1 Chapter 1: Alasan

"Ratmi, sudah mau terlambat loh!"

"Iya, Bunda. Tunggu sebentar," jawab Ratmi dari atas loteng.

Sementara ibunya sedang memanggil adik, Dima sedang fokus mengikat tali sepatunya di teras rumah. Tali-tali sepatu baru ini cukup menyebalkan. Terikat tidak beraturan satu sama lain sehingga Dima harus menelusuri masing-masing tali agar bisa terlepas sepenuhnya. Setelah itu ditariknya panjang-panjang tali itu, digilir satu sama lain, dan diikat kuat-kuat membentuk pola kupu-kupu. Tali-tali sepatu satu lagi juga begitu. Tapi tidak sekusut sebelumnya.

"Kau sudah membawa bekalmu, Nak?"

Dima mendongak ke belakang, mendapati Bunda sedang berbicara kepadanya. "Hari ini aku pulang cepat, Bunda. Makanya tidak bawa bekal."

"Ya ampun," histeris Bunda pelan. "Aku baru ingat kau sudah memberitahuku kemarin."

"Bunda sudah membuat bekal?"

Wajah Bunda melemas. "Iya. Bunda lupa."

"Ya sudah. Aku bawa aja, nanti kumakan waktu jam istirahat nanti," kata Dima daripada makanannya mubazir.

"Dan kau akan suka lauk hari ini."

Perkataan Bunda membuat Dima mengangkat alis. Makanan spesial apa yang dimaksud Bunda. Lauk biasanya adalah nasi, sayuran atau daging, dan sedikit sup. Tidak usah yang repot-repot, Dima terima makanan apapun. Kalau Bunda yang masak, pasti enak. Teman baiknya juga setuju. Apalagi Ratmi, tidak usah dibilang lagi.

"Lauk apa, Bunda?"

Bunda berbalik masuk ke rumah sebelum keluar dengan tangan memegang sebuah kotak bekal terbungkus plastik yang diikat rapi. Senyum merekah pada wajahnya.

"Kroket! Makanan kesukaanmu, Nak."

"Wow." Dima agak terkesiap sembari menerima bekal dari tangan Bunda. Sudah lama sekali dia tidak makan kroket. "Apa tidak apa-apa? Bunda bilang tidak sehat?"

"Sesekali tidak apa-apa," Bunda memaklumi. "Lagi, Bunda membuat kroket-kroket itu dengan resep baru. Beri komentar setelah kau memakannya nanti."

"Dengan senang hati."

"Jangan lupa beri pada temanmu juga. Suruh dia komentar juga," saran Bunda. "Bunda buat cukup banyak, jadi kau tetap dapat bagian."

Dima tersenyum senang. "Tentu saja, Bunda."

"Apa aku juga dapat?"

Baik Bunda maupun Dima menoleh ke belakang. Seorang gadis berambut panjang terurai bergelombang acak-acakan sedang menatap mereka dengan muka antusias. Perawakannya mungil, berbaju seragam warna putih biru, dan memakai sebuah pita kupu-kupu. Dia memanggul sebuah tas besar.

"Astaga, Ratmi! Ada apa dengan rambutmu?" Bunda memegang rambut Ratmi.

"Aku sedang mencoba model baru loh, Bunda. Bagaimana? Cantik, bukan?"

Ratmi tersenyum polos dan berputar-putar bak seorang putri istana. Rambutnya terbang ke sana kemari sehingga terlihat jelas.

"Sangat tidak rapi sekali. Mari Bunda rapikan."

"Jangan, Bunda," sontak Ratmi, segera mundur beberapa langkah agar rambutnya terlepas dari pegangan Bunda. "Aku suka model ini. Jangan diganggu lagi."

Bunda mendesah tidak sabar. "Aduh, Ratmi. Nanti kau malah diketawain teman-temanu, apa kau mau?"

"Malah aku sudah janji sama mereka kalau aku mau menunjukkan model rambutku ini."

