6 Chapter 6: Bertukar Pesan Lagi

"Pagi, Step."

Stephanie tidak balas menyapa. Kerut menghiasi kening sahabatnya itu sambil melirik dirinya dari atas sampai ke bawah seperti melihat orang gila. Padahal dia merasa tidak ada yang salah.

"Astaga, Jess," pekik Stephanie. "Apa kau sedang sakit?"

Tanpa menunggu balasan Jessica, Stephanie langsung mencubit bagian lengan jaket berbahan fleece Jessica. Meremas dan menggosok-ngosok sebentar.

"Ini jaket laki-laki, bukan jaket milikmu."

"Aku tidak pernah berkata kalau ini jaketku," lontar Jessica. Uap keluar dari mulutnya. "Ini jaket ayahku. Makanya kebesaran."

"Tidak seperti dirimu." Stephanie kembali melotot. "Pagi ini cuaca tidak dingin sama sekali. Malahan aku merasa gerah."

Alis Jessica terangkat. "Benarkah? Aku merasa dingin sejak pagi."

Kali ini Stephanie menyandarkan punggung tangannya ke dahi Jessica. Menutup mata sambil berfokus untuk merasakan hawa panas yang perlahan menjalari kulit tangannya. Sedikit panas, pipi Jessica juga agak merah.

"Kau mungkin demam." Mata Stepahnie melebar. "Kau baik-baik saja?"

"Benarkah?"

Jessica mengangkat sebelah tangan menyentuh dahinya. Beberapa detik mencoba merasakan, tidak terasa panas sama sekali.

"Jangan membohongiku, Stef," cela Jessica cepat. Dia tidak suka dibohongi, apalagi oleh sahabatnya sendiri. "Tidak panas kok."

"Oalah." Stephanie memutar bola mata. "Orang bodoh mana yang sudah panas tapi menyentuh dirinya yang sama panas bilang dirinya panas. Tentu saja harus aku yang tidak panas menyentuh dirimu yang panas baru ketahuan."

"Aku tidak percaya." Jessica berubah cemberut.

Stephanie menggeleng kepala. "Jess, Jess. Kadang kau memang keras kepala walau sudah diberitahu. Kau sakit loh."

"Aku rasa baik-baik saja." Jessica mengangkat tangan ke atas tinggi-tinggi lalu meregangkan jari-jari. "Walau harus kuakui kalau kurang semangat dan badanku agak lemas."

Stephanie menepuk pelan pundak gadis berambut kuda itu. "Itu artinya kau S-A-K-I-T. Lebih tepatnya demam."

"Sudahlah. Aku baik-baik saja," Jessica menepis tangan Stephanie. "Ayo, kita sudah hampir terlambat."

"Haduh. Dasar kepala batu."

Mereka mulai berjalan menelusuri trotoar jalanan yang ditumbuhi pepohonan lebat. Jalan terlihat remang dinaungi dedaunan pepohonan, membuat akar-akar yang mencuat keluar jarang terlihat. Tidak masalah. Setiap hari melewati trotoar yang sama otomatis membuat Jessica maupun Stephanie hapal di mana-mana saja akar-akar pohon itu siap menyandungkan para korban. Langkah-langkah kaki mereka bebas dari perangkap. Tinggal beberapa puluh langkah, gerbang sekolah sudah terlihat di depan mata.

"Ah, itu Dima!" celetuk Stephanie saat Dima melintas dari jalan di samping mereka sambil berkendara sepeda motor bersama adiknya.

Kenangan tidak menyenangkan langsung terbesit dalam pikiran Jessica. Dia ingat telah bertukar pesan dengan laki-laki pujaannya dengan cara terburuk yang bisa dipikirkannya. Baru sekali dilakukan, sejak itu dia tidak pernah mengirim pesan lagi kepada Dima. Karena sudah merusak sebuah kesempatan emas. Terlebih pasti sahabatnya sekarang akan menyerbu bertanya kepadanya. Secepat kilat dia berusaha mencari akal.

