9 MAKAN MALAM YANG MENYEDIHKAN II

MAKAN MALAM YANG MENYEDIHKAN II

Gina terus meronta, dia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tangan papa Budi yang mencengkeramnya dengan sangat kuat. Luka ditangannya akibat tersiram sup panas sudah tak dirasakan oleh Gina. Padahal tangannya sudah mulai berubah warna menjadi merah.

Suara hujan yang turun dengan cukup deras menambah kesan mencekam pada malam ini. Tangis Gina terdengar begitu pilu ditelinga. Papa Budi terus menariknya menerobos hujan.

"Lepaskan tanganku pa! Lepaskan! Papa mau bawa aku kemana?" derai air mata sudah tak terbendung lagi membasahi pipi Gina

"Diam! Papa harus memberimu pelajaran. Mengusirmu dari rumah sepertinya tidak cukup membuatmu jera untuk terus berusaha melukai Siska"

Papa Budi begitu emosi saat ini. Dia terus menarik Gina dengan keras, bahkan tak peduli jika Gina kini sangat kesusahan mengikuti langkah papanya. Dari belakang mereka, Siska dan Riska tersenyum puas melihat pemandangan di hadapannya, sedangkan Riko hanya menatap diam tanpa ekspresi ke arah ayah dan anak itu

Papa Budi membawanya ke sebuah ruangan yang sangat gelap yang berada dibelakang rumah. Ruangan ini sudah lama tidak digunakan dan selalu dijadikan tempat untuk mengurung Gina sejak dia masih remaja jika dia melakukan kesalahan

"Kamu diam disini! Kamu tidak akan papa keluarkan sampai kamu menyadari apa kesalahan mu dan kamu tahu bagaimana caranya bersikap kepada orang lain" kata Budi sambil memasukkan Gina ke dalam ruangan dan menguncinya dari luar

Dug dug dug dug dug

"Pa, buka! lepaskan aku pa! Buka pintunya!" Gina terus berteriak sambil memukul - mukul pintu dengan keras

"Renungkanlah kesalahan mu disini!" kata papa Budi yang diliputi amarah sambil berjalan pergi menjauh meninggalkan ruang gelap itu untuk kembali menuju rumah

Gina terduduk di balik pintu dengan memeluk kakinya. Tetesan air hujan yang menetes dari kepalanya ikut membasahi wajahnya dan menyapu air mata di pipinya. Bajunya sudah basah kuyup karena air hujan. Gina mulai menggigil kedinginan

"Pa, buka pintunya! disini gelap, aku kedinginan pa" kata Gina dengan suara gemetar

Duug duug duug

Kini pukulannya pada pintu semakin melemah, suaranya terdengar semakin pelan

Sementara Gina menggigil kedinginan di dalam rumah, Siska kembali melancarkan aksinya berperan sebagai seorang aktris

"Pa, tolong maafkan Gina. Kasihan dia pah, dia pasti kedinginan. Tangannya juga sedang terluka karena tersiram sup olehku. Wajar saja jika dia marah padaku pa. Tolong maafkan Gina pa. Ku. mohon!"

Siska dengan air mata buayanya berusaha mengambil simpati dari Riko dan papa Budi yang kini telah mengganti pakaian basahnya dengan pakaian yang kering

"Siska, ini bukan pertama dia berusaha mencelakai mu. Tadi dia mendorong mu beruntung Riko bergerak cepat dan menahanmu. Dulu dia mendorong mu dari tangga hingga pergelangan kakimu terkilir dan tidak dapat beraktifitas seperti biasanya dalam waktu yang cukup lama. Dia juga selalu berusaha memfitnah mu dihadapan papa. Kenapa kamu masih tetap bersikap baik padanya?" kata Papa Budi yang terlihat heran

"Benar Siska, Gina itu sudah jahat padamu. Kenapa kamu masih baik terhadapnya?" Riko ikut menimpali

"Dia itu tetap saudara ku. Kami dulu bisa berteman baik sebelum dia mulai merasa iri terhadapku karena perhatian papa dan Riko kepadaku. Aku yakin suatu saat dia akan sadar atas kesalahan yang dia lakukan" jelas Siska dengan suara lembut dan wajah tertunduk

"Ku mohon pah. hiks.. hiks.. hiks.."