"Pasti karena drama Korea," kata Dima, memasuki rumah dengan langkah pelan. "Padahal rambutmu sudah cantik dan rapi tadi."

"Biarin," lontar Ratmi tidak terima. "Pokoknya aku mau rambut model ini. Jangan diganggu gugat!"

"Darimana dia belajar semua kata-kata ini?" tanya Bunda khawatir.

Dima menepuk bahu Bunda. "Tentu saja dari drama Korea, Bunda. Tidak ada pelaku lain lagi."

"Bunda harusnya nonton Korea juga. Asyik loh," ajak Ratmi sambil mengacungkan jempol. "Ada drama judul 'Kamu adalah Segalanya', 'Indahnya Cinta', 'Persahabatan Kita', dan lain-lainnya."

Kekuatan internet sungguh luar biasa. Dima tidak menyangka bagaimana internet bisa begitu mempengaruhi adiknya yang baru duduk di bangku SMP 2 sehingga dia bisa menonton drama-drama Korea, walau harus diakui setidaknya lebih baik daripada sinetron. Lebih masuk diakal.

Ketika adiknya lanjut bercerita panjang lebar, Dima hanya menggeleng-geleng kepala sambil memandang sekeliling ruangan yang dihiasi berbagai foto keluarganya. Foto ayah bersama ibu, foto dirinya sewaktu masih kecil, fotonya bersama Bunda, dan lain-lain. Sampai mendarat pada jam dinding. Jarum jam pendek menunjuk pukul tujuh sementara jarum jam panjang tepat di atas angka satu. Sekolah masuk pukul tujuh lewat tiga puluh menit.

"Kita terlambat!" seru Dima. "Ratmi, kita harus berangkat sekarang!"

Ratmi dan Bunda melihat jam dan terperanjat. Rasa terdesak memaksa Ratmi cepat-cepat berlari ke rak untuk memakai sepatunya, tanpa memakai kaos kaki sangking paniknya.

"Kau belum pakai kaos kaki, Ratmi!" Bunda berseru, ikut panik. Langsung mengambil sepasang kaos kaki hitam dan melemparkannya pada Ratmi. "Ini."

"Makasih, Bunda."

Ratmi buru-buru melepas sepatu untuk memakai kaos kaki sebelum memakai sepatunya lagi. Di tempat lain Dima segera memakai helem lalu menghampiri sepeda motor yang sudah terparkir di depan rumah. Setelah menaikinya, dia mencolokkan kunci diikuti mengengkol enkol motor kuat-kuat dan hiduplah mesin. Berderu-deru siap melaju kapan saja. Tak berapa lama Ratmi yang sudah memakai helem keluar rumah dan cepat-cepat naik ke bangku belakang sepeda motor.

"Kami pergi dulu, Bunda," pamit Dima dengan wajah serius. Mereka sudah hampir terlambat."Tolong jaga rumah baik-baik."

"Hati-hatilah kalian. Jangan ngebut," pesan Bunda.

"Dah, Bunda!" seru Ratmi saat Dima melaju kencang meninggalkan Bunda.

***

"Cepat, Bang Dima! Cepat!"

"Aku tahu, Ratmi. Jangan panik begitu."

Satpam sekolah sedang berjaga di depan gerbang. Berdiri tegap dengan kedua tangan diletakkan di samping pinggang, memperhatikan para murid yang sekarang berlarian ke arahnya sebelum dia menutup rapat gerbang sepenuhnya. Justru situasi semacam ini Dima berpikir bahwa dia harus ekstra hati-hati. Murid-murid yang berlarian tidak serta merta memperhatikan jalan lagi, sehingga silap sedikit maka siapapun bisa tertabrak. Dan itu berarti sebuah masalah.

Cengkeraman Ratmi pada pinggul Dima semakin kuat. Makin dekat gerbang makin kuat.

"Sakit, Ratmi!" seru Dima marah.

Ratmi seketika tersadar. "Oh, maaf, Bang Dima. Hahaha."

"Tenanglah."