"Bagaimana hubunganmu dengan Di…, Apa yang kau sedang kau lakukan, Jess?" tanya Stephanie, berbalik hendak bertanya tetapi mendapati Jessica sedang jongkok menatap sekuntum bunga kecil berkelopak putih dengan lingkaran tengah berwarna kuning. Mirip bunga matahari versi mini.

"Tentu saja mengagumi bunga Dandelion," balas Jess santai tanpa menoleh. "Aku suka bunga Dandelion."

"Tapi kau pernah bilang alergi serbuk sari kan?"

"Oh iy…, HAAACHI!"

Suara bersin seketika menggelegar. Bukannya lantang, tapi pekik layaknya bersin makhluk-makhluk kecil, tapi tajam dan keras. Orang-orang maupun murid-murid di seberang trotoar memutar kepala melihat kepada Jessica. Dipenuhi rasa ingin tahu suara apa itu sebelum meleleh akan kecantikan Jessica. Jelas sekali mereka terpana lama. Sementara tangan Jessica menutup hidung dan mulutnya rapat-rapat, namun bersin-bersinnya tidak berhenti-berhenti juga. Stephanie mendekat menawari Jessica beberapa helai tisu.

"Kadang kau bisa juga sangat ceroboh, tapi itulah yang kusuka darimu."

Bersin-bersin sialan ini membuat Jessica tidak bisa berkomentar. Terlalu mepet tadi mencari cara menghindar hingga dia lupa akan alerginya, benar-benar deh. Dia merebut tisu-tisu dari tangan Stephanie dan berbalik badan, membersihkan sisa-sisa tempelan serbuk sari, cairan ingus yang merembes tak karuan, dan hal-hal memalukan lainnya. Sungguh merepotkan memiliki sebuah alergi.

"Jam berapa sekarang, Stef?" tanya Jessica, masih belum membalikkan badan.

Stefani menunduk menatap jam tangannya. "Jam 7 lewat 30 menit."

"Astaga, sebentar lagi kita terlambat!" Jessica cepat-cepat membuang tisunya dan merangkul ranselnya. "Ayo, Stef!"

"Ini bukan pertama kalinya kau terlambat, Jess," Stephanie mengangkat alis. "Bagaimana tukar pesanmu dengan Dima?"

Jessica mengerang dalam hati. Bertanya-tanya kenapa sahabatnya itu susah sekali dialihkan pembicaraan.

"Jangan sekarang, Stef," bantah Jessica, mencoba berusaha lebih keras. "Kau tidak mau kita terlambat, kan?"

Stephanie tidak tahu menahu. Sibuk mengusap-ngusap layar ponsel casing warna kuning ke atas memakai sebuah jempol, ekspresinya perlahan melongo. Begitu juga Jessica. Dia tidak mengerti bagaimana Stephanie bisa mencuri ponselnya dan lebih parah sedang membaca bagian terburuk.

"Kembalikan ponselku, Stephanie!" Jessica kelabakan. Berusaha meraih ponselnya, tapi Stephanie sengaja menjulurkan tangannya tinggi-tinggi jadi dirinya yang lebih pendek tidak mungkin menjangkau. "Jangan kau baca chatting-chatting ku!!!"

Stephanie menggelengkan kepala. "Jessica, Jessica. Kau terlalu naif menggirim pesan."

"Apa lagi yang bisa kulakukan?" Jessica pasrah. Tiada guna lagi menyimpan pesan-pesan dengan Dima jika Stephanie sudah tahu.

"Aku tahu ini pasti terjadi," Stephanie menduga yakin. Dia menyodorkan ponsel itu kepada pemiliknya. "Kau memang tidak pandai yang beginian."

Jessica merebut kasar kembali ponselnya. "Aku memang jarang bertukar pesan dengan laki-laki."

"Selama ini mereka yang bertukar pesan denganmu."

"Tentu saja mereka harus." Jessica mengibaskan rambutnya ke samping. Merasa harga dirinya tinggi. "Beda kasus dengan Dima."

