20 Melepaskan Dani

Kesibukan pagiku seperti biasa, bersiap ke kantor. Steve sudah menunggu di bawah berkali-kali bilang, "Come on, Kania. Hurry up!"

"Ini masih jam enam, Steve. Santai aja," jawabku.

Tanganku sibuk memasukkan bekal untuk dimakan berdua di mobil. Menu nasi goreng kesukaan Om bule.

Setengah berlari mengejar Om bule yang sudah masuk mobil terlebih dahulu.

"Santai aja, Honey. Masih pagi ini. Jangan ngomel, darah tinggi loh," godaku ketika masuk mobil.

Steve ngomel tapi ekspresinya lucu.

Cup!

Kutempelkan bibir di pipi Om bule.

"Maaf ya Honey, aku memang payah kalau bangun pagi, kan lagi belajar sesuaikan sama habit kamu," kataku. Tanganku mengusap-usap lengan Steve manja.

Manjur. Seketika Om bule berhenti marah. Tangannya memutar kontak, menghidupkan mesin mobil.

"Gumus aku," kata Om bule, jarinya mencubit hidungku.

"Hah, apa Steve? Coba bilang sekali lagi," kataku sambil tertawa lepas.

"Gumus aku," jawab Steve dengan aksen yang aneh.

"Honey, itu gemes bukan gumus. Ejaannya g-e-m-e-s. Sekarang makan ya, aku suapin. Nasi goreng kesukaan kamu," kataku. Steve mengangguk.

"Gemes," kata Steve menirukan setelah itu Ia tertawa sendiri mengingat kesalahannya.

"Why it's little bit spicy, Kania?" protes Om bule ketika sudah menelan tiga suap.

"Minum dulu, Honey," jawabku sambil menyodorkan sebotol air.

Steve menghabiskan seperempat botol.

Ternyata Om bule makannya lahap juga. Setelah beberapa kali suapan, Steve nolak buka mulut.

"Tinggal dikit lagi, Honey. Nih abisin," bujukku.

"No. It's spicy. Just scrumble eggs please," kata Steve.

"Iya deh," jawabku sambil memilih telur di antara nasi goreng.

Dikerjain sama Om bule. Sebentar kemudian, Om bule melirikku lalu tertawa puas. Mulutnya mulai terbuka, minta disuapi.

"Sebentar, ini telurnya masih dipilih buat Honey," kataku.

"Pakai nasi. Tadi aku bohong," jawab Steve.

"Ih, Bambang!" jeritku.

Tanganku mencubit paha Steve.

Steve tertawa gembira.

Pagiku yang seru bersama Om bule. Terlebih ketika suara Charlie Puth menggema di mobil. Steve yang ikut menyanyikan beberapa bagian lagu 'Attention'. Jenis suara serak yang keren.

'Damn, he is very sexy when sings!' jeritku dalam hati.

Tanpa sadar mataku terus belanja memandangi Om bule.

"What? Now you want me, huh?" tanya Steve nakal.

Kampret, dasar Om-om!

Tangan Steve menekan tombol minimal, suara lagu mengecil.

"This evening my mother and Amanda arrived. Will you accompany me to pick up them, Honey?" tanya Steve.

Aku mengangguk.

"What time?" tanyaku.

"Nine. Maybe 09.15 p.m," jawab Steve.

"Wah, aku mandi dulu di rumah," ucapku.

"Bawa baju ganti, Kania. I already booked two hotel's room," kata Steve.

"Ok, Honey," balasku.

Mobil memasuki basement, lalu mencari tempat parkir.

"Where is my morning kiss?" tanya Steve menagih.

"Ih, abis makan belum gosok gigi, masak minta ciuman sih? Bau mulut, Honey," jawabku.

"Oh, come on, just kiss me, Kania. Please," rajuk Om bule.

Bibirnya sudah maju beberapa senti. Mata Om bule memohon dan terjadilah ciuman pagi kami dengan rasa nasi goreng. Di saat itu aku membayangkan ketika bangun tidur lalu Steve menagih ciuman pagi di kasur tanpa gosok gigi. Pingsankah diriku jika harus mencicipi ciuman rasa jigong bersama Steve? Ih ngeri!

