webnovel

Malaikat Maut

Segerombol siswi memasuki sebuah kelas dan langsung mendatangi bangku seorang siswi yang duduk di barisan paling belakang. Salah satu dari mereka bicara dengan siswi tersebut, berujar kasar, bahkan tak jarang memakinya. Sedangkan teman-teman yang dibawanya hanya tertawa seolah menikmati perilaku gadis yang menjadi ketua dari geng mereka itu.

Tetapi kemudian, terdengar balasan dari siswi yang mendapat ejekan. Sindiran tajam mulai dilontarkannya dan bahkan sekarang, dia berani menatap balik sang ketua geng. Dia menunjukkan senyum bengisnya dan tanpa diduga menarik tubuh ketua geng hingga jatuh ke lantai. Dia menduduki tubuhnya, menarik rambutnya, dan mengancam balik siswi sok jagoan itu.

"Bagus, bagus. Orang seperti itu memang harus dibalas," komentar seorang wanita berpakaian serba hitam dengan mata tak lepas dari layar smartphone wanita di depannya.

"Jaman sekarang, anak-anak semakin nggak bermoral." Seorang pria muda yang juga berpakaian serba hitam ikut berkomentar. Kepalanya menggeleng seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya.

"Jaman sudah banyak berubah." Seorang wanita lain di samping wanita pertama menimpali.

Ya, mereka--tiga orang yang berkomentar--tengah menikmati drama yang disuguhkan wanita di depannya melalui layar ponsel pintarnya. Bisa dibilang, mereka ikut menonton dan tak segan mengerubunginya kala adegan berubah genting. Seperti saat ini, saat adegan siswi itu menyumpah balik pem-bully-nya dan mengambil ponselnya untuk merekam reaksi wajah siswi di bawahnya, tiba-tiba tontonan itu berakhir. Si wanita membawa gadget-nya bersamanya ketika mendengar nomor antreannya dipanggil.

"Tung-Tunggu," cegah wanita pertama bernama Erin untuk menahan wanita berponsel itu pergi. Namun, kata-katanya bak hembusan angin yang tak mendapat respon apa pun darinya.

"Padahal sedang seru-serunya." Luna, wanita kedua, ikut memprotes wanita yang sekarang telah hilang di balik pintu cokelat bertuliskan 'Dokter Spesialis THT'. "Apa gunanya memiliki benda ini kalau nggak bisa untuk menonton?" keluhnya kesal, mengacu pada tablet hitam di tangannya.

"Untuk mencegah kalian terlena dengan kisah drama manusia dan melupakan tugas penting yang harus dikerjakan." Sebuah suara berat menginterupsi obrolan tak penting ketiganya.

Erin, Luna, dan Bara sontak menoleh ke asal suara. Seketika, mereka diam usai menyadari kehadiran Putra, senior mereka di sana. Ketiganya kompak mengalihkan pandangan tatkala mata tajam Putra mengarah kepada mereka.

"Bukankah kalian di sini untuk bekerja?" tanya Putra penuh sindiran.

"Benar. Kami sedang menunggu waktunya tiba," jawab satu-satunya pria di antara tiga orang yang tertangkap basah tengah bersantai di jam kerjanya.

"Daripada berkumpul di sini, alangkah baiknya menunggu di dekat target kalian. Ingat, kalau sampai ada yang kabur, kalian harus menanggung akibatnya."

Diancam seperti itu, jelas membuat lawan bicara Putra tak berkutik. "Ka-Kami akan pergi." Erin mewakili ketiganya berpamitan pada Putra. Lalu, mereka berpisah. Masing-masing dari mereka bergerak ke tempat di mana semestinya mereka berada.

Luna berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang semakin lama makin minim pengunjung. Hanya ada sedikit manusia yang berlalu-lalang di sekitarnya. Kesunyian pun lebih terasa karena terdapat beberapa papan peringatan untuk tidak berisik. Maklum, dia sudah memasuki kawasan rawat inap pasien. Ketenangan harus diutamakan agar istirahat pasien tak terganggu.

Kakinya melangkah mengikuti papan informasi yang mengarahkannya menuju area gedung paling elite di rumah sakit tersebut. Di sanalah pekerjaannya akan berlangsung. Oh, dia tidak bekerja sebagai perawat, dokter, atau petugas berkepentingan di sana. Dia juga bukan merupakan kenalan pasien, apalagi keluarganya. Tugasnya hanya satu, yakni menjemput arwah pasien.