"Itulah kenapa kau tidak pandai bertukar pesan." Sebuah senyum sinis tersungging pada bibir Stephanie. "Mau kuajari?"

"Kau bisa, Stef?"

Sepertinya Stephanie tidak merasa tersinggung dengan nada remeh Jessica. Gadis modis langsing itu masih tersenyum maksud tertentu.

"Kau pikir untuk apa aku sering bergaul? Berkencan dengan banyak pria juga sudah pernah kulakukan."

Sebuah kerut menghiasi dahi Jessica, "Benarkah? Kau tidak pernah memberitahuku."

"Rahasia lah," Stephanie berbisik. "Mau kuajari? Dima pasti akan bertekuk lutut menerima cintamu."

Satu momen itu adalah momen yang membuat Jessica mengangguk tak berdaya. Apapun pilihannya, tetap dia harus belajar karena sang sahabat tidak suka ditolak dan akan memaksa bagaimanapun caranya.

***

"Kau tahu, kurasa kau pandai semua mata pelajaran sekolah."

Otomatis tubuh Dima menegak. Bukan terkejut, merasa janggal saja karena baru pertama kali seseorang mengatakan begitu padanya. Biarlah orang yang menilai, namun dia juga sadar punya kelemahan.

"Tidak juga. Aku lemah dalam hapalan."

Kilia tersenyum kecil. "Yang benar? Tidak kelihatan loh"

"Ya." Dima menatap Kilia sambil menggigit bibir. "Makanya aku memilih jurusan IPA daripada jurusan IPS yang serba menghapal."

"Oh." Kepala Kilia mengangguk-anguk. "Bukannya Biologi juga menghapal?"

"Kalau itu aku pakai teknik memahami sehingga lebih mudah mengingat."

Kilia perlahan bertopang dagu pada meja dan mencondongkan badan ke arah Dima dengan antusias.

"Coba ajari aku."

"Mengajarimu?" Dima melipat tangan. "Maksudmu teknik memahami yang kupakai?"

"Yup. Apalagi yang kumaksud."

"Hmm."

Secara praktek mudah dilakukan, tapi beda cerita menjelaskan menggunakan kata-kata. Dia ragu mau mulai dari mana. Tak terasa menit-menit berlalu sementara jemari-jemari Dima sudah mengetok-ngetok permukaan meja untuk kesekian kalinya.

"Bagaimana?" tanya Kilia lagi.

"Sebaiknya kurincinkan dahulu," sahut Dima kurang menyakinkan. "Menghapal adalah teknik mengingat tanpa perlu mengerti sama sekali, sedang memahami adalah mengerti kenapa sesuatu bisa begitu sehingga tanpa sadar kita mengingatnya. Dalam arti lain…"

"Bukannya memahami itu juga menghapal?" potong Kilia kurang setuju.

"Cukup beda," jelas Dima berusaha menekankan. "Menghapal itu bukan berarti mengerti, sebaliknya memahami itu sudah pasti mengerti sekaligus menghapal. Sekali merengkuh, dua tiga pulau terlampaui. "

Giliran Kilia merenung. Bibirnya terjulur keluar sedikit, sebuah kebiasaan ketika menghadapi situasi pelik.

"Tidak mengerti," lontarnya mentel. "Memang sih hal-hal yang kuhapal tidak perlu selalu kumengerti, tetapi bukan berarti tidak kumengerti."

"Hahaha." Dima menggeleng kepala. "Coba kau ingat, apakah hapalan-hapalan mu masih lengket sehabis ujian."

"Tak perlu bohong, untuk apa diingat?" sahut Kilia polos.

"Yang tidak kau mengerti akan terlupakan secepat kau keluar ruang ujian. Bagaimana dengan yang kau mengerti?"

Tatapan serius Dima membuat Kilia ragu menjawab. Bila maksud Dima memahami itu sekaligus menghapal, berarti ketika dia menghapal beberapa hal, ada yang murni hapalan dan ada yang terhapal karena dipahami. Ringkasnya, murni hapalan sering cepat terlupakan, sebaliknya yang dipahami jarang terlupakan. Sesimpel itu.

