17 Perempuan Bayaran

Dani seperti lupa dengan rasa sakitnya. Di dalam foto Dani selalu ceria. Apalagi jika foto berdua. Aku berusaha mengimbangi ceria yang ditampilkan Dani. Padahal sebenarnya aku sudah ingin membenamkan wajah ke bantal lalu menangis sepuasnya.

"Aku capek Kania. Duduk dulu ya," kata Dani setelah hampir satu jam kita berfoto.

"Aku ambilin minum buat kamu ya," kucoba menawarkan pada Dani.

Ia mengangguk.

Setelah beberapa saat, aku kembali membawa segelas air putih hangat untuk Dani.

"Makasih ya, Love," kata Dani lalu meneguknya.

Aku tersenyum.

Sepertinya Dani mulai mengeluarkan keringat dingin. Rasanya tak mungkin dalam ruangan sedingin ini orang berkeringat.

"Istirahat dulu, Bos. Buat tidur dulu, biar badan nggak capek," kataku.

"Jangan panggil aku Bos, Kania. Kita sudah di rumah, Sayang," kata Dani sambil berjalan menuju kamar tidur untuk ganti baju.

Aku segera menuju walk in closet melepas kebaya dan berganti dengan baju yang tadi kukenakan.

"Kok pakai baju itu lagi sih. Baju kamu banyak loh yang kubawa dari Dortmund," kata Dani.

Aku terlonjak kaget karena Dani sudah berdiri di belakangku.

"Aku belum jadi setan, Kania. Kamu nggak perlu sekaget itu," kata Dani kemudian.

"Biar sekalian kotor," jawabku.

Suara ketukan membuyarkan obrolan kita. Sopir kantor dan Maya yang datang membawa pesananku dan Dani. Segera kuambil laptopku dari tangan Maya. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan kantor yang sempat tertunda agar tak pulang terlalu malam. Sementara Dani memeriksa beberapa dokumen. Tak lama kemudian, Maya dan sopir kembali ke kantor.

Saat Dani mengantar mereka ke pintu, kulirik tumpukan dokumen di atas meja. Dokumen dari rumah sakit Dortmund ada di sana. Amplopnya masih tertutup.

Kualihkan mataku kembali pada layar monitor. Dani berjalan kembali ke ruang tamu, mengambil amplop dokumen dari rumah sakit lalu memasukkan ke dalam kamar. Ah, hilang deh kesempatanku mengintip dokumen Dani.

Dani belum keluar dari kamar. Mungkinkah Dani sedang membaca hasil laporan kesehatan? Karena ingin tahu, kuintip dari tempat dudukku. Ternyata benar, Dani sedang membacanya. Sebelum Dani menyadari perbuatanku, aku harus segera kembali menatap laptop.

"Kania, nanti malem ada waktu nggak?" tanya Dani dari depan pintu kamar.

"Malem waktunya pacaran, Bos," jawabku sambil ketawa.

"Yuk, pacaran. Kamu pengen pacaran di mana?" tanya Dani.

"Lah, pacaran cuma dua orang, Bos. Aku sama Steve," kataku.

"Biar pacarannya rame, nambah satu peserta lagi. Seru tuh pasti," balas Dani dengan wajah kesal.

"Ampun Bos Dani, aku bisa diputusin Om bule nanti. Kasihani aku," ucapku seraya menangkupkan kedua tangan.

"Kebetulan kalau diputusin pacar bulemu itu. Balikan sama aku aja, Love. Kamu itu takut banget sih sama Steve?" Dani mulai memanas.

Kepalaku tertunduk dan lebih baik aku diam. Sementara Dani mengomel sendiri dan bergumam tak jelas. Dani jadi sensitif.

Gawaiku berbunyi, pesan dari Om bule.

'Where are you, Markonah? You should go back to the office not to your boss's apartment.'

Wah, Om bule tahu dari mana kalau aku di apartemen Dani. Pasti tadi sudah telepon kantor.