Satpam menyadari kedatangan Dima. Tangannya melambai menyuruhnya agar cepat masuk melewati gerbang. Dima merespon dengan berkendara ke samping sedikit, ke jalan yang lebih renggang, lalu melaju agak kencang mendahului murid-murid lain. Otomatis sampai langsung ke gerbang.

"Selamat pagi, Pak," salam Dima sambil melaju masuk.

"Selamat pagi, Pak!" seru Ratmi keras-keras.

"Selamat pagi," balas Pak Satpam. "Parkirnya di ujung baris kedua saja."

"Ok."

Dari pintu gerbang, Dima memanuver motor ke samping memasuki sebuah terusan jalan menuju area parkir. Jalan itu bisa dikatakan lebar, muat empat motor disejajarkan. Sebuah pos parkir menghentikan Dima. Berada di tengah-tengah jalan dengan palang parkir menghadang di masing-masing sisi kiri dan kanan pos tersebut. Dima mengambil jalur kiri.

Mohon tunjukkan kartu masuk, mesin parkir berbicara datar secara otomatis.

"Pakai punyaku, Bang!" tawar Ratmi semangat seraya mengeluarkan sebuah dompet kecil dari balik saku. Sebuah dompet yang ketika dibuka memiliki dua tempat berplastik utama yang bisa disisipkan banyak kartu. Ratmi telah menaruh kartu pelajarnya di salah satu plastik utama dan mengacungkan dompetnya ke layar sensor.

Silahkan masuk, mesin parkir menjawab kembali sambil membuka palang parkir

"Aku turun di sini saja, Bang. Teman-temanku sudah menunggu."

"Tapi Ratmi...."

Terlambat. Ratmi sudah keburu turun dan berlari meninggalkan Dima untuk bergabung bersama siswi-siswi berseragam putih biru di ujung jalan tempat tadi Dima datang. Dima hendak berkomentar, tapi sirine parkir sudah berbunyi-bunyi. Tanda menyuruh Dima agar segera masuk area parkir. Kalau tidak, palang parkir akan kembali tertutup dan namanya akan tercatat dalam daftar siswa bermasalah. Itu berarti dia harus menemui petugas Badan Pengawas atau dipanggil menghadap.

"Ratmi, Ratmi," Dima menghela napas, "Sepertinya masa pemberontakan sudah mulai."

Memasuki area parkir, Dima disambut lahan parkir dalam bentuk barisan. Masing-masing baris berjejer tiang tinggi sampai ke ujung beratapkan kanopi sehingga semua motor akan tetap kering meski hujan lebat, kecuali yang parkir di luar batas. Masalahnya hampir seluruh lahan parkir ditempati. Tentu masih akan ada lahan parkir yang strategis kalau saja tadi dia datang lebih cepat. Dia pun menegakkan kepala tinggi-tinggi, mengintip ke setiap barisan apakah masih ada tempat kosong. Tiba-tiba dia mendengar suara peluit yang panjang.

"Oh iya, tadi Satpam bilang parkir di ujung baris kedua."

Dima menghampiri tempat yang disarani satpam tanpa berpikir lebih lanjut. Hanya untuk menemukan sebuah sepeda motor besar atau bahasa kerennya motor gede sedang terparkir di sana dengan sombongnya. Besar dan gagah dengan modifikasi bodi tajam. Dima garuk-garuk kepala. Tidak mungkin petugas satpam berbohong padanya, apalagi moge itu diparkir miring dan makan dua tempat lahan parkir. Sungguh orang yang memarkirnya tidak memikirkan orang lain.

"Sebaiknya aku cari lahan parkir lain," kata Dima, tahu tidak ada gunanya komplain. Dia menegakkan kepala kembali. Kali ini dia menemukan sebuah tempat parkir di tengah-tengah barisan ketiga. "Itu dia."