"Aku mengerti!" sontak Kilia girang. "Menurutmu aku tipe menghapal atau memahami?"

"Dua-duanya dengan tambahan pandai logika."

Alis Kilia mengerut tidak mengerti.

"Kau mudah mengerti hal-hal yang kujelaskan tanpa perlu kuulang-ulang, terutama matematika. Logikamu sangat kuat," lanjut Dima sambil menggerakkan tangan. "Kalau adikku sepertimu, aku tidak perlu susah-susah mengajarinya."

"Adikmu susah belajar?"

"Lebih nyambung drama Korea."

Mata Kilia sedikit berbinar-binar. Sebuah senyum tersungging di bibirnya.

"Aku akan cocok dengan adikmu."

Badan Dima mendadak mundur ke belakang. "Tunggu. Kau penggemar Korea?"

Anggukkan Kilia bagai sebuah mimpi buruk di siang bolong. Seorang penggemar drama Korea saja sudah membuatnya kewalahan, malah sekarang muncul lagi.

"Kapan aku bisa ketemu adikmu? Kami pasti bisa berteman akrab," lanjut Kilia tanpa memperhatikan keringat mulai membasahi kening Dima.

Dan sekarang penggemar Korea baru ini memintanya untuk memperkenalkan dirinya dengan penggemar Korea di rumahnya. Apakah ini mimpi buruk jilid ke-2? Atau mungkin dia yang sudah paranoid mendengar yang bukan-bukan? Astaganaga. Dima tidak mengerti kenapa orang-orang suka sekali drama Korea. Dia sendiri tidak suka, walau lebih bagus dari sinetron, tetap saja itu cuma drama-drama buatan yang terlalu didramatiskan. Kurang realistik dan tidak bisa dijadikan contoh.

Tangan Kilia menepuk pundak Dima beberapa kali. "Dima, kau kenapa? Kok bengong?"

"Oh," Dima tersentak hingga menegakkan tubuh, "Tidak, aku baik-baik saja."

"Kapan aku bisa bertemu adikmu?"

Memang mimpi buruk bukan anggan-anggan lagi. Dua orang gadis pecinta Korea bila bertemu akan bercakap-cakap tentang artis, drama, dan hal-hal berbau Korea lainnya selama berjam-jam. Walau bagus juga adiknya punya teman kakak kelas, tetap saja Dima tidak yakin. Namun dia tak bisa mengelak.

"Mungkin nanti, soalnya adikku sedang ujian caturwulan," terang Dima, terpaksa memakai alasan ujian. "Paling dua minggu lagi."

"Oh iya, sekolah kita memang punya sistem ujian yang berbeda untuk setiap tingkat pendidikan," celetuk Kilia. "Bagaimana kalau aku ke rumahmu saja?"

"Apa aku salah dengar?" ceplos Dima tidak percaya.

"Ada masalah?"

Dalam benak Dima, Kilia termasuk gadis agresif. Tidak malu-malu mengutarakan apa pemikirannya. Dima tidak habis pikir apakah Kilia sudah biasa seperti itu atau begitulah cara dia dibesarkan, bagaimanapun Dima baru mengenal Kilia beberapa minggu.

Sejenak Dima berdeham singkat, berusaha setenang mungkin daripada bicara keceplosan lagi. "Tidak-tidak. Nanti aku atur waktu supaya kalian berdua bertemu nanti."

Tiba-tiba pintu perpustakaan terhempas keras. Bu Lastri merangsek masuk dengan napas terengah-engah sambil memegang dua buah kantong plastik besar, masing-masing di satu tangan, membungkuk lelah bagai baru saja lari maraton. Tidak tega, Dima langsung beranjak mendekati Bu Lastri. Mengambil dua plastik dari dua tangannya dan mengangkat mereka ke belakang meja administrasi. Diikuti membuka plastik-plastik tersebut dan melakukan pemilahan buku-buku baru. Bu Lastri ingin berkata-kata, tapi terlalu lelah untuk mengucapkan sesuatu. Napasnya memburu cepat.