'Dani minta tolong diantar ke apartemen, Honey,' balasku.

'Share location!' balas Steve.

Aku segera berbagi lokasi dengan Steve.

'I'm on my way to pick you up!' Steve mengirim pesan lagi.

Mataku kembali fokus ke layar monitor. Kembali bekerja. Ruangan hening, Dani juga sibuk.

Sebuah email dari CIO di Dortmund masuk. Aku membaca dan mempelajari email tersebut. Rasanya tak percaya dengan apa yang kubaca. Berawal dari email Dani yang meminta mengangkat seorang wakil untuk membantu tugasnya selama dia berobat. Disusul beberapa email diskusi antara CIO, COO, dan keputusan CEO di Dortmund. Usulan namaku berdasarkan hasil tes di Bali untuk membantu tugas Dani sebagai CTO. Sebuah email persetujuan dan CIO menginformasikannya sore ini melalui email.

Aku menatap Dani, ternyata Ia sudah melihatku terlebih dahulu.

"Selamat bertugas, Kania," kata Dani sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum.

Aku menyambut uluran tangan Dani.

"Dani, sebenarnya kamu sakit apa?" tanyaku dengan suara tercekat.

Pandangan kami bersirobok.

"Apa itu masih penting buatmu, Kania?" tanya Dani.

"Dani, please ...." kataku.

"Aku hidup atau mati sudah nggak ada nilainya buat kamu. Jadi ini nggak penting buat dibicarakan," jawab Dani ketus sambil membuang muka.

"Jika kamu butuh teman cerita, Dani. Aku akan mendengarkan," bujukku.

"Teman cerita katamu? Aku butuh kamu sebagai istriku, Kania! Apa masih kurang jelas!" Dani berteriak, tapi butiran bening menuruni pipinya.

Kuhela napas panjang, sambil membujuk diriku sendiri agar tetap tenang.

"Maaf Dani," aku menunduk.

"Kalau kamu sudah selesai bekerja, keluar dari ruangan ini, Kania. Tinggalkan aku sendiri," kata Dani dingin dengan mata yang basah.

Kututup laptop membereskan semua barang bawaanku. Dani memandangku yang sedang berkemas.

"Good ya, abis ini kamu ketemuan sama pacar bulemu itu," kata Dani, senyumnya getir.

Aku diam tak ingin menanggapi Dani.

"Katakan padaku, Kania. Berapa kali kau tidur dengannya?" tanya Dani setengah mengejek.

Kubawa tas dan laptop, aku harus segera pergi dari hadapan Dani. Namun, baru beberapa langkah, Dani mencengkeram lenganku.

"Ceritakan padaku, Sayang. Apa kau puas bercinta dengannya? Aku pendengar yang baik, Kania. Come on!" Ejekan Dani semakin menjadi.

"Singkirkan tanganmu, Dani!" Dengan suara bergetar kuberanikan diri bicara. Namun, Dani tak menggubris permintaanku.

"Dari mana Steve mulai menyentuhmu, Kania? Mudah sekali kau mencintainya setelah apa yang kita lewati di Dortmund."

Dani masih terus mengejekku.

"Biarkan aku pergi, Dani," kataku.

"Oh, atau mungkin kau menerima tips dari Bos bulemu itu? Ok, katakan, berapa yang dia bayar untuk setiap goyanganmu di atas tubuhnya? Berapa huh! Bilang! Katakan padaku, Kania!" Teriak Dani sambil melempar beberapa kartu atm ke arahku lalu melempar dompet, bantal sofa, serta beberapa barang yang ada di dekatnya. Setelah itu tubuh Dani luruh ke lantai dan menangis sejadi-jadinya.

Ku berdiri terpaku, menunggu Dani sedikit lebih tenang. Percuma aku bicara jika Dani masih sibuk dengan isak tangisnya. Beberapa saat setelah Dani lebih tenang aku duduk di lantai yang mungkin hanya berjarak satu meter di depan Dani.

