16 Tenggelam dalam Romansa

Aku turun dari mobil dan berbagi payung dengan Dani. Ini juga gara-gara masih hujan bukan cari kesempatan. Rasanya tak nyaman membayangkan Om bule yang menunggu dalam keadaan marah.

Ketika memasuki resto, Steve melirik aku dan Dani yang mendekati meja makan. Sepertinya aku harus duduk di antara mereka. Siapa tahu nanti mereka saling senggol pakai pisau steak, atau mungkin colek-colekan dengan garpu.

Beberapa menit pantatku mendarat Steve dan Dani belum bereaksi aneh. Mereka masih sibuk melihat daftar menu. Hingga datanglah seorang pramusaji cantik untuk mencatat pesanan.

Untung si pramusaji mencatat pesanan teman-temanku terlebih dahulu. Baru di lembar selanjutnya, pesananku, Steve, dan Dani. Mereka berdua mulai beraksi, setelah Pramusaji mencatat pesanan.

"Mbak .., punya kaca yang ukuran besar?" tanya Steve.

"Ada, Pak. Di restroom," jawab pramusaji cantik.

"Kaca yang bisa dibawa ke sini," kata Steve.

Si pramusaji mulai mengernyitkan dahi. Beberapa dari kami melihat dan menunggu apa maksud Steve.

"Nggak ada, Pak," jawab pramusaji.

"Ah sayang nggak ada. Padahal saya mau nyuruh temen saya yang itu tuh buat ngaca, biar sadar diri kalau sudah jadi mantan. Jangan suka ngajak saingan. Terima kenyataan," kata Steve sambil tertawa.

Ya ampun, Steve! Tega banget bicara gitu. Duh Steve, makin pintar bahasa Indonesia makin jahil mulutnya. 

Dani pun membalas.

"Mbak .., ada rok satu lagi nggak?" tanya Dani.

Si pramusaji tersenyum pada Dani. Giliran yang bertanya ganteng, mendadak pramusaji menjadi lebih ramah dan banyak senyum.

"Nggak ada, Mas. Buat apa sih?" tanya pramusaji dengan nada yang super ramah.

"Tuh biar dipakai sama bule setengah tua. Jadi cowok kok anti bersaing. Mending pakai rok aja, nggak pantes pakai celana. Nggak pantes jadi cowok," kata Dani sambil melempar senyum manis ke arah Steve.

Sumpah deh ya! Dani mulutnya juga bisa kasar ternyata. Rasanya baru sekarang aku melihat Dani versi kasar. Selama tinggal bersama, Dani yang kukenal tidak sekasar ini. Kalaupun bertengkar, Dani lebih banyak mengalah atau diam dan pergi ke suatu tempat sampai marahnya mereda.

"Maaf, Bapak, Ibu, jika tidak ada pesanan lain, saya proses pesanan yang sudah masuk. Permisi." Pramusaji berlalu.

Kulirik mereka berdua bergantian. Baik Dani dan Steve wajahnya mulai datar. Dion yang duduk di sebelah Dani, Beck yang duduk di samping Steve sudah siaga. Baru diam beberapa menit sudah ada yang kembali berulah.

"Aku punya cerita, Guys," kata Dani tiba-tiba.

Semua mata tertuju ke arah Dani tanpa kecuali.

"Itu Bambang, bule setengah tua, baru pacaran aja udah kepedean bakal nikah. Pacaran baru berapa lama udah yakin dapet surat nikah. Bambang mainnya kurang jauh deh, kan banyak ya orang pacaran bubar di tengah jalan."

Duh Dani, kamu cari penyakit! Anak satu divisi sudah mulai merasakan nuansa pertarungan. Mereka lebih memilih diam dan waspada kalau ada asbak melayang.

"This is story about Panjul, Guys," celoteh Steve tak mau kalah.

Ya ampun Om bule dapat nama Panjul dari mana sih. Begini nih kalau tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Steve kadang sangat menyebalkan. Gawatnya lidah Steve kembali ke selera asal sebentar lagi mungkin teriak. Kalau Steve sudah mulai pakai bahasa Inggris, tandanya dia marah.

Dani spontan melihat ke arah Steve ketika diberi sebutan Panjul. Kelihatan banget kalau Dani mulai gemas sama Om bule.

"You know, Panjul is very stupid. Since Markonah left him, he has not been able to accept the reality."

Ih kampret! Aku beneran diberi label Markonah sama Om bule. 

Pesanan datang, awalnya kami makan dengan tenang. Di tengah acara makan, Dani tersedak. Refleks kusodorkan gelas minum sambil mengusap punggungnya.

"Kania!" Steve berteriak saat aku mencoba menolong Dani.

Semua orang melihat ke kami. Dani mengangkat tanganku dari punggungnya, sikapnya seolah berkata, 'Jangan kasihani aku!' Lama sekali Dani terbatuk-batuk hingga akhirnya dia harus ke restroom. 

"Can we talk, Steve?" tanyaku.

"Please ... for a minute," pintaku sambil menunjuk teras resto.

Steve menuruti permintaanku. Kami berjalan beriringan menuju teras. Sesampai di teras, Steve langsung bertanya.

"Mau bicara apa?" tanya Steve dengan sadis.

"Dani sakit, Steve. Kalau kamu ada waktu nanti malam aku ceritain semua," kataku.

"How do you know that?" tanya Steve suaranya mulai melunak.

"Aku melihat dokumen rumah sakit Dortmund atas nama Dani, selain itu Dani menangis tadi pagi," kataku.

"Why Dani is crying? How bad is it?" tanya Steve.

Aku menggelengkan kepala.

"Still trying to find out. Please be nice to Dani. Please, Honey," pintaku pada Steve.