Sebuah sikap gentleman menurut Kilia. Sedari tadi dia memperhatikan bagaimana Dima berinisiatif membantu Bu Lastri yang kelihatan kapan saja bisa memegang dadanya dan jatuh tertelungkup akibat memaksakan diri mengangkat buku-buku tersebut sampai ke lantai tiga. Kemungkinan saja Bu Lastri kenapa-kenapa, namun memang dia terkenal suka mengerjakan sesuatu sendirian. Tidak mau merepotkan orang. Jadi bila Dima membantu, bahkan memilah-milah buku baru yang merupakan tugas rutin petugas perpustakaan, Kilia berasumsi kalau Dima sudah sering membantu Bu Lastri. Menarik, bukan sebuah lagak di hadapannya. Dia suka itu. Biasanya para lelaki mencoba membuatnya kagum melalui tingkah sok baik, sok dermawan, dan sok-sok lainnya. Terlalu sering sehingga dia sulit percaya seorang lelaki itu baik dengan melakukan itu di hadapannya pertama sekali. Dima pengecualian.

"Tring."

Layar ponsel Dima terang-berderang. Tergeletak tiga jengkal jari dari tempat Kilia membuat dirinya tidak tahan untuk melirik sedikit. Sebuah profil bergambar seorang perempuan warna putih seutuhnya, biasanya profil tanpa nama dan tanpa identitas, bernama "Perempuan Asing" muncul dengan pesan "Hai" singkat. Kilia tersenyum sendiri, tidak terkejut bila ada penggemar Dima. Namun dari nama buatan Dima itu, perempuan tanpa nama tersebut sudah pernah bertukar pesan dengan Dima sebelumnya.

"Maaf menunggu lama," pinta Dima, kembali duduk di samping kursi Kilia.

Kilia melambai tangan cepat. "Tidak. Justru kau bertindak layaknya seorang laki-laki gentleman."

Dima kelihatan tidak mengerti karena sebuah kerut mendadak menhiasi dahinya. Apakah Dima kurang tahu istilah itu?

"Jangan dipikirkan. Yang penting kau baik sekali sudah membantu Bu Lastri."

Sepintas senyum merekah di wajah Diam sebelum menghilang. "Tidak. Semua bisa melakukannya."

Rendah hati juga, batin Kilia. Dia mengintip ke meja admin, Bu Lastri masih terengah-engah namun sadar Kilia menatapnya lalu mengacungkan sebuah jempol lalu duduk terkapar, membuat Kilia tertawa kecil.

"Tring"

Pesan lain masuk. Baik dirinya maupun Dima melirik ke ponsel Dima, namun Dima menatap diam sampai layarnya kembali menggelap. Reaski Dima pasif tanpa ada inisiatif membaca pesan perempuan itu.

"Kau tidak membalas pesannya?"

Dima berbalik menatap Kilia yang mengangkat bahu. "Bukan hal yang penting."

"Kenapa?"

"Tidak penting saja."

Kilia mengangkat bahu lagi. "Kenapa tidak penting?"

"Begini," Dima terpaksa harus menjelaskan. "Gadis itu hanya buang-buang waktuku saja dengan percakapan yang tidak ada artinya."

Kata-kata yang sulit dicerna oleh Kilia. Dia tidak mengerti bagaimana gadis itu bisa membuang-buang waktu Dima padahal seharusnya Dima cukup senang ada gadis yang mengejarnya. Belum lagi kalau gadis itu cantik jelita atau punya bentuk tubuh aduhai. Mungkinkah bukan itu fokus Dima? Biasanya para lelaki suka begituan. Tanpa disadari, Kilia bersedekap kebingungan.

Dima membuka layar dan menawarkan ponselnya kepada Kilia. "Mungkin sebaiknya kau baca chat nya denganku."

"Kau tidak keberatan?" Kilia terlihat ragu. Jarang sekali seorang laki-laki mau menunjukkan isi ponsel mereka.

"Silahkan."