"Love you, Steve. Kerja yang rajin, cari duit yang banyak. Ingat biaya kawin mahal," godaku, setelah puas dengan ciuman Steve.

"Nikah, Kania! Oh my gosh! Mau kawin tanpa nikah? Yuk, sekarang!" Jari Steve menunjuk kursi belakang mobil. Sepasang alis Steve sengaja digerakkan naik turun.

"Dasar Bambang!" Teriakku turun dari mobil.

"Love you, Markonah!" Teriak Steve dengan tawa puas.

Beberapa orang yang lewat di basement menoleh ke arah kami, termasuk Dani. Duh!

Pagi itu, Dani tersenyum ke arahku ketika sedang menunggu lift. Senyum yang tulus tanpa permusuhan. Ada kelegaan tersendiri melihat senyumannya. Sebenarnya aku sudah capek bertengkar dengan Dani. Maka saat itu langsung kubalas senyuman Dani sebagai tanda aku pun lelah berperang.

Pekerjaan lancar hari ini, tak harus mengerutkan dahi melayani komplain kustomer. Bahkan tak perlu tarik urat. What a perfect day!

Sore itu ketika ku berkemas, Dani masuk ke ruangan.

"Sudah siap untuk tes di Singapura, Kania?" tanya Dani.

Aku mengangguk.

Dani menghela napas secara kasar.

"Upayakan yang terbaik, Kania. Ini kesempatanmu. Sepulang dari Singapura, kamu akan mengerjakan tugasku," kata Dani.

Dahiku berkerut.

"Kamu mau pergi ke mana? Kok jadi aku yang disuruh ngerjakan?" tanyaku bingung.

"Aku ke Jepang untuk berobat, selama dua minggu," kata Dani.

"Kamu berangkat sendiri, Dan?" tanyaku penuh empati.

Dani mengangguk, "Bukankah aku yatim piatu, Kania? Aku tak punya siapa-siapa."

Kata-kata Dani seperti menyayatku.

"Kania, aku mau minta maaf atas kesalahanku selama ini. Apa kamu memaafkanku?" tanya Dani kemudian.

"Aku sudah memaafkan semuanya, Dani. Aku juga minta maaf belum bisa memenuhi keinginanmu," kataku.

Kami berdua menjadi terdiam seperti membiarkan perasaan beku mencair perlahan. Permusuhan yang menyakitkan, masa lalu yang tak bisa diselamatkan dan sekarang waktunya untuk saling melepaskan.

Berdiri, saling berhadapan. Jarak beberapa meter tanpa di akhiri pelukan. Wajah tertunduk tak lagi saling memandang. Berusaha ikhlas untuk sesak yang perlahan merayap keluar.

"Kau masa laluku yang indah, Kania. Thanks untuk kebersamaan kita. Semoga bahagia bersama Steve," ucap Dani kemudian.

Senyum manis di bibir Dani mengiringi. Tiba-tiba aku tersadar, itu senyum terakhir untukku. Setelah keluar dari ruangan ini, Dani adalah pria bebas. Pria tampan yang menghangatkan malam-malamku di Dortmund. Ternyata, sebaik-baiknya perpisahan, nyeri juga rasanya. Walau aku sudah berada dipelukan Steve, ada rasa berat kehilangan untuk sesuatu yang indah dan tampan seperti Dani.

Saat itu Steve masuk ke ruanganku untuk menjemput. Aku dan Dani memandang Steve yang baru saja datang.

"Did I miss something?" tanya Steve karena merasa dipandangi aku dan Dani.

Dani tersenyum, membuka kedua tangannya, menghampiri dan memeluk Steve.

"Aku minta maaf untuk semua kesalahanku, Steve," kata Dani.

Steve membalasnya dengan hangat.

'Ah, indahnya pemandangan ini,' kataku dalam hati.

"Berjanjilah untuk menjaga, Kania. Mungkin umurku tak akan sampai untuk melihat Kalian menikah," kata Dani berusaha tersenyum.

"No, Dani. Please don't say that. You have to get better," jawab Steve meyakinkan Dani masih ada harapan sembuh.

"Kania, temani aku menemui Ibu untuk minta maaf. Mobilku akan ada di belakang Kalian," pinta Dani.

