5 Pernyataan Cinta

Sebenarnya, aku masih memikirkan tentang Ibu Steve. Sejak kapan Beliau ada di dapur. Apa Beliau tahu bahwa Steve yang memulainya, bukan aku. Entahlah, aku hanya tak ingin dianggap sebagai perempuan yang tidak baik.

"Kania ...." Jantungku serasa berhenti. Itu suara Ibu Steve. Beliau mengetuk pintu kamar. Aku buru-buru membuka pintu.

"Ya, Bu ...." Aku menjawab panggilan Ibu dengan pandangan menunduk.

Oh ya ampun, di mana Steve? Sanggupkah aku menemui Ibunya tanpa ditemani Steve? Aku canggung.

"Temani Ibu ngeteh di atas, yuk." Jantungku mencelos.

Aku jelas tak mungkin menolak. Aduh gawat, bahkan saat ini aku tak tahu Steve ada di mana. Dengan patuh aku mengekor pada Ibu walaupun jantungku bergemuruh.

Sebuah ruangan besar, tanpa sekat. Ada beberapa meja dan kursi untuk bersantai. Dindingnya dihiasi oleh sketsa dan lukisan. Aku seperti tak asing dengan pemilik wajah di sketsa itu.

Langkahku terhenti sejenak, di depan sebuah lukisan dengan pigura warna emas. Rasaya ingin kuteriakkan, 'I'll kill you, Steve!'

Dasar gila! Steve melukis wajahku tanpa ijin. Lalu semua hasilnya dipajang di sini dan entah di mana lagi. Dengan semua pose yang dibuat sesuai selera otak Steve yang korslet.

"Kania ...," kata Ibu.

Aku buru-buru menoleh dan menghampiri Beliau.

"Semua yang ada di sini, Steve yang gambar." Wanita anggun itu berkata sambil tersenyum.

Mataku mulai melirik sketsa wajah dari dinding satu ke dinding lainnya. Semuanya tentang aku dalam pose yang berbeda. Kadar halusinasi Steve sepertinya over dosis.

Kami duduk berhadapan. Aku menundukkan pandangan, mulutku terdiam.

"Kania suka nasi goreng?" Ibu memulai pembicaraan

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Kania mau kan menemani Ibu memasak? Nanti kalau Steve sudah datang. Ibu punya bocoran resep nasi goreng favorit Steve, biar nanti kalau sudah menikah bisa buat badan Steve lebih berisi."

Kami berdua tergelak.

Berawal dari sebuah pertanyaan sederhana tentang nasi goreng, hingga Ibu bercerita banyak hal. Lembaran tisu yang terkumpul di atas meja adalah saksi bisu. Ya, kita berdua duduk dan menangis bersama. Aku bahkan tak menyangka, hidup tak ramah bagi seorang Steve. Berkali-kali aku memegangi tangan Ibu, karena Beliau tersiksa dengan isak tangisnya. Teh manis yang terhidang di hadapan kami tak dapat mengobati kepahitan cerita kenyataan hidup. Dudukku berpindah tempat di samping Ibu, agar bisa memeluk Beliau. Setidaknya meminjamkan pundakku untuk tempat menangis.

"Kania ..., terima kasih sudah memberi kesempatan pada Steve. Semoga Kau bisa bahagia bersama Steve, putraku yang penuh kekurangan." Ibu berkata seraya menangkupkan kedua tangan di pipiku.

Sorot mata pengharapan seorang Ibu. Aku hanya menundukkan kepala, sampai saat ini Steve belum menyatakan cinta. Sebagai perempuan, aku butuh kejelasan.

Deru mobil di garasi, membuat kami berdua bergegas ke dapur, memasak nasi goreng. Steve dan Amanda baru saja datang, entah dari mana.

"Are you cooking, Kania?" Steve mendekatiku.

"No, i am not. I am swimming, breathing, and maybe killing someone after this," jawabku santai.

"Kania lagi buat nasi goreng kesukaanmu, Steve. Udah sana jangan ganggu." Ibu mengusir Steve dari dapur.