Dima memarkirkan motornya dengan cekatan. Pas saat itu suara peluit petugas satpam saling bersusul-susulan, tanda gerbang sebentar lagi akan ditutup sepenuhnya. Itu berarti bel sebentar lagi akan berbunyi. Sebagai murid yang menaati peraturan, Dima langsung bergegas. Sampai sebuah benda berkilat menarik perhatian Dima. Tergeletak pada persimpangan barisan parkir kedua. Dipunggutnya benda itu dan diangkat tinggi-tinggi.

"Anting bandul dari bahan kaca tebal," simpul Dima setelah memeriksa seksama. "Pasti milik seorang murid sekolah."

Tidak hanya pelajar laki-laki saja yang membawa motor, para perempuan juga. Zaman moderen sekarang mereka lebih berani, percaya diri, dan harus diakui oleh Dima sedikit liar. Dari cara berpakaian serba minim, dandanan tebal, dan lain-lain. Serta pergaulan bebas yang menurut Dima hanya buang-buang waktu, walau teman baiknya juga melakukan itu. Dia sudah capek menasihatinya jadi dibiarkan saja. Tapi itu cerita lain. Anting ini akan diserahkan kepada guru nanti.

"Cepat! Gerbang sebentar lagi ditutup!"

Seruan petugas Satpam menyadarkan Dima. Dia cepat-cepat keluar dari area parkir dan berlari menelusuri lapangan luas ke bangunan utama yang diapit dua bangunan yang sama besarnya, tapi termasuk bangunan baru. Dalam perjalanan, Dima menyadari dirinya terlihat begitu mencolok. Perawakan tubuhnya tinggi dan berbadan tegap. Terlihat dari balik baju ketatnya, padahal dia sudah memakai singlet. Itu menarik perhatian murid-murid lain, terutama para murid perempuan. Dia tidak mengerti kenapa mereka terus meliriknya dari segala arah, bahkan dari koridor gedung-gedung atas.

"Hai, Bang Dima."

"Oh, hai," sapa balik Dima spontan, ketika seorang gadis dalam sebuah rombongan yang berlawanan arah melambai menyapanya.

Gadis itu serta merta terkesiap dan tertawa cekikian dengan wajah merah padam. Mungkin tidak menyangka Dima akan menyapanya kembali. Aneh saja menurut Dima kenapa para gadis suka menyapanya. Tetapi sekarang bukan waktunya berpikir. Langkah kaki lebar membantu Dima naik sampai ke lantai lima dala1m waktu singkat. Saat menyusuri koridor di depan kelasnya, dia mendapati tidak ada seorang pun di sana. Perasaanya tidak enak.

Dugaannya benar. Saat memasuki kelas, teman-temannya sudah duduk acak-acakan. Bergerombol atau dalam grup-grup kecil sedang menari-narikan pulpen mereka mencatat dari sebuah buku yang terbuka lebar atau pun mencontek buku satu sama lain.

"Dima, akhirnya kau datang!" seru seorang siswa di sudut ruangan. "Cepat pinjamkan buku matematikamu."

Laki-laki berambut agak tebal tersisir samping itu langsung keluar dari tempat duduk lalu berlari menghampiri Dima dengan wajah cerah. Alisnya tebal dan bertindik sebuah lingkaran kecil hitam di masing-masing daun telinganya. Teman baiknya itu menepuk pundaknya keras.

"Ada PR apa, Edward?" tanya Dima tidak tahu.

"PR Matematika dari minggu lalu," terang Edward, tidak terkejut. "Kau lupa pun sudah siap.

Ayolah, cepat pinjamkan tugasmu sebelum Pak Brontas masuk."

Ditolak pun akan dipaksa juga. Terakhir Dima mengalah dan mengeluarkan buku tugas yang dimaksud Edward dari dalam tas. Ketika dibuka, rupanya PR matematika topik matriks. Sudah selesai dikerjakan secara singkat, teratur, dan rapi.

"Pinjam dulu yah, Dima. Nanti kutraktir istirahat nanti," kata Edward, menarik buku tugas Dima tanpa meminta persetujuannya.