"Baiklah, demi kamu, papa akan membiarkan Gina keluar. Tapi ini yang terakhir. Papa tidak akan mengampuninya lagi jika dia kembali membuat kesalahan" Papa Budi memperingatkan

"Terimakasih banyak pa" kata Siska dengan senyum lebar dan menghapus air matanya

Mereka kembali menerobos hujan yang deras untuk pergi ke ruang gelap dibelakang rumah dengan menggunakan payung

Ceklek

Kunci pintu telah dibuka, Gina bersandar dibalik pintu dengan badan gemetar. Wajahnya pucat, matanya terlihat sayu. Gina mengangkat kepala menatap papanya yang kini berdiri dihadapannya

"Kamu harus berterimakasih pada Siska. Dia begitu baik hati dan membujuk papa untuk mengeluarkan mu dari sini" kata papa Budi dengan nada yang dingin

"Aku tidak akan pernah berterimakasih padanya" katanya dengan senyum mencibir

"Kamu!" Papa Budi yang kesal mulai mengangkat sebelah tangan hendak menampar Gina

"Apa? Papa mau menamparku? Silahkan, Pipi ini sama sekali sudah tidak dapat merasakan sakitnya tamparan papa. Karena ini bukan pertama kalinya papa menamparku. Cih, Papa seorang tentara tapi papa tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah"

"Hanya karena aku menunjukkan sikapku yang sebenarnya pada papa dan dia menunjukkan sikap baik setiap kali didepan papa. Papa selalu mengatakan aku yang salah dan memiliki sikap buruk. Suatu hari papa akan menyesal dengan apa yang telah papa lakukan padaku. Pada saat itu hatiku sudah membeku untuk bisa kembali memaafkan papa!" Gina berkata dengan dingin. Tatapan matanya dipenuhi kebencian dan kemarahan

"Aku berjanji pada kalian. Kalian pasti akan merasakan apa yang telah aku rasakan. Akan ku buat kalian hancur secara perlahan dan menyadari kesalahan yang telah kalian perbuat padaku!" Pandangan Gima menyapu wajah mereka satu persatu memancarkan kekecewaan dan kebencian.

Gina yang kedinginan berjalan dengan lemah dan sempoyongan. Dia berjalan melewati orang - orang yang telah menyakitinya dengan penuh keteguhan meninggalkan rumah yang penuh kenangan untuknya tanpa menoleh lagi kebelakang.

Semua kenangan manis dan indah dirumah ini sudah terhapus oleh kenangan sedih dan menyakitkan seiring guyuran hujan yang ikut menyiramnya malam ini. Tangannya mengepal keras, menahan rasa sakit hati yang kini ia rasakan. Air matanya mengalir semakin deras. Mengingat perlakuan papa kandungnya sendiri yang sangat menyayat hatinya. Kedatangannya hari ini yang berharap kembali mendapat kasih sayang sang ayah, justru malah berujung pada luka yang semakin dalam menyayat hatinya. Gina menangis keras di tengah guyuran hujan yang turun semakin deras. Hujan seakan menemaninya dalam suasana hati yang kalut dan membantunya menyembunyikan air mata yang membasahi wajahnya. Dia terus melangkah manapaki jalanan sepi ditengah guyuran hujan. Gina terduduk, menjerit dan menangis sekencang - kencangnya dengan memegangi dadanya yanga terasa sangat sesak, membuatnya semakin sulit bernafas.

"Aaahhh! Kenapa papa begitu tega padaku?

Kenapa papa lebih percaya dia yang hanya berpura - pura baik daripada aku yang mengatakan kejujuran? hiks hiks hiks Kenapa?! kenapaaaa?! Aku benci papa, aku benciiiii kalian!" Dia menjerit dan berteriak memukulkan tangannya pada jalanan yang basah dengan kepala tertunduk

"Sampai kapan kamu akan bersikap bodoh dengan melukai dirimu sendiri?"

Sebuah suara yang cukup familiar tiba - tiba terdengar di telinga Gina. Seseorang tepat berdiri dihadapannya, dengan sebuah payung ditangannya, dia melindungi Gina dari derasnya guyuran air hujan. Dia memberikan Gina sebuah perlindungan yang membuatnya merasa aman dan seketika menghentikan tangisnya.

Gina mulai membuka mata, melihat sepasang kaki yang mengenakan sepatu pantopel pria yang terlihat mahal, celana kerja formal berwarna abu tua yang kini terlihat sudah basah karena hujan. Gina mendongak dan menatap wajah sang pria yang kini mengulurkan tangan padanya kemudian berkata

"Ayo pergi dari sini!"

avataravatar
Next chapter