Steve itu memang urat sarafnya jahil, bukannya pergi dia malah bilang, "Well, prep, huh!" Steve tertawa lalu menunggu di meja makan bersama Amanda.

Aku tersenyum menahan diri tak membalas ucapan Steve. Tunggu saatnya Steve, tahu rasa kau.

Pagi itu, kita sarapan bersama. Amanda, duduk di sampingku. Untuk pertama kalinya aku begitu dekat dengan Amanda, gadis kecil umur enam tahun yang ramah. Aku dan Amanda berbagi cerita, tertawa, bahkan beberapa kali Amanda minta tolong diambilkan ini dan itu di atas meja makan.

"Tante, kapan main ke sini lagi? Kata Daddy, Tante abis ini ke hotel. Sepi dong."

Aku membelai rambut Amanda.

"Amanda mau ikut antar Tante ke hotel?" tanya Ibu. Gadis kecil itu mengangguk dengan gembira.

"Daddy ...." Amanda menarik baju Steve, lalu berbisik ke telinganya. Steve tersenyum.

"Ok, " jawab Steve kemudian.

"Amanda, ayo kita siap-siap. Mau ikut Tante ke hotel kan?" Ajak Ibu Steve.

Ibu mendorong kursi roda Amanda.

Sementara aku mulai menyingkirkan gelas dan piring kotor, dibantu asisten. Steve belum berulah hanya sesekali memandangiku lalu sibuk dengan gawainya.

Aku hendak ke kamar, persiapan ke hotel. Steve berjalan di belakangku, mengikutiku ke kamar, lalu duduk di atas kasur. Matanya kembali menuju layar monitor, sibuk sendiri.

"Beck dan Dion sedang terbang ke Denpasar," kata Steve tiba-tiba.

"Ok," kataku singkat.

"I booked a hotel room. Kita belum bisa satu kamar sih ya." Steve mulai kumat.

"Amanda menyukaimu," kata Steve lagi.

Ok, Amanda menyukaiku. Lalu aku harus gimana, Bambang? Koprol, kayang, salto? Percuma Amanda suka sama aku kalau kamu belum bilang cinta, Steve. Dasar Om bule nggak peka. Akhirnya semua selesai, aku tinggal berganti pakaian. Karena Steve masih bercokol di atas kasur, ya terpaksa ganti baju di kamar mandi.

"You are so beautiful, Kania." Gombal Steve.

"Oh jelas. Kalau aku nggak cantik, mana mungkin itu lukisan dan sketsa wajahku bertebaran di lantai atas?" Sindirku.

"Loh sudah lihat ke atas ya? Di kamarku dan di kamar mandi juga ada. Lebih artistik." kata Steve nyengir.

Apa? Di kamar mandi? Kamu pikir mukaku ini obat sakit perut? Kalau susah buang air tinggal lihat fotoku? Lebih artistik atau lebih mesum?

"Come on, follow me. I'll show you." Steve menggandeng tanganku.

"Nggak usah gandengan kali, aku bukan truk."

Sesampai di kamar, ada sebuah pigura besar hingga hampir memenuhi satu dinding. Kumpulan fotoku ditempelkan, hingga membentuk pohon. Sedangkan yang di kamar mandi berupa sketsa wajahku dan Steve. Tak kujumpai sesuatu yang mesum di sana. Masih lebih parah gambar yang ada di ruang atas.

"What are you doing, Steve?" Aku berkata lirih, tatkala Steve tiba-tiba memeluk tubuhku dari belakang. Napasku tertahan, darah serasa mengalir lebih cepat.

"Don't leave me, Kania. Would you be my wife? Please." Steve berbisik di telingaku.

Aku menikmati pelukan Steve. Rasa hangat yang mulai menjalar di tiap inchi tubuhku. Wangi parfum Steve yang tercium dengan sangat jelas. Hangat napas Steve di kulit leherku.

"Yes, i would, Steve Bergmann," jawabku.

avataravatar
Next chapter