Dima hanya bisa pasrah. Berteman dengan Edward memang sering menjadi langganan dipaksa pinjam segala tugas yang ada, namun dia tidak punya pilihan. Edward sudah menjadi sahabatnya kurang lebih lima tahun sejak SMP dan kurang suka belajar. Tapi sebagai gantinya, Dima sering dibawa Edward ke mana-mana. Membantunya mengenal dunia luar yang jarang diketahuinya.

"Yah sudahlah," gumam Dima, tidak tega juga melihat hampir seluruh teman sekelasnya masih belum menyelesaikan tugas matematika.

Tiba-tiba bel sekolah berbunyi. Tanda jam pelajaran pertama masuk, sekaligus sebagai tanda dimulainya kepanikan luar biasa di antara teman-teman Dima. Mereka menambah kecepatan mencatat sambil berebutan mencontek tugas Dima. Sangking cepatnya sampai kertas mereka robek. Dan suara histeris pun terdengar.

Seorang murid lelaki masuk dengan panik. "Pak Brontas sudah datang!"

"Sudah sampai mana?!" tanya Edward kasar. "Kasih tahu yang jelas, Bodoh!"

"Baru saja naik tangga ke lantai lima. Sebentar lagi dia tiba," jawab murid laki-laki itu tanpa merasa tersinggung sama sekali.

"Sial!" maki Edward. "Bisa-bisanya dia tepat waktu sekali."

Kata-kata terakhir Edward meluncur keluar pas Pak Brontas masuk. Para murid terkejut bukan main. Mereka serentak berpencar dalam kekalutan mencari tempat duduk masing-masing. Diam-diam Edward mengoper buku tugas Dima kembali sebelum duduk di bangku paling belakang, tapi kacing paling atas masih terbuka. Antingnya juga tidak dilepas.

"Edward," bisik Dima dengan mata lebar.

"Apa?"

Dima menunjuk kedua telinganya sendiri. Memberi isyarat pada Edward yang langsung mengerti dan melepas kedua antingnya sekaligus dalam sekali tarikan. Dia hendak memperingati Edward akan kancing bajunya yang paling atas, tapi Pak Brontas berdeham keras. Meski tidak memandang ke arahnya dan sedang fokus memilah-milah berbagai macam kertas. Suasana kelas hening luar biasa. Tidak ada yang berani bicara. Beberapa murid terlihat tertunduk takut.

"Siapa yang berkata 'Bodoh' dengan keras tadi?" tanya Pak Brontas tanpa mengalihkan pandangan dari kertas-kertasnya.

Semua murid menegang. Kepala mereka terangkat dan bermata lebar, tidak menyangka Pak Brontas akan membahas hal itu daripada mengumpulkan PR yang diberikannya. Perlahan lirikan demi lirikan tertuju kepada Edward yang terlihat mengeluarkan keringat dingin. Edward dalam masalah besar dan dia menyadarinya. Tetapi tidak berani angkat suara atau menjawab lantang. Untuk sesaat ruangan kelas menghening. Hanya terasa aura dingin yang dibawa masuk oleh angin pagi hari melalui jendela.

Pak Brontas mendongak dan kembali bertanya, "Tidak ada yang mau ngaku? Atau seluruh kelas harus kuhukum?"

Satu kalimat itu membuat seluruh kelas semakin hening. Satu per satu para murid berbisik antar mereka masing-masing, berujar tidak mau dihukum hanya gara-gara satu orang pembuat onar. Beberapa mulai menatap sinis kepada Edward. Tidak oleh Dima. Dia yakin Edward pasti akan mengaku atau seluruh kelas akan memusuhinya nanti. Benar saja, sahabat baiknya itu sudah setengah naik dari bangku dengan tubuh agak gemetaran. Pasti akan dibentak.

"Silahkan maju ke depan Edward," Pak Brontas mempersilahkan dan duduk bersandar.

Edward berjalan keluar dari bangku dalam langkah pelan. Berusaha menegakkan tubuh agar terlihat tegar.