Kulucuti arloji, kalung, gelang, sepasang anting pemberian Dani ketika di Dortmund.

"Ini .., terima kasih. Aku tak pantas memakainya lagi. Seorang perempuan bayaran sepertiku tak pantas memakai pemberian dari seorang laki-laki yang suci sepertimu," kataku. Butiran bening mulai merangkak turun di pipiku.

Kuambil tiga hingga empat kali napas panjang agar emosiku stabil dan dapat mengatakan apa yang ada di dalam hatiku.

"Seandainya kamu cukup cerdas, Dani, seharusnya kamu menyadari kenapa seorang Steve Bregmann sangat khawatir melihat kehadiranmu. Seandainya kamu cukup pintar, seharusnya kamu menyadari kenapa semua barang pemberianmu masih menempel di tubuhku hingga saat ini," kataku datar.

Dani mulai melihat ke arahku. Aku berusaha mempertahankan sikap tenangku.

Aku mencoba tersenyum walau getir.

"Ternyata seperti ini ya, rasanya mencintaimu hingga beberapa menit yang lalu."

"Apa maksudmu, Kania?" tanya Dani.

Aku tak sudi menjawab pertanyaan Dani. Aku hanya ingin bicara apa yang harus kukatakan.

"Kamu tahu Love, Steve Bregmann memberiku waktu agar aku bisa belajar mencintainya walau perlahan. Dia ingin menerima cinta yang sama kuat seperti apa yang kamu terima."

"Kania ...." kata Dani.

Aku buru-buru mengangkat tangan karena tak ingin disela.

"Aku sebenarnya senang melihatmu mengejarku, Dani. Hanya saja, rasa bersalahku ketika di Dortmund terus menghantui dan aku belum tahu cara yang pantas untuk kembali padamu."

Kutatap mata Dani beberapa saat.

"Jauh di dalam hati, aku sangat menikmati perjuanganmu mengejarku. Di sisi lain aku memiliki kehidupan baru bersama Steve Bregmann walaupun dalam tahap awal. Sebenarnya, nanti malam aku menemui Steve untuk mundur, agar dapat kembali bersamamu. Namun sekarang aku tahu untuk apa aku harus bersama pria yang tak bisa menghormati wanitanya," ucapku menahan sedih.

"Kania, maafkan aku," kata Dani.

Aku tersenyum.

"Kata maaf ya? Untuk seorang perempuan bayaran sepertiku? Aku rasa itu nggak perlu Dani. Bercinta hanya untuk uang kan? Ya baiklah, mungkin saat ini kau melihat Steve, siapa tahu suatu hari kau melihat Richard, Dave, atau pria kaya lain yang butuh kehangatan di pelukanku. Bukankah begitu, Dani?" Senyum manis yang penuh kepalsuan di bibirku.

Aku mulai berdiri dan hendak berjalan menuju pintu keluar. Tangan Dani memegangi kakiku.

"Kania ... Kania .., maafkan aku. Jangan pergi, Kania," pinta Dani sambil menangis.

"Good bye, Dani! Terima kasih untuk mencintaimu setidaknya hingga beberapa menit yang lalu," kataku sambil menyeret kaki menuju pintu keluar.

Aku berjalan secepat mungkin menuju lift. Sepertinya Dani mengejarku di belakang. Hanya saja, dia masih harus memunguti isi dompet yang berceceran, mencari kunci mobil dan gawai.

Steve sudah menungguku di basement. Ketika pintu lift terbuka, aku berlari menuju mobil Steve. Di belakangku terdengar teriakan Dani. Entah dia naik lift di sebelah mana.

"Kania ... tunggu Kania, jangan pergi! Kania ... Kania, argh!" Dani berteriak stres dan berlari menuju mobilnya.

Aku memasuki mobil Steve.

"Steve, tolong jalan. Ignore him!" kataku

Steve menuruti permintaanku. Segera menyalakan mesin mobil dan pergi secepatnya agar lepas dari kejaran Dani.

avataravatar
Next chapter