10 Mabuk dan Malam Bersama Dani

Aku masih terdiam dalam pelukan Steve. Pikiranku lelah didera kesalahan yang kubuat di masa lalu. Aku butuh waktu untuk sendiri. Perasaanku seperti diaduk-aduk.

"Steve, i am tired. Aku bobok di hotel aja ya." kataku memecah keheningan.

"Oh ok. No problem," jawab Steve.

"Maaf ya Steve," kataku.

Steve mengantarku ke kamar.

"Have a nice dream," kata Steve sambil mencium keningku. Lalu Steve pulang.

Di dalam kamar, aku tetap saja tak bisa tidur. Hadap kanan salah, hadap kiri salah, telentang lebih salah. Semua salah. Hih, menyebalkan! Terus aku harus gimana Bambang? Mungkin lebih baik aku keluar sebentar. Sekadar beli secangkir cokelat hangat atau donat. Mungkin juga keduanya. Ah sudahlah, yang penting aku keluar dulu. Di sekitar hotel banyak tempat makan yang buka 24 jam.

Bermodal kaus, celana jeans belel, dan sepatu, kuberjalan keluar kamar. Aku sudah di depan lift, menunggu pintunya terbuka. Dani muncul dari dalam lift.

"Loh, gak jadi ikut Steve?"

"Nggak! Aku lagi pengen sendiri," jawabku sekenanya.

"Mau ke mana? Mau aku temenin?" tawar Dani. 

Aku diam tak menjawab pertanyaan Dani dan melangkah masuk dalam lift. Membiarkan pintu tertutup. Namun sebentar kemudian, pintu kembali terbuka. Dani masuk ke dalam lift. Ya ampun, kenapa jadi begini?

Dia mengikuti kemana pun aku pergi tanpa bicara. Jadi ingat ketika di Dortmund, kalau aku sedang marah. Ish, apa sih aku ini!

Aku memasuki bar dan memesan segelas minuman berwarna keemasan seperti minyak goreng. 

"Make it double," kata Dani pada bartendernya sambil menyerahkan sejumlah uang.

Tak lama kemudian, minuman datang. Dani hanya melirikku. Sudah lama aku tak minum, dan sekarang aku di sini bersama orang dari masa lalu. Oh bukan lebih tepatnya hantu masa lalu. Mungkin lebih baik jika kusebut kesalahanku di masa lalu.

Baiklah, minum sedikit saja. Semoga aku tak tersedak karena Dani pasti akan tertawa. Dani masih terus mengawasiku, menungguku mengangkat gelas. Kampret! 

Dani dan Steve, mereka berdua membuatku pusing. Ok, aku minum. Bermula di rongga mulut, lalu bergerak ke tenggorokan dengan rasa yang aneh, dan menghilang entah ke mana. Sebentar kemudian, aku merasa lebih baik dan sangat percaya diri. 

Dunia, malam itu menjadi lebih lucu. Begitu banyak hal yang pantas ditertawakan, termasuk diriku yang bodoh ini.

"Bukankah begitu, Love?" Entah kenapa aku memanggil Dani dengan sebutan Love, seperti di Dortmund.

"Ayo Kania, kita pulang." Dani memapahku. Aku tertawa melihat kelakuan Dani.

"Mau pulang ke mana? Dortmund jauh, Love.  Aku nggak mau ke sana, nanti Steve nyariin," kataku.

"Pelan-pelan, Kania." Masih kurasakan tangan Dani menyangga tubuhku.

"Love, kok jalan di depan hotel jadi miring gini? Perasaan tadi nggak gini. Kamu apain ini aspalnya?" Aku pun tertawa hingga perutku rasanya mual. Beberapa menit kemudian seperti ada magma dari dalam yang menyembur keluar. 

Perutku sudah terasa lebih baik, hanya kepalaku masih berat. Dani membantu memapahku ke kursi taman.

"Love, kenapa kamu kesini? Posisi aku serba salah sekarang," akhirnya aku berani ngomong.

