti kau akan merengek-rengek minta benda itu untuk memuaskanmu. Lagipula benda itu akan membuat perutmu berisi bayi nanti"

Mata Alena terbelalak lebar bagaimana bisa seorang putra mahkota, Nizam yang begitu dingin, angkuh dan kejam yang setahun lalu begitu menolaknya mengatakan hal yang aneh ditelinganya.

"Bayi??? Kau mau memberiku bayi??"

"Iya tentu saja. Kau pikir darimana datangnya bayi kalau bukan dari benda ini. Apa kau pikir bayi datang di bawa oleh burung bangau melalui mulutnya" Nizam masih berkata sambil tetap berjaga-jaga.

"Nizam..yang Mulia Putra Mahkota. Kamu pikir Aku bodoh sampai tidak tahu darimana bayi berasal?" Alena merah padam saking marahnya.

"Kalau Kamu Tahu, bagaimana bisa Kau menendangnya ketika Kau marah tadi. Sekarang Kamu dalam kondisi marah, Aku takut Kau tendang lagi"

Alena menatap tajam "Benda yang semalam menyakitiku layak ditendang, tapi Aku kan sudah minta maaf tadi. Aku khilaf. Aku hanya ingin berbagi rasa sakit denganmu. Apa Aku salah?"

"Tidak.. Tidak Kamu tidak salah, Aku juga sudah minta maaf telah menyakitimu. Sekarang apa kondisimu marah sekali. Dari level satu sampai sepuluh beritahu Aku. Kemarahanmu ada pada level berapa?" Nizam berkata sambil tetap waspada.

Alena menarik nafas panjang Ia lalu duduk bersila dengan posisi seperti orang yang sedang meditasi.

"Kamu sedang apa?" Tanya Nizam

"Aku sedang berusaha menurunkan level kemarahanku dari level sepuluh menjadi level satu" Alena memejamkan matanya. menarik nafas lalu menghembuskan. Demikian berkali-kali sampai kemudian Ia lalu membuka matanya.

"Baiklah, Aku sekarang sudah sedikit tenang. Sekarang katakan alasannya mengapa Kamu menutup-nutupi adat yang begitu menjijikan."

"Alena sayang, Kau bilang adat itu menjijikkan. bagaimana kalau Kamu tahu dari semula bahwa kamu harus menjalani adat itu?" Nizam malah balik bertanya.

"Aku masih waras. Kalau Aku tahu dari semula ada adat seperti ini. Aku bersumpah lebih baik Aku tidak menikahimu daripada harus bercinta seperti binatang yang diperhatikan oleh orang banyak."

"Nah kamu sudah tahu jawabannya mengapa Aku menutupinya darimu" Nizam tersenyum sangat manis. Alena menggelengkan kepalanya. Otaknya bukan tandingan suaminya. Si keparat jenius ini memiliki otak seribu kali lebih cerdas dari sahabat Cynthia.

"Yah..sudah.. sudah..Aku tidak mau tahu lagi tentang perayaan Kesucian. Sekarang Aku masih mau tidur. Kamu jangan menggangguku lagi" Alena lalu membaringkan tubuhnya kembali.

"Apa Kamu sudah mandi Alena?" Tanya Nizam sambil ikut berbaring. Tubuhnya sudah sedikit rileks. Alarm bahaya yang tadi sempat menyala pada tubuhnya sudah padam. Alena menggelengkan kepalanya.

"Belum.. nanti saja sekalian dengan sholat Dhuhur."

"Alena...." Nafas Nizam sedikit memburu. Alena membuka matanya Ia menatap suaminya. Ia melihat mata yang begitu tajam sekarang berubah menjadi sayu.

"Bukankah tadi Kau ingin melihat apakah benda yang Kamu tendang tadi masih berfungsi atau tidak?"

Mulut Alena ternganga lebar, Ia segera bangkit lagi. Ia langsung tersenyum manis dengan pandangan mata menggoda. Ia memegang bahu Nizam lalu mendorongnya dengan kuat. Tubuh Nizam terhempas ke atas ranjang. Tangan Alena bergerak perlahan membuka pengait celana Nizam. Sekarang Nizam yang memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan Istrinya. Dengan berdebar Alena menarik celana panjang Nizam sampai ke pertengahan paha.

