3 Rahasia Steve

Kuturuni anak tangga sambil menerka apa ocehan pertama Steve pagi ini. Kakiku sudah menginjak anak tangga terakhir, tapi Steve sedang sibuk dengan gawainya. Ok, aman. Steve tidak berkomentar. Dia sibuk membalas email di hari terakhirnya bekerja. Hari Rabu besok, Steve sudah pindah ke gedung pencakar langit dua blok dari kantor. 

Aku sudah berpamitan pada Ibu, bersiap ke halaman. Steve masih duduk, mengetik email.

"Jadi ke kantor?"

Tanpa menjawab, Steve segera berdiri berpamitan pada Ibu.

"You drive, please." Steve memberikan kunci mobilnya padaku.

Lah, aku paling nggak suka disuruh bawa mobil orang. Takut nabrak, apalagi itu mobil Steve. Sepertinya pagi itu Steve beneran sibuk. Ya sudahlah, aku yang setir.

"Kalau misalnya nabrak gimana, Steve? Aku nggak pernah bawa mobil kayak gini."

Jangankan menjawab, matanya terus tertuju pada layar monitor, jarinya sibuk mengetik. Iya deh aku tahu, you are the boss. Apalah daya aku yang hanya remahan biskuit.

Aku jadi penasaran, email apa yang masuk sampai membuat seorang Steve sibuk. Hingga sampai di basement, Steve masih sibuk.

"Ah!" Steve berteriak.

Pasti gara-gara sinyal hilang. Di dalam hati aku tertawa puas. Terpaksa Steve memasukkan gawainya ke tas.

"Kita sudah sampai, Tuan Steve Bergmann," kataku sambil menyerahkan kunci padanya.

"Thank you, Honey." Kaki panjangnya mulai melangkah ke dalam gedung. Sementara aku, tertinggal di belakang.

Hari ini, Steve memanggilku 'honey', tapi matanya melihat kemana dan entah apa yang ada di dalam pikirannya. Aku tidak suka Steve yang ini. Kita memang satu mobil, tapi dia sibuk sendiri. Wait ... wait ..., there is something wrong with me. Kenapa aku merasa diabaikan oleh Steve? Oh ya ampun, tidak! Apakah aku mulai suka ditemani pulang dan pergi ke kantor? Atau aku mulai nyaman dengan kebersamaan? 

'Sudah cukup! Ayo mulai bekerja.' Aku membujuk diri sendiri.

Ok, mulai dengan baca email. Pagi ini ada 7 email masuk. Satu diantaranya, aku harus ke Denpasar selama dua hari, Sabtu dan Minggu. Pelatihan sistem se Asia Tenggara. Hih, banyak sekali materinya!

Kampret, hari liburku terampas! Nggak asyik! Aku kan nggak bisa bangun siang lalu bermalas-malasan seharian. Email durjana!

Aku terlonjak ketika tangan Beck menyentuh pundakku.

"Ke Bali juga kan?" desisnya.

"Lah iya. Aku, kamu, sama Dion."  

"Udah baca email tiket pesawatnya?" tanya Beck.

"Belum. Kenapa sih? Lah sudah booking pesawat?"

"Kamu baca dulu deh." Beck mulai meremas rambutnya.

Satu email terakhir yang belum terbaca, mungkin itu email yang dimaksud Beck. Ternyata benar. Yang ditugaskan tiga orang, tapi tiketnya untuk empat orang. Aku menahan napas ketika membuka nama terakhir tertulis 'Mr. Bergmann/Steve.' 

Email dikirim jam delapan pagi tadi. Oh jadi Steve sibuk karena masalah ini.

Aku melihat tanggal dan jam keberangkatan. Ya ampun, aku berangkat ke Denpasar malam ini. Sedangkan Beck dan Dion baru terbang besok. Pelatihan baru dimulai hari Minggu. Terus nanti di Denpasar aku tidur di mana dong? Kantor cuma cover penginapan hari Sabtu dan Minggu. Masak iya nanti malam aku tidur di bandara?

Sebuah pesan muncul dari Steve.

[Kania, jangan lambat kerjanya. We leave the office at 02.00 p.m.]

Disusul pesan dari Beck.

[Pasti kamu berdua udah jadian kan? Cie ..., berangkat duluan nih ye. Mau ngapain coba? Lagian Steve bela-belain ke sana pakai uang dia sendiri loh.]

[Hah, jadian? Steve nggak bilang apa-apa tuh sama aku. Nembak juga nggak. Tahu dari mana Steve suka sama aku?]

Aku membalas.

[Eh bused, belum bilang? Wah, kelamaan nih bule. Steve itu sudah lama suka sama kamu. Dua tahunan gitu deh.]

Balasan dari Beck.

Chat kami terhenti, tatkala Steve keluar dari sarang. Mata langsung fokus ke monitor, kerja!  Bos mulai patroli.

Ternyata, Steve mendatangi setiap orang di ruangan ini. Dia pamitan sekaligus meminta maaf. Ada hal indah yang kunikmati dari sini. Steve berjalan, bersalaman, dan memeluk mereka satu per satu. Ketika Steve dan Beck berpelukan, aku bisa melihat dengan jelas sorot mata Steve. Oh ya ampun, pikiran apa ini? Sejak dia memandangiku malam itu, aku selalu merindukan sorot mata milik Steve.

Saatnya Steve berjalan ke arahku. Beberapa teman iseng mengarahkan kamera gawai padaku. Sampai di hadapanku, dengan santainya Steve berkata, "Are you ready for tonight, Kania?"

Haduh, Steve! Seisi ruangan gempar.

"Awas berangkat dua orang, pulang dari Denpasar jadi tiga orang," kata Dion.

"Undangannya, Bos. Jangan lupa." Maya menimpali.

"I'm not your Boss anymore." Steve tertawa. Tangannya melepaskan ID card di dadanya.

"Kawin ... kawin .., ada yang minta kawin!" Beck bercanda.

"Bukan kawin, enak aja. Nikah ya!" Steve berteriak sambil tertawa.

Satu ruangan tambah gempar. Payah nih bule. Jadilah aku dikerjain lagi sama satu divisi.

Pukul dua siang, aku dan Steve keluar dari kantor. Di dalam mobil, Steve melepas kemejanya, berganti kaos sambil berteriak, "I am free yeah ...!"

Aku menolehkan pandangan ke jendela, ketika Steve melepas kemejanya, takut khilaf.

"Steve, why do you come to Denpasar?" tanyaku.

 

Kedua mata itu memandangiku untuk beberapa detik. Lalu kembali menatap jalanan yang masih ramai. 

"The part of me was there. I want you to know," jawab Steve.

Akan ada kejutan nih. Secara tak sadar, aku bermain dengan pikiranku, menerka kejutan apa yang akan kuterima.

***

Denpasar gerimis di malam itu. Waktu masih menunjukkan pukul delapan WITA. Steve mengajakku mengunjungi sebuah alamat.

Kami tiba di sana belum terlalu malam. Seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun membukakan pintu. 

"Ibu ...," kata Steve sambil memeluknya.

Wanita itu mendekap Steve dengan penuh kerinduan. 

"Ibu kangen, Nak." 

Steve mengangguk-angguk mendengar perkataan wanita itu.

Saat itu, ada seorang gadis kecil yang duduk di atas kursi roda. Mata, hidung, bahkan senyumnya, itu milik Steve.

Detik selanjutnya, aku mendengar mulut kecilnya berteriak, "Daddy ... daddy ...!"

Steve mendekati anak itu, mencium dan membiarkannya bergelayut manja.

avataravatar
Next chapter