"Ok, i will try," kata Steve sambil mengangguk.

Saat kita kembali ke dalam, Dani belum ada di kursinya. Steve langsung menyusulnya ke restroom.

Aku menoleh ke Maya, mungkin dia tahu sesuatu.

"May, tadi dokumen Dani ada yang dari rumah sakit ya?"

Maya mengangguk, "Pak Dani melarangku untuk membuka isinya. Kenapa sih?"

"Oh nggak, cuma tanya aja," jawabku.

"Apa Dani sedang sakit, Kania?" tanya Beck.

"Aku nggak ngerti, Beck. Apa kamu pernah lihat sesuatu tentang Dani?" tanyaku.

"Pernah, tadi pagi sebelum meeting di ruangannya. Aku lihat obatnya Dani banyak banget di sofa. Terus Dani buru-buru masukin ke tas," kata Beck.

Aku melirik tas Dani. Namun, saat itu Dani dan Steve muncul. Steve langsung menuju kasir, sementara Dani kembali duduk dan melanjutkan makan. Padahal semua temanku sudah selesai makan. Akhirnya aku dan Dani ditinggal. Maya sudah kembali ke kantor duluan. Bahkan Steve pun sudah harus segera kembali ke kantornya. 

Steve pamitan dan mencium keningku.

"Aku duluan, Honey. Titip Dani ya," bisik Steve di telingaku.

Aku mengangguk, sepintas memandang Steve dengan penuh tanda tanya. Namun Steve hanya diam dan menuju ke mobil.

Sambil menunggu Dani selesai makan, aku membuka email melalui gawai. Menjawab beberapa diantaranya.

"Love ...," Dani memanggilku.

Aku menoleh ke arahnya.

"Minta tolong kamu yang setir ya, Love. Tolong anter ke apartemenku. Nanti mobilnya biar dibawa kamu saja," ucap Dani sambil menyerahkan kunci.

Aku mengangguk.

Sepanjang perjalanan Dani meringkuk di kursi. Padahal sudah pakai selimut, pendingin udara sudah minimal. 

"Dani, jangan tidur dulu. Aku nggak ngerti apartemen kamu yang mana," kataku.

"Iya, Love. Nggak mungkin aku bisa tidur kalau kamu masih nyetir. Mana aku tega ninggal tidur kesayanganku?" kata Dani sambil berusaha tersenyum.

"Duh, udah pinter ngerayu ala bucin kamu ya," kataku sambil terkekeh.

"Oh, kalau ceweknya kamu sih aku rela pakai banget. Nih terserah mau diapain budak ini. Pasrah, Love. Diapain aja sama kamu aku mau," kata Dani.

Kucubit lengan Dani. 

"Sakit, Love," kata Dani merajuk manja.

"Dani, ini belok atau lurus?" tanyaku ketika hampir sampai di persimpangan jalan.

"Belok ke hatimu," sahut Dani.

"Eh Panjul, ini kita harus ke mana? Cepetan, belakang banyak mobil!" aku mulai teriak panik.

"Lurus, Markonah," jawab Dani kalem.

Aku mengikuti petunjuk Dani dan sampailah kita di apartemen dengan harga sewa yang membuat pelipis berdenyut.

Memasuki apartemen Dani yang rapi dan wangi. Kamar tidurku kalah rapi, kalau dibandingkan dengan apartemen Dani.

Setelah duduk di kasur, Dani menelepon sopir kantor, minta tolong agar semua dokumen dan barang di atas meja kerja diantar ke apartemen. Termasuk barang punyaku. Itu artinya aku akan meneruskan pekerjaan dari apartemen bos Dani.

"Kania, tolong dong," kata Dani.

"Iya, apa?"

"Tolong ambilin baju ganti di lemari," kata Dani dari atas tempat tidur.

Sebenernya aku ini pegawai atau istrinya Dani? Kok disuruh ambil pakaian ganti. Namun, aku menurut.

Ku berjalan menuju walk in closet milik Dani. Tertegun sejenak setelah membukanya. Di dalam sana, bukan hanya pakaian milik Dani yang kutemukan, tapi juga beberapa baju milikku. Di bagian laci kaca kulihat sepasang cincin pernikahan kami. Sebuah kebaya putih yang rencananya akan kupakai di hari pernikahan juga ada di sana. Ya Tuhan, sebesar itu cinta Dani buatku.

"Kania, kamu lama banget. Mana baju gantiku, Sayang?" tanya Dani.

"Sebentar, jangan bawel!" teriakku.

Dani tertawa mendengar teriakanku.

"Markonah, aku kedinginan ini!" Dani mulai berteriak setelah beberapa saat aku tak muncul.

Aku diam tak menjawab karena sedang sibuk berganti pakaian. Ah, ternyata masih cukup. Sekarang tinggal tinggal membuat cepol rambut, lalu memasang hiasan bunga di rambutku. Selesai. 

Aku menghampiri Dani sambil membawa baju ganti miliknya. Namun, baju ganti itu tak disentuh oleh Dani. Ia terkejut melihatku dalam balutan kebaya pengantin, menatapku tak berkedip.

Dani berjalan menuju ke arahku, membalikkan tubuhku menghadap cermin.

"Cantik, sangat cantik," bisik Dani di telingaku.

Dani berjalan menuju walk in closet dan memakai setelan pengantin pria. Ah Dani, aku jadi ingin menangis melihatmu begini.

Tangan Dani mengisyaratkan untuk mendekat. Aku menghampirinya. Ia memasangkan cincin di jariku dan di jarinya.

"Kita foto yuk, Kania," kata Dani kemudian.

Aku mengangguk setuju walau sebenarnya ingin menangis melihat sikap Dani.

avataravatar
Next chapter