Alis Kilia samar-samar terangkat menerima ponsel Dima. Rasa penasaran menghinggapi dirinya kala mulai membaca chat Dima dengan gadis misterius yang terlihat singkat, padat, dan jelas. Kalimat-kalimat gadis itu pendek dan tidak terlalu menggoda. Walau Kilia merasa gadis itu telah berusaha keras untuk menarik perhatian Dima.

"Bagaimana menurutmu gadis ini?" tanya Kilia ingin tahu.

"Biasa saja," jawab Dima tak acuh, fokus membaca buku matematika Kilia.

"Kenapa?"

Mata lebar Kilia bergerak mengikuti kepala Dima yang terangkat dari buku matematika kepada dirinya.

"Apanya?"

"Kenapa kau bilang dia biasa saja?"

Dima perlahan meletakkan pulpen. "Karena tidak ada yang istimewa. Lagi, aku tidak punya waktu untuk chatting-chatting kurang bermutu seperti itu."

"Kau serius sekali." Kilia menggeleng kepala. "Sayang loh, gadis itu sudah berusaha keras. Jarang-jarang ada gadis mau chat laki-laki duluan."

"Serius?"

"Yup." Kilia menggangguk berkali-kali.

Dima termenung sejenak. Tak pernah sekalipun terlintas kalau hal sepele layaknya chatting oleh seorang perempuan itu begitu berharga. Mungkin saja, soalnya Edward sering chat duluan para perempuan yang disukainya. Apakah dia terlalu kejam pada perempuan itu?

"Coba kasih kesempatan," lanjut Kilia, mengembalikan ponsel Dima. "Mana tahu jodoh."

"Terlalu muda untuk pacaran," tepis Dima langsung. "Ada target yang harus kukejar."

Kilia hanya tersenyum lebar. "Kau pernah pacaran, Dima?"

"Kurasa kau sudah tahu, Kilia," jawab Dima setelah beberapa saat. "Aku tidak punya waktu untuk itu."

"Kesempatan sudah di depan mata. Coba saja."

"Kau terdengar seperti Edward."

Kilia tertegun sedikit. Nada suara Dima berubah sinis walau raut wajah kelihatan biasa. Pengalaman bersama banyak teman lelaki menajamkan intuisinya kalau laki-laki tidak senang dipaksa membahas hal yang tidak disukainya berulang kali. Apapun itu. Dia sadar terlampau jauh melangkah.

"Tidak, tidak. Maksudku setidaknya kau perlu membalas chat gadis itu untuk sekedar menghargai karena telah chat duluan denganmu. Betul?"

Sementara Kilia berharap suasana temannya berubah, Dima menengadah ke atas.

"Bagaimana kalau dia chat seperti itu lagi?"

"Kasih topik, mana tahu bisa nyambung"

Dima tidak tahu harus berkata apa. Tidak mengerti bagaimana merespon karena kurang pengalaman.

"Coba-coba saja," bujuk Kilia. "Hasilnya kasih tahu aku nanti."

Belum sempat menjawab, Kilia mengoyak bagian belakang buku catatannya. Menulis besar-besar dua belas digit angka dan memberikannya pada Dima. Diselipkan ke jarinya.

"Itu nomorku. Beritahu aku, akan kubantu sebisaku."

Entah ini sebuah perkembangan yang bagus atau buruk. Dima tidak tahu. Kilia ingin membantunya berhubungan kembali dengan gadis misterius itu, sebenarnya sudah dibuang jauh-jauh ide gila itu oleh Dima. Malas saja. Namun memang benar setidaknya dia perlu menghargai usaha gadis misterius itu… untuk sementara. Apalagi Kilia akan menagih hasilnya. Kapan-kapanlah, masih lama atau tidak akan ada lagi sama sekali.

***

"BANG DIMA!"

Teriakan Ratmi menggema keras disusul oleh langkah-langkah berat menghantam anak-anak tangga kayu yang sudah cukup membuyarkan konsentrasi Dima seketika. Kekesalan terbit dalam hati Dima. Saat memutar kursi menghadap belakang, pintu kamar terhempas kuat. Sebuah tangan mungil menahan pintu kamar sebelum sempat menghantam tembok, membuat celah cukup besar bagi kepala Ratmi untuk mengintip masuk. Napasnya terengah-engah bersama sebuah tampilan senyum lebar.

