4 Siapa yang Lebih Jahil?

Aku mengikuti langkah Steve. Malam ini, aku menginap di rumah orang tuanya. Sebuah kamar berukuran 4x4 menghadap ke taman belakang. Kamar ini terpisah dari rumah utama. Kamar yang nyaman, lengkap dengan kamar mandi dalam.

"Berani tidur sendiri kan?" Steve melirikku sambil tertawa.

Dasar! Nyari kesempatan nih bule. Aku hanya tersenyum, malas menjawab. Takut semakin dikerjain sama Steve.

Akhirnya ransel berat ini tak lagi bertengger di pundak dan punggungku. Seandainya pundakku bisa menjerit. Mandi pakai air hangat sepertinya menyenangkan. Masalahnya Steve belum keluar dari kamar. Kalau aku buka tas baju sekarang, terus dia lihat baju dalam, bisa ditanya berapa ukurannya. Repot! Iya kalau Dia cuma sebatas tanya. Lah kalau nanti malam membayangkan, kan tambah repot. Hah, pikiran apa sih ini. Bikin malu!

"What you thinking about?" Steve tertawa.

Sekakmat! Memang sih, aku tadi senyum sendirian. Gara-gara pikiranku. Apesnya Steve sedang melihat ke arahku.

"No, nothing. It just me and my fantasy," kataku.

"Oh ok, take your time. I will playing with Amanda. We'll talk again later." Steve berjalan keluar sambil tertawa.

Yes, aku bebas. Segera kukunci pintu geser kaca besar, lalu mandi. Ketika selesai mandi, kudengar suara Amanda dan Steve di taman belakang. Diam-diam aku mengintip dari balik tirai. Oh, kebersamaan yang indah. Aku selalu suka pemandangan ini, seorang Ayah yang mengajak bermain anaknya. Pikiranku terbang menuju beberapa tahun silam, saat Ayah masih ada. Ayah yang begitu hangat, penuh kasih sayang. Aku benar-benar merindukan Ayahku. Aku tenggelam dalam lamunan, hingga kudengar gawai berbunyi.

'Awas handukmu merosot! Sebenernya kamu sedang mikir apa? Need help to resolve your fantasy?' Pesan dari Steve. Oh iya, aku lupa kalau badanku hanya terbalut handuk. Gini nih, kalau gaul sama Om bule. Terus terang, tanpa basa-basi. Pasti dia pikir otakku sekarang lagi tegangan tinggi. Jahilin ah, toh selama ini Steve suka ngerjain aku di kantor. Rasakan, pembalasan itu lebih kejam! Ha ... ha ...!

'Yes, please. After Amanda slept.'

Kututup mulutku dengan bantal. Aku tertawa sambil membayangkan ekspresinya. Sebentar kemudian kudengar suara Steve, "Amanda, let's go to bed. It's late."

Aku semakin tertawa sambil memegang perut yang mulai pegal. Mulutku masih kubungkam dengan bantal. Maaf ya Amanda, Tante ingin membalas Daddy kesayanganmu. Gara-gara Tante, Amanda langsung disuruh tidur. Besok Tante ajak jalan-jalan deh.

Lima belas menit kemudian, sebuah pesan masuk.

'Have you just fallen asleep?'

'No, i have not. Do you mind if i ask for help?' Aku menyeringai lebar.

'No. Just say it.'

Saat itulah aku merasa sebentar lagi Steve tamat di tanganku. Dengan lincah jempolku mengetik jika aku butuh mentimun yang panjang dan besar dan sebuah pisau.

Aku harus bisa menahan tawa jika nanti berhadapan langsung dengan Steve. Lima menit kemudian, kudengar pintu kaca kamarku diketuk. Sengaja kubuka tirai untuk melihat ekspresi Steve. Di tangan kanan Steve memegang mentimun. Pasti diambil dari kulkas Ibunya, karena terlihat bulir embun. Sebuah pisau di tangan kiri. Kugigit bibir bawah untuk menahan tawa. Ternyata bagi otak Steve, gerakan menggigit bibir direspon berbeda. Kubuka kunci kamar dan Steve berada di hadapanku sekarang.