"Kamu setir sendiri, Dan?" tanyaku khawatir.

"Aku pakai sopir kantor, Kania. Nggak sanggup setir sendiri. Badanku sakit semua," keluh Dani.

"We better hurry up, Kania," kata Steve.

Aku dan Steve membantu Dani berkemas. Lalu kami meninggalkan kantor.

Dani meringkuk di sebelah kursi kemudi. Tubuh yang berbalut selimut dengan mata terpejam seolah meneguhkan bahwa kondisinya memang tidak baik-baik saja.

Jalanan sore yang ramai. Semua orang berlomba untuk sampai di rumah secepatnya. Kemacetan seperti pawai kendaraan.

"Oh my gosh!" Steve mulai tak sabar.

Jari Steve menekan tombol play, musik mengalun. Om bule jenuh dengan kemacetan ditambah capek pulang kerja.

Aku memijat bahu kiri dan tangan Steve untuk mengurangi kadar stres.

"Thanks, Kania. You always understand me," kata Om bule lalu mencium keningku.

"Steve, kayaknya aku mulai ngebucin sama kamu deh," kataku.

Steve memandangku dengan bingung.

"What is your talking about, Kania? Ngebacin? Or what?" tanya Steve sambil menggaruk rambutnya.

"Ngebucin, Steve. Bucin is budak cinta. It's mean I'm slave for your love, Honey," jawabku.

Mendengar itu Om bule tertawa senang.

"Really? That's good.I love to be loved. Bu ... what, say it again, please," pinta Steve.

"Bucin, nih ejaannya b-u-c-i-n," kataku.

"Aku bucin kamu, Kania," kata Steve tertawa. Aksen yang lucu.

Dasar Om bule selera muda!

"Love you, Steve," balasku.

Steve tersenyum. Jarinya menunjuk pipi kiri. Minta dicium.

Muah!

Aku mengecupnya. Steve tersenyum.

"Steve, aku ngebayangin kehidupan setelah nikah nanti. Terutama kalau kita bertengkar," kataku sambil menghela napas.

Mataku melirik Om bule. Pada saat yang sama Om bule juga sedang melihatku.

"Will you promise me, we won't leave each other, if that happens? Don't leave me, Kania," kata Steve. Aku suka sorot mata itu, memandangku penuh cinta.

Aku mengangguk.

"Ya, Steve. Aku ngebayangin ngomong Love you, Steve dengan gigi depan terkatup, menahan marah waktu turun dari mobilmu. Sementara kamu teriak Kania, why you so stupid!" kataku tersenyum getir.

Kuhempaskan beberapa kali napas. Seram membayangkan bertengkar sama Steve.

"Steve ...." kataku

"Ya, Kania," jawab Steve.

"Aku nggak pengen kita bertengkar di depan anak-anak atau di depan orang tua. Jangan ya, Honey. Please," pintaku.

"Yes, Honey. You right, we should not do that," kata Steve.

"Love you, Steve."

Kucondongkan tubuh ke kanan, menyandarkan kepala di pundak kiri Steve beberapa detik.

Lampu traffic menyala merah, mobil berhenti. Tangan kanan Om bule mengangkat daguku, memandangi wajah lalu mencium bibirku dengan mata tertutup. Aku membalasnya.

Mengalun suara Shane Filan.

So as long as I live I love you

Will have and hold you

You look so beautiful in white

And from now 'til my very last breath

This day I'll cherish

You look so beautiful in white

Tonight

Suara tuter mobil Dani mengagetkan kami. Sudah hijau ternyata. Steve menghentikan pagutannya, mulai fokus menyetir.

"Nanti di hotel ya. After Amanda slept," kata Steve menggodaku.

Akhirnya setelah satu setengah jam perjalanan, kita sampai. Ibu yang saat itu sedang santai di teras, langsung berdiri ketika melihat seorang Dani sedang berjalan menuju ke arahnya.

Dani mendekat dan memeluk Ibuku dengan mata yang basah. Seolah mengadu tentang apa yang terjadi pada dirinya hingga tangisnya pun pecah dalam pelukan Ibu.

avataravatar
Next chapter