"Bang, ayo nonton drama Korea?!"

"Sudah berapa kali kubilang jangan lari-lari di anak tang… drama Korea?"

"Ya," sahut Ratmi lalu berhenti sebentar untuk menangkap napasnya, "lagi terkenal loh. Drama korea kali ini tentang seorang detektif laki-laki yang membantu seorang gadis mencari wasiat keluarganya, tapi malah jatuh cinta sang gadis. Sayangnya dia berubah pikiran setelah mengetahui apa wasiat gadis itu. Dilanjutkan perjalanan bagaimana detektif tersebut menerima sang gadis meski banyak perbedaan."

Padahal dia tidak suka drama Korea, sekarang adiknya malah mengajaknya. Otomatis menolak.

"Tidak. Terima kasih."

"Ishh! Abang ini," sindir Ratmi tidak senang. "Padahal sudah janji mau nonton sama-sama, bukan?"

"Kapan? Aku tidak ingat."

"Waktu di jalan loh beberapa hari yang lalu saat ke sekolah pagi-pagi. Masa abang bisa lupa."

Jika diingat kembali, Ratmi sangat rewel kala itu. Sepanjang perjalanan terus membicarakan drama-drama Korea keluaran terbaru sehingga dia tidak punya waktu untuk menonton semuanya. Kira-kira saat itulah dia menceritakan ada beberapa yang seru dan mengajaknya untuk menonton bersama. Karena sudah hampir terlambat, belum lagi capek mendengar cerita dan bujukan adik tercinta, dia terus mengatakan kata "Iya" berulang kali, berharap adiknya tutup mulut. Tidak disangka kata-katanya kini menancap balik.

"Begini, Ratmi. Pas kita…"

Terdengar sebuah pesan masuk. Lirikan mata Dima menangkap layar ponselnya, pesan dari gadis misterius yang baru tadi siang dibahasnya dengan Kilia. Cepat sekali.

"Mau ngak, Bang?"

Wajah Ratmi sekarang cemberut. Pipinya menggembung dan matanya menatap malas alih-alih kosong. Tipikal tipe adik bila sudah kesal.

"Eh…" Dima bingung antara memilih membalas pesan itu atau menonton drama Korea bersama adiknya. Sebuah usul mendadak terbesit. "Kamu nonton dulu, nanti abang nyusul saja. Soalnya ada topik pembelajaran yang tidak bisa kutinggal. Sebentar saja."

"Yang benar?" Tatapan Ratmi semakin tajam.

Keringat dingin memenuhi dahi Dima. "T-Tentu saja. Nanti kau cerita bagian yang belum kutonton, habis itu kita lanjut nonton bersama."

Ratmi terdiam sebentar, lalu tersenyum lebar. "Ok. Kutunggu loh, Bang!"

Satu masalah terselesaikan. Ratmi secepat kilat menutup pintu dan menuruni tangga seperti cara dia naik tadi. Di satu sisi, Dima menghela napas panjang.

"Sepertinya tidak bisa belajar malam ini," katanya sambil menatap layar ponsel. "Sekarang juga ada pesan yang harus kubalas."

Hai

Hai

Gimana kabarmu?

Pesan Kilia muncul dalam benak Dima. Dia ada memberi tambahan masukkan bahwa dia perlu lebih ramah dan tidak dingin seperti yang lalu. Untuk mempererat hubungan kembali.

Baik. Kamu bagaimana?

Baik sekali. Btw, aku mau minta maaf.

Alis Dima terangkat tinggi. Minta maaf untuk apa?

Untuk?

Karena pesan yang lalu. Maaf, aku kurang pandai bertukar pesan

Rupanya untuk itu pikir Dima. Mengangguk pelan sambil kembali menulis pesan.