"Are you sure?" Bibir tipisnya berkata setengah berbisik.

Aku hanya mengangguk. Tanganku menengadah meminta mentimun dan pisau.

"What are you doing? Why are you going to cut it?" Steve bertanya penasaran.

"Not cut, but peeled." Aku meliriknya.

Steve menatapku dengan bingung.

"But why? Why cucumber? You can use 'my property', if you want." Satu jari menunjuk bagian bawah tubuhnya.

Itu sih maunya kamu, Steve. Enak di kamu, rugi bandar di aku.

Aku tak bisa menahan tawa. Tanganku mencuci, membersihkan dan memotong mentimun, lalu kutempelkan sebagai kompres mata.

"Oh my gosh! Are you kidding?" Saat itulah tawa Steve meledak.Wajah Steve mulai memerah. Pasti dia malu tuh. Lah aku aja yang denger jadi malu, apalagi yang ngomong.

"Nice prank, Kania. You drive me crazy. Anyway, good night, have a nice dream." Steve masih terus tertawa ketika keluar dari kamar.

Sekarang tahu kan rasanya dikerjain. Makanya jangan suka iseng. Rasanya bisa ngerjain bos itu puas tak terlukiskan.

***

Aku menggeliat tatkala kurasakan percikan air di wajahku. Dengan malas kubuka satu mata, mengintip perbuatan siapa ini.

"Good morning. Wake up sleepyhead!" Steve berdiri di sampingku.

Tangan kanannya memegang alat semprot berisi air. Kuraih gawai, pukul empat pagi, artinya jam lima pagi waktu Denpasar. Aku masih capek, Bambang!

Kuubah posisi tidurku, memunggunginya. Kepalaku kututup dengan bantal.

"Bangun atau kulempar ke kolam?" Steve mulai memberikan pilihan.

Kampret, bodo amat! Resek nih bule. Aku tak menanggapi.

Aku mendengar pintu kamar digeser. Ah aman, Steve sudah keluar. Mungkin Steve menyerah. Whatever! Aku mau tidur.

Aku salah. Tangan Steve mengangkat tubuhku yang mungil, bak memanggul karung beras. Ternyata tadi Steve melebarkan pintu kamar, agar memudahkannya lewat.

"What are you doing? Stop it! Please Steve, stop it! It's not funny!" Aku meronta sebisanya.

Dasar Steve, ia tak peduli. Akhirnya, byur ...! Aku benar-benar dilempar ke kolam di pagi yang dingin.

"How does it feel, huh?" Steve tertawa senang dari pinggir kolam.

Sambil menahan dingin, aku beranjak dari kolam. Steve menyodorkan handuk, untuk membungkus tubuhku. Eh, handuk? Siapa yang meletakkan handuk di pinggir kolam, pagi ini? Oh jadi Steve sudah mempersiapkan semua. Harus dikasih pelajaran nih bule.

Steve masih berdiri di pinggir kolam. Aku pura-pura sibuk dengan handukku sambil menunggu Steve lengah. Ketika lengah, kudorong dengan sekuat tenaga. Saat Steve tercebur, kulambaikan tangan dan berkata, "Bye ... bye ...." Lalu aku melenggang ke kamar dengan penuh kemenangan.Tak kuhiraukan Steve yang berteriak sambil tertawa, memanggil namaku. Whatever!

***

Kau merusak reputasiku, Steve. Aku sudah tak tampak seperti perempuan yang anggun, cantik, dan sopan. Tadi, setelah mendorongmu ke kolam, tanpa sengaja aku melihat Ibu. Sepertinya Beliau menyaksikan semuanya dari dapur.

Ish ..., kenapa aku begitu takut akan tanggapan Ibu Steve? Bukankah aku hanya membalas kelakuan anaknya?

avataravatar
Next chapter