Pak Brontas tersenyum sinis. "Kenapa kau berkata 'Bodoh', Edward?"

"Itu..." Edward tidak tahu harus berkata apa.

"Dan kenapa kancing atasmu tidak kau kaitkan?" Pak Brontas lanjut bertanya tanpa menunggu jawaban Edward. "Kau tahu kau melanggar aturan, kan?"

Edward menelan ludah. Dia tertunduk dengan jari jemari bergerak tak karuan. Dima tahu

Edward sudah takut setengah mati, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Pak Brontas selaku wali kelas mereka pasti menginginkan murid-murid bimbingannya rapi dan teratur. Satu kesalahan seperti yang dilakukan Edward adalah fatal bagi seorang wali kelas perfeksionis.

"Y-Ya, saya melanggar aturan, Pak," aku Edward akhirnya. "S-Saya minta maaf."

Tangan Edward segera meraih kancing atas. Tetapi karena jemarinya bergetar, kancing itu tidak jadi-jadi dikatikannya pada lubang kancing. Baru terkait setelah beberapa kali percobaan. Selama itu Pak Brontas hanya menatap tajam.

"Apa kau sudah mengerjakan PR-mu?"

Edward terkesiap. Dia memang sudah mengerjakannya, tapi belum selesai.

"Kelihatannya belum," tebak Pak Brontas sambil menggeleng kepala sebelum memandang seluruh murid. "Siapa yang sudah siap mengerjakan tugas matematika?"

Walau sudah selesai, Dima tidak berani mengangkat tangan. Bisa-bisa seluruh teman kelas membencinya. Dia diam saja dengan wajah gelisah, ikut-ikutan solider. Detik berikutnya Pak Brontas melirik Dima, tersenyum kecil, dan kembali menatap seluruh kelas.

"Bapak tahu hanya Dima yang selesai," kata Pak Brontas tepat sasaran. "Kemarikan bukumu, Dima. Operkan saja."

Dima memberikan buku tugasnya pada teman bangku depan yang mengoper-ngoper sampai ke tangan Pak Brontas. Pak Brontas membuka buku Dima dan mengangguk-angguk puas.

"Bagus." Pak Brontas berbalik menghadap Edward yang masih berdiri kaku diam. "Permintaan maafmu diterima, Edward. Silahkan duduk kembali."

Mata Dima mendadak melebar. Bukan hanya dia saja yang tertegun, ketika melayangkan pandangan ke sekeliling, teman-temannya juga pada kaget dan banyak yang melonggo tidak yakin. Apakah Pak Brontas baru saja bercanda? Atau memang itu cuma sebuah prank belaka? Tentu Dima tidak percaya. Meski rasanya lega mendapati Edward sekarang kembali ke tempat duduk dengan wajah penuh keheranan. Pak Brontas yang biasanya pasti membentak atau menampar Edward dan menyuruhnya berdiri di luar sampai selesai dua les mata pelajarannya.

"Baiklah, kerjakan PR kalian. Boleh berkelompok dan berdiskusi," umum Pak Brontas tegas.

"Dan Dima, kemari."

Dima menunjuk dirinya dengan heran. Pak Brontas membenarkan.

"Ya. Kemari, Dima." Pak Brontas menarik sebuah kursi kosong ke sampingnya dan menepuknya pelan. "Ada yang mau bapak bicarakan dengan kamu."

***

"Pak Brontas hari ini aneh sekali," kata Edward saat dia dan Dima sedang dalam perjalanan ke kantin. "Apa salah makan?"

Edward menunggu dan menunggu. Tapi tidak mendapat balasan apapun dari sahabat di sampingnya. Dima tengah menatap kosong. Pikirannya sedang terbang ke mana-mana. Ketika tangan Edward dikibaskan ke muka Dima berkali-kali, sahabatnya itu tetap bengong selayaknya mayat hidup. Hanya berjalan tanpa emosi.

Edward menepuk punggung Dima keras-keras. "Dima!"