Tidak apa-apa. Aku juga, soalnya… agak dingin

Dan juga aku mau jujur siapa diriku sebenarnya… Kau mau tahu, ngak?

Kenapa mendadak dia mau memperkenalkan diri? Dima tidak mengerti.

Hah?

Aku Jessica Bertany

Untuk sesaat, Dima hanya bisa duduk melonggo memandang ponsel di tangannya. Jessica Bertany bukan gadis biasa. Gadis populer yang menjadi incaran seluruh laki-laki di sekolahnya, bahkan laki-laki dari sekolah lain juga khusus datang untuk melihatnya. Gadis itu kini sedang mengejarnya, tidak, tidak, dia tidak boleh menyimpulkan sesuatu tanpa alasan jelas. Walau dia sering melakukan itu terkadang. Jessica cuma bertukar pesan dengan dirinya. Tidak lebih, tidak kurang. Namun dia agak terkejut kenapa gadis sepopuler itu mau bertukar pesan dengannya.

Oh. Hai, Jessica. Tumben sekali.

Agak lama pesan lain baru masuk

Ya. Karena aku ingin kita berteman baik, karena dipikir-pikir kita juga jarang bicara walau satu sekolah. Bagaimana menurutmu?

Aku tidak keberatan. Kita bisa menjadi teman baik.

Dima berharap balasannya kali ini terkesan ramah. Apalagi setelah mengetahui siapa gadis misterius itu sekarang. Pesan lain segera masuk secepat Dima mengirim pesannya tadi.

Pasti. Memang lebih enak berbicara terus terang daripada sebagai orang asing. Bahkan aku pun takut-takut chat dengan orang asing.

Setuju seratus persen. Dima senang Jessica bisa mengerti dan langsung terus terang saja, tapi sebuah kecurigaan menghantui pikirannya. Seingatnya Jessica itu bukan orang yang blak-blakan. Mungkin saja cara orang berbicara tatap muka dengan chatting berbeda. Kasus yang sama terjadi dengan adiknya. Tatap muka begitu cerewet, kalau chat harus tunggu berjam-jam baru dibalas.

Sama. Kurasa mulai hari ini kita akan lebih enak bertukar pesan setalah tahu siapa kita masing-masing.

Hihihi. Kau formal sekali, bahkan dalam chat :D

Benarkah? Aku rasa biasa saja.

Itulah yang membuatmu berbeda dengan laki-laki lain. Mereka banyak sekali cincong kalau kau tahu maksudku.

Seperti apa?

Gombalin yang tak perlu. Aku lebih suka laki-laki membuktikan melalui tindakan daripada sekadar kata-kata.

Maksudmu laki-laki yang melamarmu di kantin itu?

Kau melihatnya? Aduh, malu sekali. Tapi semacam itu lah. Apa aku terlalu kejam menolaknya?

Well, aku sudah tahu endingnya dari awal akan jadi seperti apa. Wajar saja.

Pesan demi pesan masuk dan dibalas silih berganti. Tukar pesan yang awalnya dipikir Dima akan sama membosankannya seperti dulu sekarang berubah seru, bahkan untuk meletakkan ponsel dan membaca bukunya saja terlupakan. Namun Dima tetap menyimpan kecurigaan. Cara tukar pesan Jessica berubah drastis. Dari singkat-singkat kini menjadi panjang lebar. Responnya juga bagus serta aktif. Tiba-tiba sebuah pesan masuk dari adiknya sendiri, menyuruhnya turun menonton drama Korea.

Aku harus pergi sekarang. Ada sedikit urusan, mungkin chat kita bisa dilanjutkan nanti.

Belajar?

Acara keluarga

Baiklah. Met Malam.

Selamat Malam

Meski chat singkat, Dima mengakui chat kali ini lebih menarik dari chat-chat tempo hari. Mungkin saja Jessica itu akan bertukar pesan lagi dengannya, semoga tidak sering soalnya Dima tahu dia tetap harus belajar demi tujuan pasti. Setelah merapikan meja, Dima bergegas beranjak turun ke ruang keluarga.

avataravatar