6 Om Bule Mulai Nakal

Siang itu matahari bersembunyi di balik awan. Amanda tertidur dalam pelukanku. Steve sibuk menyetir, matanya memperhatikan jalanan yang padat. Sesekali tangannya membelai kepala Amanda.

"Honey, nanti acara kamu apa aja?" tanya Steve. Sepertinya aku harus membiasakan diri dipanggil 'Honey' sama Om bule.

"Mau cari baju tidur. Bawa baju tidur cuma satu. Gara-gara ada bule iseng, basah deh."

Steve tergelak.

"Ya nanti kita cari baju tidur, sekalian jalan-jalan. Yang penting check in dulu."

Hujan turun, aku mengantuk karena kurang tidur. Udara dingin begini memang enaknya tidur. Mataku berat, tak bisa diajak kompromi. Suasana mobil yang tenang, seperti mendukung keputusanku untuk tidur.

"Who is the boss now? I am driving, while you are sleeping." Steve menyindirku sambil tertawa.

Please, Steve! Gara-gara aku dilempar ke kolam, jam tidurku jadi kurang. Aku malas membalas sindiran Steve. Tidur sambil memeluk Amanda lebih enak.

Beberapa menit kemudian, kurasakan napas hangat di pipiku. Wah, ini pasti wajah Steve jaraknya dekat. 'Deg!' Steve menciumku. Bak dongeng Pangeran yang membangunkan Putri Tidur dengan ciuman.

"Wake up Sleeping Beauty. We have just arrived." Steve berbisik lalu menggigit telingaku. Ah Steve, nanti kalau aku ketagihan gimana? Tanggung jawab loh. Buru-buru kubuka mata sebelum Steve melancarkan serangan berikutnya.

Tangan Steve mengambil alih Amanda dari pelukanku. Kalau sedang menggendong Amanda, ketampanan Steve berlipat ganda. 

Aku mulai lupa pada sosok Steve yang menakutkan. Saat ini yang ada di hadapanku, seorang ayah yang keren.

Sebenarnya ada berapa jenis Steve yang harus kukenal, jadi bertanya pada diriku sendiri. Teringat pembicaraanku bersama Ibu. Suatu ketika, Steve pasti menceritakannya padaku. Mungkin akulah yang harus lebih bersabar karena memang tak mudah membuka masa lalu. Sama seperti diriku. Ah, sudahlah. Bukankah semua orang punya masa lalu? Akan ada waktunya untuk semua itu.

Hujan masih belum reda, ketika kami berangkat ke mall. Menemani Amanda bermain, memberi kesempatan padaku untuk menjadi lebih dekat. Aku mulai membayangkan rasanya menjadi seorang ibu.

"Tante ..., Amanda kangen sama mama." 

Mendengar itu, hatiku rasanya perih. Aku memeluk Amanda.

"Mama Amanda sudah bersama Tuhan, Sayang." Kukecup kening Amanda.

"Tante ..., Amanda boleh panggil Mama?" Mata bulat itu menatapku penuh pengharapan. Aku mengangguk. Bibir mungil itu tersenyum.

Steve kemana sih? Beli piyama di Hongkong mungkin ya. Kok lama sekali. Lagi pula, model apa ya yang nanti dipilih Steve buatku. 

"Mama Kania ...," kata Amanda. Ah indahnya dipanggil dengan sebutan Mama. Panggilan yang agung untuk seorang wanita.

"Ya, Sayang. Ada apa?" jawabku.

"Nanti malam boleh bobok sama Mama? Amanda pengen dibacain cerita."

Aku mengusap kepala Amanda. Ya Tuhan, betapa anak ini rindu kasih sayang seorang ibu.

"Boleh, Sayang. Mama Kania punya cerita yang bagus buat Amanda."

Gadis kecil itu bersorak, matanya berkilat gembira.

Steve muncul dengan dua buah tas belanjaan, lalu menyerahkan semuanya padaku.

"Loh kok dua?" 

Steve hanya tersenyum jahil. Wah kumat ini Steve. Pasti beli sesuatu yang di luar dugaan.

Kami segera kembali ke hotel. Jam 7 malam ini, ada makan malam dengan seluruh peserta pelatihan. Aku sebenarnya malas, karena harus pakai bahasa Inggris. Harus mikir ganda. 