"Aw!" sontak Dima, terkesiap bukan main. Badannya langsung menegak. "A-Ada apa?"

"Kau kenapa?" tanya Edward dengan alis berkerut. "Kau jadi aneh sejak bicara dengan Pak Brontas tadi."

"Owh, tidak ada apa-apa."

"Kalau tidak ada apa-apa, kau tentunya tidak bengong seperti ini, kawan," komentar Edward kemudian bersiul. "Kau bisa ceritakan padaku apa yang dibahasnya denganmu."

Dima hanya tersenyum lalu. "Hanya seputar pendidikanku. Kau akan bosan."

"Intinya saja. Kau tahu aku tidak suka penjelasan panjang."

"Katanya sih aku perlu belajar lebih keras untuk mencapai yang kuinginkan."

"Belajar lagi?" Edward kebingungan. "Kau sudah banyak belajar loh."

"Itula..."

"Hai, bang Dima dan bang Edward."

Seorang gadis, murid perempuan yang tadi pagi menyapa Dima, melambai kepada Dima dan

Edward dari arah berlawanan. Kali ini dia sendirian, tetapi tersenyum malu-malu kucing.

"Hai!" Edward mengangkat tangan semangat. "Kau gadis berani! Aku suka itu!"

Gadis itu sontak tertawa kecil dengan kedua genggaman tangan menutupi mulutnya. Wajahnya merah padam. Senang bukan main karena dipuji oleh idola sekolah. Ya, itu benar. Dima dan Edward adalah dua murid laki-laki yang diidam-idamkan oleh para gadis sekolah. Sama-sama tampan dengan kharisma masing-masing. Edward terkenal garang, berani, dan trendi, sedang Dima bertubuh tinggi tegap, pintar, dan kalem. Keduanya dikenal oleh siapapun. Tidak aneh jika ketika mereka sekarang sedang membeli jajanan, murid-murid perempuan melirik mereka.

"Aku tetap kurang suka ke kantin," kata Dima seraya mereka menduduki sebuah tempat lesehan. "Terlalu banyak mencuri perhatian."

Edward menepuk bahu Dima. "Kau tidak suka?"

"Aneh saja rasanya."

"Kau yang aneh," tegur Edward sambil merobek plastik jajanan. "Harusnya kau senang para gadis melirik kita. Artinya mereka kagum."

"Ada yang lebih penting daripada cewek, Ward," terang Dima, mulai melahap kroket traktiran Edward. "Aku ingin menjadi seorang dokter."

"Dokter cinta?"

Seketika dahi Dima berkerut tebal. Membuat Edward meledakkan tawa.

"Hahaha, bercanda, Dima. Bercanda." Edward tidak menghentikan tawanya. "Kau perlu lebih santai."

"Aku sudah santai loh," Dima menjawab sambil lalu.

"Tidak juga," kata Edward menyeringai. Dia menunjuk gadis yang menyapa mereka tadi yang sedang duduk di salah satu bangku ujung. "Kusarankan kau pacaran dengannya. Sedikit jentikan jari, dia akan jatuh hati padamu."

"Aku lebih pilih fokus belajar, Ward. Pacaran nanti setelah aku dewasa."

"Alah," Edward mendecakkan lidah. "Tidak ada salahnya pcaran. Kau perlu menikmati hidupmu, Dima."

Bahu Dima terangkat. "Apa aku tidak terlihat menikmati hidup?"

Edward memperhatikan Dima dari atas kepala sampai ke bawah. Tidak ada gerangan apa-apa.

Walau harus diakui, Dima terlihat santai sekali.

"Apa kau tidak kesepian?"

"Maksudmu?"

"Kesepian karena tidak ada orang di sisimu. Itulah gunanya seorang pacar, mengisi kekosongan batin."

Jujur saja, Dima tidak mengerti apa maksud perkataan Edward. Kesepian? Sejak kapan seseorang bisa kesepian hanya oleh karena tidak pernah pacaran? Banyak orang di luar sana yang masih jomblo dan bahagia. Seperti dirinya.

