webnovel

Pengemudi Sialan

Mobil berderu sangat halus sampai Qonin dan Zanqi tidak menyadari jika Namora sedang mengamatinya dari dalam keseruan mereka berdua.

"Zanqi!! Apa mungkin dia tertawa??" gumam Namora haru tanpa mengalihkan pandangannya dari Zanqi yang memperlihatkan giginya, dia sangat bahagia sampai ini rasanya bukan nyata.

Din!!! Bunyi klakson yang tidak sengaja disentuh oleh sopir, Zanqi pun menoleh sambil melambaikan tangan ke arah Namora, kaca mobil dari kursi penumpang terbuka.

"Tante Namora!!" pekik tertahan dari Qonin, dia langsung berdiri untuk mengambil sikap.

"Kalian bahagia sekali, ada hal lucu apa sampai membuat kalian tertawa di tengah lapangan seperti ini?" tanya Namora mengulas senyuman tanpa henti.

Qonin dan Zanqi saling tatap, mereka berdua kembali tertawa sampai Zanqi mengeluarkan airmata, "Sudah!! Perutku sakit sekali!!"

"Apa sih?? Bikin mamah penasaran saja," Namora gemas melihat kelakuan mereka berdua.

"Nanti Zanqi ceritain di jalan, mamah tunggu saja di dalam," pinta Zanqi kepada Namora, Namora hanya geleng kepala, memenuhi permintaan anaknya.

Qonin sedikit merasa tidak enak, dia sesekali menundukkan kepala dan masih bingung bersikap seperti apa dengan mantan majikannya, meskipun hanya beberapa jam, pengalaman itu terlalu kuat dan berkesan bagi Qonin.

"Nin, buruan pulang ntar keburu sore. Apa kamu nebeng sama aku saja?" usul Zanqi.

Qonin mengangkat dan menggeleng kepala sambil melambaikan kedua tangannya dengan cepat, "Tidak ... tidak usah Qi, aku baik-baik saja!!"

"Serius??" Zanqi masih berharap Qonin mau menerima tawarannya.

"Serius!! Sudah pulang sana, jangan biarkan mamahmu penasaran lebih lama lagi, aku sendiri jadi tidak enak," Qonin menyuruh Zanqi segera naik mobil.

"Oke deh!! Sampai ketemu besok!!" Zanqi terus saja tersenyum memandangi Qonin, begitu pula sebaliknya.

"Sampai besok, Qi!! Dah ...!!" timpal Qonin.

Zanqi mengetuk kaca mobil, sopir paham apa yang diinginkan Zanqi, segera saja sopir buru-buru keluar mendahului tuan mudanya mengitari body depan mobil untuk membukakan pintu dan tidak lupa melipat kursi roda serta ditaruh ke dalam bagasi.

"Hati-hati pulangnya Qonin!!" seru Namora yang kaca mobilnya mulai dia tutup perlahan.

"I ... ya Tante, terimakasih," seru Qonin sedikit canggung tapi tak menampik kenyataan dia senang diperhatikan Namora.

Setelah mobil menjauh, Qonin berjalan keluar sekolah bergumam, berdecak kagum, "Keluarga Narendra yang kaya itu kelihatannya baik sekali. Beruntungnya Zanqi."

Pada kenyataannya Narendra memanglah baik, asal tidak mengusik ketenangan atau merendahkan keluarganya tidak ada baku hantam penderitaan. Jika dibilang tega, Narendra bisa juga menjadi raja tega.

"Kamu sekarang berteman akrab dengan Qonin ya?? Dia anaknya baik ya?? Hampir saja mamah membencinya waktu itu," ucap Namora membuka percakapan.

"Iya Mah, dia memang baik sampai tidak sadar jika kebaikannya itu kadang membawa kesialan untuknya," timpal Zanqi.

"Jadi ada kejadian lucu apa di sekolah, Qi?" Namora masih menagih penjelasan dari Zanqi ketika melihat putranya senyum-senyum tidak jelas.

Aduh Zanqi, bodohnya dirimu!!! Nggak, aku nggak boleh cerita ke mamah jika Leon Wijaya mengerjaiku tadi, tapi apa yang harus aku ceritakan?? Batin Zanqi yang seketika menutup rapat mulutnya.

"Qi, kenapa pucat begitu?? Kamu sakit?? Apanya yang sakit?" Namora justru mencemaskan Zanqi yang membisu.

"Eh ... Em itu mah, aduh!! Perutku tiba-tiba mules Mah. Apa masih lama perjalanannya menemui dokter, Zanqi mau ke kamar mandi!!" Zanqi terpaksa mengarang cerita untuk mengalihkan perhatian Namora.