Benar, kalian tidak salah membacanya. Luna adalah satu di antara ribuan malaikat maut yang tersebar di seluruh dunia. Dan tugas mereka sama. Menjemput roh manusia untuk dibawa ke atas. Satu malaikat maut untuk setiap satu arwah manusia. Hal ini untuk menghindari kemungkinan roh itu kabur.

"Apa-apaan dia? Mentang-mentang lebih tua, sok berkuasa sekali," gerutunya, mewarnai perjalanannya yang sepi ini. Siapa lagi yang dimaksud selain Putra? Mereka memang salah, tetapi tak perlu dimarahi seperti itu. Dia dan seluruh malaikat maut yang ada tahu betul peraturan dan sangsi dari setiap pelanggaran yang dilakukan. Tak perlu Putra untuk mengingatkannya. Lelaki itu hanya terpaut... Tunggu. Sudah berapa lama Putra bekerja? Jemarinya mulai menghitung tahun-tahun yang telah dilalui Putra. "Ah, rupanya, dia memang sudah tua," ujarnya setelah selesai berhitung dan mendapat angka delapan puluh tiga sebagai jawabannya.

Jelas, dia yang baru menjalani sembilan tahun masa kerjanya bukanlah apa-apa bila dibandingkan delapan puluh tiga tahun yang telah dilalui Putra. Bayangkan, berapa banyak arwah manusia yang sudah dibawanya? Ribuan? Puluhan ribu? Atau bahkan ratusan ribu? Malaikat maut tidak cuma menjemput satu roh dalam satu harinya. Jumlahnya bisa lebih dari sepuluh. Atau jika sedang ramai, tentu, ada lebih banyak lagi yang harus dijemput.

Luna memasuki gedung rawat inap khusus VVIP dengan langkah riang. Dia semakin dekat dengan targetnya dan hal itu membuatnya bersemangat. Satu pekerjaan akan segera usai. Semoga ada jeda cukup panjang sebelum tugas selanjutnya datang. Dia ingin bersantai sebentar. Mungkin, dengan meminum kopi di Mystic Café, satu-satunya kedai kopi di atas sana.

Luna membaca nomor kamar rawat inap di hadapannya, kemudian mencocokkannya dengan informasi yang tertera di layar tabletnya. Tanpa ragu, dia berjalan menembus pintu itu sesaat setelah mendapati keberadaannya di sana adalah benar. Kakinya terayun menuju ranjang pasien dan berhenti tepat di sampingnya.

Sekali lagi, dia membandingkan informasi di tablet hitamnya dengan pasien yang tampak tak berdaya di atas ranjang. Seorang nenek berusia renta dengan berbagai alat kedokteran terpasang di tubuhnya. Dia lalu melihat arlojinya. Lima menit lagi. Dimundurkannya tubuhnya agak menjauh dari sang pasien. Dia menyandarkan tubuhnya ke dinding di belakangnya. Matanya tak lepas mengamati nenek itu. Terbesit rasa tak tega di hatinya. Meski hari-harinya dalam sembilan tahun yang sudah dilaluinya dipenuhi dengan kematian, tapi dia tak pernah terbiasa melihatnya. Namun, tak ada yang bisa dilakukannya. Takdir manusia memang begitu. Yang hidup pasti akan mati. Dan sialnya kematian menjadi bagian dari pekerjaannya.

Ruangan ini sunyi. Penunggu pasien, yang sepertinya merupakan cucu dari nenek itu, sedang duduk sembari memainkan ponselnya dalam diam. Mungkin, dia tak mau mengganggu tidur neneknya. Namun, keheningan itu tak berlangsung lama. Kardiograf di kamar ini mengeluarkan bunyi yang memekakkan telinga seiring perubahan garisnya yang semakin lurus. Seketika, kepanikan mendera. Si cucu bergerak cepat memanggil perawat dan dokter dan saat mereka datang, pertolongan pun secepatnya dilakukan.

Di tengah kondisi genting tersebut, roh sang nenek keluar dari tubuhnya. Nenek itu terlihat kebingungan kala melihat sosoknya terbaring di atas ranjang, terlebih saat tak ada satu pun dari mereka yang menyadari keberadaannya.

"Nyonya Maria Pangestu?" panggil Luna untuk menarik perhatian nenek itu. "Saya tahu Anda masih bingung. Benar, Anda telah meninggal, dan tubuh di depan Anda adalah raga tak bernyawa karena Anda sudah keluar dari sana." Dia berhenti sejenak demi melihat reaksi arwah di hadapannya. "Silakan ikut saya. Saya akan menjelaskan semuanya pada Anda," lanjutnya tetap menjaga formalitas dalam ucapannya.

Ini adalah karya pertama saya. Mohon dukungannya ya ~~

aishimizudanicreators' thoughts
Next chapter