"Ah," celetuk Dima tiba-tiba. "Mungkin akunya yang tidak pernah pacaran makanya tidak tahu apa itu kesepian karena tidak pernah punya pacar."

Kedua alis Edward terangkat amat tinggi. "Hah?"

"Hipotesis dari informasimu. Kugabungkan dengan fakta-fakta yang ada."

"Astaga," Edward menghirup napas dalam-dalam. "Kata-katamu sangat ilmiah, terlalu indah untuk didengar orang awam. Tolong ucapkan secara sederhana."

"Intinya aku selalu jomblo makanya tidak kesepian."

"Entah kenapa aku merasa kasihan padamu, Dima." Edward menggeleng kepala. "Laki-laki tampan sepertimu menyia-nyiakan ketampananmu."

"Aku tidak keberatan."

Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai dari arah depan kantin. Suara-suara kericuhan.

"Ada apa itu ribut-ribut?" tanya Edward ingin tahu. "Kok tidak ajak-ajak?"

Memang keributan itu tidak biasa. Ada sorak sorai yang menggelegar. Ketika Dima mendongak untuk melihat lebih jelas, seorang murid laki-laki ceking berlari memasuki kantin mendahului seorang gadis berperangai pendek yang memiliki paras mempesona. Laki-laki itu berlutut sambil memegang seikat bunga Lily dengan mata penuh harap.

"Kau tahu kenapa aku mau kasih kamu bunga?" tanya murid laki-laki itu.

Gadis itu berpikir sebentar. "Tidak. Kenapa?"

"Karena bunga melambangkan cinta tulus seorang laki-laki pada gadis pujaannya."

"Cieeeeeeeeeeee!" sorak-sorai para kerumunan.

Tidak berhenti sampai situ, beberapa penonton murid laki-laki bersiul-siul dan menjerit-jerit aneh bagai binatang liar di siang bolong. Sekedar untuk menambah sensasi saja.

"Aku cinta padamu, Jessica," aku murid laki-laki itu dengan kelembuatan suara yang dibuat-buat. "Maukah kau jadi pacarku?"

Sejenak Jessica tidak menjawab, tetapi senyumnya merekah sempurna. Dia menerima bunga pemberian murid laki-laki ceking itu dengan tenang. Murid-murid lain menunggu dalam kekaleman, bertanya-tanya pantaskah murid laki-laki yang sudah ceking, jelek lagi, bisa diterima oleh bintang idola sekolah mereka. Sungguh tidak selevel. Pertanyaan yang sama terlintas di pikiran Dima. Dia ragu gadis secantik Jessica bakal menerima cinta murid laki-laki tersebut.

"Bunga Lily yang indah, tapi maaf, aku tidak bisa menjadi pacarmu."

Sorakan memilukan langsung bergema. Panjang dan serempak pula sehingga memperparah kondisi murid laki-laki itu. Syok bukan main dan masih berlutut kaku akibat pukulan perkataan Jessica. Dunia seakan runtuh. Sementara itu Jessica berjalan santai melewatinya dengan dada dibungsungkan tinggi-tinggi.

"Bikin malu," komentar Edward sambil memukul meja. "Caranya salah. Merendahkan martabat laki-laki saja!"

Dima tidak berani berkomentar dan hanya tersenyum. Dugaannya benar. Ocehan Edward masih berlanjut, tapi pandangan Dima sekarang teralih kepada Jessica yang sedang berjalan ke sebuah bangku bersama seorang gadis berambut panjang. Termasuk gadis menarik, tapi Jessica lebih menarik. Saat itulah tiba-tiba saja kepala Jessica berputar ke arahnya, mereka bertatap muka sekitar dua detik lalu Jessica kembali ke depan dengan cepat. Terlihat agak kikuk dan mulai menyibak rambut. Dima agak tertegun, tetapi tidak mengatakannya kepada Edward.

avataravatar
Next chapter