Acara makan malam berlangsung dua jam. Malam itu, aku duduk di antara Beck dan Dion. Bukannya apa-apa, aku cari aman. Biar tak banyak pertanyaan dari peserta negara lain. 

"Kania, kamu sudah denger gosip belum?" tanya Beck.

Dalam dunia ghibah, Beck memang hebat. Telinganya seperti ada di mana-mana. 

"Gosip apa sih?" tanyaku.

"Bos baru kita nanti. Masak kamu belum denger? Dia memang dari Jerman sih, cuma namanya Indonesia banget," kata Beck.

"Sialnya, kita dapet bos cowok lagi. Ah, kejombloanku makin akut," kata Dion.

"Wah, aku nggak tahu tuh. Namanya siapa sih? Lagian kamu tahu dari mana Beck?" Aku penasaran. Kok bisa Beck dapat bocoran.

"Namanya Dani Wibisono. Masih belum nikah gitu sih, yang pasti ganteng. Besok abis pelatihan, dia akan dihadirkan di sini." kata Beck.

Ah, nama itu. Kenapa aku seperti kembali pada delapan tahun silam ya? 'Sadar Kania, yang punya nama Dani Wibisono itu banyak. Bukan hanya dia.'

"Maya pasti suka tuh, ada jomblo cakep, belum nikah lagi. Ah elah, kapan Maya akan melirikku?" rutuk Dion.

"Oh ...." Aku hanya berkomentar pendek lalu melanjutkan mengunyah nasi goreng.

"Kok kamu cuek gitu sih? Ah, mentang-mentang bentar lagi jadi Nyonya Bregmann nih. Dia udah nembak belum?" tanya Beck.

"Pastinya udah nembak lah. Tuh sih Amanda tadi manggilnya Mama Kania. Tadi sempat ketemu di lorong hotel," timpal Dion.

Memang deh, badan mereka pria, tapi giliran gosip para emak berdaster bisa kalah. 

"Eh, kalian tahu tentang bos baru dari mana sih?"

"Noh ada di email Maya, dapet langsung dari kantor Jerman," kata Dion.

Saat makan malam usai, aku segera kembali ke kamar. Aku berjanji pada Amanda membacakan dongeng. Dion dan Beck mengekor di belakangku, mereka ada janji dengan Steve. 

"Kalian nggak bobok sekamar kan?" tanya Beck.

'Hih, kenapa orang ini harus jadi programmer sih? Dia lebih cocok jadi wartawan,' kataku dalam hati.

"Kalau kita sekamar, kalian mau ikut gabung meramaikan?" Aku menjawab mereka sambil mengirim pesan pada Steve, agar membuka pintu kamar.

"Nggak. Nanti kepengen. Belum cukup umur," kata Dion sambil tertawa.

Pintu kamar terbuka, Steve muncul dengan setelan casual.

"Honey, titip Amanda ya. Aku mau jalan."

Aku mengangguk.

"Nggak mau dicium dulu atau apa gitu?" imbuh Beck.

"Let's have fun, Man!" Steve segera membawa pergi mereka dari hadapanku.

***

Aku membacakan dongeng untuk Amanda hanya butuh waktu lima menit, Amanda sudah tertidur lelap. Nah, ini kesempatanku mengintip baju yang dibelikan Steve.

Tas belanja pertama, lulus sensor, sesuai permintaan. Piyama kuning muda yang cantik. Tas belanjaan kedua berisi lingerie yang bikin aku panas dingin. Sebentar kemudian gawaiku bergetar, pesan dari Steve.

[Pajamas tonight. Lingerie tomorrow.]

Ya iyalah Bambang! Untuk apa aku pakai lingerie sekarang, di depan Amanda. Pakai lingerie itu ya di depan kamu, Steve. Biar langsung terasa sensasinya. Ternyata otak korslet itu menular.

Ganti baju, bersihkan wajah, gosok gigi, lalu tidur. Sebelum tidur, tanganku mengambil gawai, kuarahkan kamera memamerkan piyama pilihan Steve yang kini kupakai, lalu kukirimkan. Sebuah balasan muncul.

[Perfect. Can't wait for the other one. Nite, honey. Love you.]

Lalu aku pun terbang ke alam mimpi.

avataravatar
Next chapter