Maafkan Zanqi yang sudah berbohong mah, batin Zanqi.

"Astaga!! Kirain apa Qi. Mamah sudah panik sendiri," ucap Namora sambil menghela napas, dia menyandarkan tubuhnya ke kursi setelah rasa kuatir yang didera percuma, lalu berkata, "Bisa kamu tahan kan, Qi?"

"Atau kalau tidak kita turun di pom bensin saja?" usul Namora kembali menegakkan punggungnya.

"Ahh!! Aku rasa tidak perlu Mah, lebih nyaman di tempat dokter saja. Aku masih tahan kok, Mah. Aman!!" Zanqi meyakinkan Namora dengan jawaban tenang, seolah dia tidak sakit perut, tapi memang dia tidak sakit ya?

"Oke," Namora percaya, dia berseru kepada sopir, "Pak, tambahkan kecepatannya!!"

"Baik, Bu," jawab sopir.

Tempat praktik dokter keluarga Narendra berada di sebuah gedung mewah berlantai 20, Dokter Joni memiliki seluruh lantai satu sebagai tempat kerjanya. Zanqi beserta mamahnya sudah turun dari mobil berjalan memasuki gedung.

"Qi, itu kamar mandi, kesana lah dulu!!" usul Namora seraya menunjuk tulisan toilet yang berada di dekat sana.

"Sebentar Mah, sakit perut Zanqi hilang. Kita langsung menemui dokter Joni saja, hehe," timpal Zanqi.

"Ahh!! Bisa begitu ya??" Namora heran dengan kelakuan Zanqi, dia hanya bisa mengikuti permintaan Zanqi tanpa melawan.

Tidak menunggu waktu lama, Zanqi sudah dipanggil masuk ke dalam ruangan Dokter bersama Namora.

"Selamat sore Nyonya Namora," sapa Dokter yang dibalas senyuman oleh Namora, lalu Dokter beralih menyapa Zanqi, "Hai Zanqi, apakah kamu sudah siap untuk diperiksa?"

"Sangat siap, Dok," jawab Zanqi bersemangat, berharap kakinya yang lumpuh mendapat keajaiban dan kembali normal.

"Mari kita jalani prosesnya," ajak Dokter Joni tidak kalah semangat, bahkan dia sendiri yang mendorong kursi roda Zanqi.

Ruangan Dokter itu sangat luas, dimana ruangan depan untuk menyambut pasien biasa tampak dekorasinya kantor pada umumnya. Sementara di ruang tengah, dekorasi lebih mewah yang terdapat sofa untuk menunggu pasien luar biasa seperti keluarga Narendra.

"Silahkan menunggu di ruangan ini Nyonya, jika butuh sesuatu hubungi penjaga di dalamnya," ucap Dokter Joni.

"Saya sungguh terkesan, terimakasih Dok," timpal Namora.

Zanqi dan Namora terpisah di ruang tengah, Namora senang dengan fasilitas nyaman yang dia dapat. Tidak dapat dipungkiri jika hatinya gelisah menunggu hasil, dia memilih berjalan ke kaca besar dengan pemandangan taman yang asri.

"Hah!! Semoga ada perkembangan ke arah yang lebih baik," gumam Namora.

Di taman kota tidak jauh dari rumah Qonin, dia berjalan menuju rumah setelah turun dari angkutan kota.

"Sedikit lagi sampai rumah, aku sudah tidak sabar membedah buku ini untuk amunisi lomba Olimpiade matematika," gumam Qonin senang sampai dia mempercepat langkahnya.

"Hah!! Untunglah aku masih diberi kesempatan untuk mempertahankan beasiswaku, kata bu Ratna jika aku berhasil membawa piala ke sekolah, nilai matematikaku yang C akan diubah menjadi A,"

"Cowok yang bernama Leon itu memang harus dihindari kali ya, agar aku tidak terkena masalah," gumam Qonin di sepanjang jalan.

Ban mobil yang melaju kencang itu dipaksa berhenti oleh tuannya, sehingga rem yang sengaja diinjak menimbulkan bunyi khas decitan dari komponen kampas. Mobil berhenti tepat di depan Qonin.

"Astaga!! Hampir saja aku tertabrak!!" sungut Qonin, jantungnya hampir copot ketika dihadang mobil jaz secara tiba-tiba, "Pengemudi sialan!! Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Hah!!!"

Kaca jendela mobil perlahan turun menampakkan pengemudi yang tertawa bahagia, mereka mengejek Qonin, "Hoi cewek sialan!! Masih selamat Lu?"

"Leon???" teriak Qonin murka.