Alena menelan ludah melihat sesuatu yang menonjol pada selangkangan paha suaminya tertutup celana dalam berwarna putih. Dan ketika Ia mengaitkan ujung jarinya ke sela celana dalam Nizam lalu menurunkannya perlahan. Ketika Alena melihat ada benda yang bergelung didalamnya. Ia langsung menjerit menutup matanya. "Aakh..Aku tidak mau melihatnya Aku tidak berani..Aku takut."

Nizam tertawa terbahak-bahak melihat wajah Alena yang pucat pasi. Ia memeluk istrinya dan menciumnya dengan lembut.

"Kalau takut jangan dilihat lagi" bisiknya.

"Benda itu kelihatannya menakutkan" Alena menyembunyikan mukanya dileher suaminya.

"Nanti tidak akan menakutkan, Kamu malah akan menyukainya."

"Benarkah?? Seberapa suka??"

Nizam menghirup harum rambut Alena. Ia semakin erat memeluk Alena.

"Rasa sukanya tidak akan bisa dinilai dengan apapun yang ada di dunia ini?"

Alena tengadah menatap suaminya. Nizam menghujamkan mulutnya ke atas bibir Alena lalu mereka saling berciuman dengan penuh kasih sayang. Siang itu ada yang lebih berharga daripada sebuah nafsu yaitu limpahan kasih sayang dari lubuk hati yang terdalam. Nizam sama sekali tidak menyentuh Alena karena Ia tahu Alena masih kesakitan tetapi Ia melimpahi Istrinya dengan siraman cinta yang suci.

****

Cynthia melihat seorang pria berambut pirang coklat sedang duduk di sebuah taman dipusat kota. Taman indah itu sedikit sepi. Karena orang-orang lebih suka tinggal dirumahnya untuk menonton siaran langsung perayaan Kesucian calon ratu mereka.

"Edward!!"

Pria yang dipanggil Edward menoleh begitu melihat sosok wanita yang begitu dikenalnya. Edward malah menutup mukanya dan Ia menangis tanpa rasa malu. Hilang sudah jiwa kelaki-lakiannya. Ia melihat Cynthia seakan melihat Alena. Cynthia memegang bahu Edward. Ia membiarkan Edward melampiaskan emosinya. Setelah agak reda tangisannya, Cynthia lalu bertanya.

"Apa kabar Edward?"

Edward menggelengkan kepalanya. "Apakah layak bagi seseorang ditanya tentang suatu keadaan dirinya jika sebagian jiwanya sudah direnggut secara paksa dari tubuhnya"

Haaduuh....gaya mahasiswa sastra memang lain dengan mahasiswa ekonomi. Ketika mahasiswa Ekonomi menimbang semua hal dari sudut untung dan rugi untuk mengungkapkan perasaannya maka mahasiswa sastra malah bermain kata untuk mengungkapkan perasaannya.

"Hmmm...baiklah. Aku paham betapa buruknya perasaanmu sekarang."

"Bagaimana keadaannya? Apakah Ia dalam keadaan baik? " Edward bertanya sambil menerawang. Mendengar pertanyaan Edward Cynthia malah ikut menerawang.

Cynthia menghela nafas bingung mau disebut bahagia Ia melihat nasib Alena ga ada manis-manisnya. Mau disebut tidak bahagia Alena berada disamping pria yang Ia cintai. Melihat Cynthia hanya diam Edward langsung menatap Cynthia dengan tajam. Mata hijaunya menyala.

"Diam menunjukkan ada hal yang tidak baik sudah terjadi. Katakan terus terang, Apakah Nizam memperlakukannya dengan baik??"

Cynthia malah menelan ludah yang terasa seret ditenggorokannya. Apakah Ia harus bilang kalau Nizam malah menyakiti Alena dimalam pertama. Apakah Ia juga harus bilang kalau mertua Alena pernah mencambuk dia? Apakah dia juga harus bilang kalau istri pertama Nizam selalu mengincar kelemahan Alena agar Ia bisa menyakiti Alena. Haruskah Ia bilang kalau nyawa Alena setiap saat terancam oleh orang-orang yang tidak tahu akan muncul darimana.

Aaah... Cynthia serasa mau gila. Haruskah Ia meminta Edward untuk mengambil Alena dari sisi Nizam. Dengan kedudukan Ayah Nizam sebagai salah satu pejabat penting di Amerika tidak ada yang mustahil baginya. Ia bisa menggunakan kekuasaan diplomatik untuk mengambil Alena dari sisi Nizam.

avataravatar
Next chapter