"Ayo Kania, jalan. Sebentar lagi sampai kamar. Kamu bisa istirahat." Kudengar suara Dani.

Aku hanya menuruti Dani. Susah payah ke kamar. Akhirnya sampai juga lalu semuanya gelap dan damai.

***

Aku membuka mataku, kepalaku rasanya sudah lebih ringan. Saat hendak bangun, aku mendengar bunyi dengkuran di sebelah kasur. 

Tunggu dulu, ke mana pakaianku? Kenapa aku hanya memakai kimono handuk dari hotel? Siapa laki-laki ini? Dengan hati-hati kubuka selimut tidurku.

"Dani! Keterlaluan kamu!" Aku mulai memukul dengan guling, bantal, juga menendang hingga Dani terbangun. 

"Semalem kita ngapain, Dani? Kamu tahu kan aku sudah punya kehidupan baru sama Steve. Tega kamu ya!" Aku mulai marah.

Dani hanya memandangiku.

"Maaf, aku numpang tidur, capek soalnya ngurusin cewek setengah gila lagi teler. Nggak terjadi apa-apa," kata Dani.

"Keluar!" Teriakku.

"Ok," kata Dani.

Dani menyambar kaos dan celana jeans di kursi, memakai dan mengenakan sepatunya lalu keluar.

"Argh ...." Aku mulai mengacak rambut. 

Sudahlah, lebih baik aku mandi dan berkemas, bersiap-siap ke bandara. Dari pada tidur lagi dan ketinggalan pesawat.

***

Semua sudah kubereskan, tapi ketika hendak keluar kamar hotel, mataku menatap bantal yang digunakan Dani tidur.

"Hih, kebiasaan!" Dengan satu tangan kuangkat bantal itu dan kutemukan dompet serta jam tangan Dani. Sudah berapa tahun, ternyata kebiasaan buruknya tak juga berubah.

Gawaiku bergetar, pesan dari Dani.

'Aku tunggu di lobi, balikin jam tangan dan dompetku.'

Loh, kok kesannya aku yang ambil dompet dan jam tangan Dani. Kan dia sendiri yang pelupa.

Segera masuk ke dalam tas. Kuseret koperku dan turun ke lobi hotel. Sesampai di lobi, sudah ada Beck dan Dion. Haruskah kukembalikan barang milik Dani di depan mereka? Yang benar saja!

Ketika Beck dan Dion sudah berangkat ke bandara, kukembalikan dompet dan jam tangan milik Dani.

"Ayo bareng ke bandara. Kamu masih ngantuk kan? Tidur deh di kursi belakang taksi. Nanti aku bangunin."

Aku mengangguk. 

Sebuah taksi datang. Aku di kursi belakang dan dalam sekejap aku tertidur.

Di ruang tunggu bandara pun aku tidur. Hingga ketika gate dibuka.

"Wake up, Kania!" Ternyata Steve sudah sampai. Dia memandangku sambil geleng-geleng kepala.

"Hai Steve, kapan dateng?" Steve tertawa dan mengacak rambutku.

Dani, Beck, dan Dion sudah jalan duluan. Hanya aku dan Steve.

Ok, sekarang cari bangku pesawat, pasang sabuk pengaman, lalu tidur. Itu agendaku saat ini. Aku tertidur hingga pesawat mendarat. Di pesawat samar-samar kudengar orang berbicara dengan bahasa Jerman. Mungkin yang duduk di sebelah Steve bisa bahasa Jerman. Atau mungkin aku bermimpi.

Steve seperti alarm bagiku. Sampai di tujuan dia akan berbunyi, "Wake up, Kania!" Lalu mengacak rambutku atau mencium rambutku yang wangi. Apa pun, Steve selalu punya cara yang menyenangkan di saat aku membuka mata.

Ketika kubuka mata, sebuah benda melingkar di jari manisku. Dari desainnya, seperti cincin berlian di iklan.

"Steve, ini asli?"

Steve mengerutkan dahi. Dani menatap, tak percaya dengan pertanyaan bodohku.

Beck langsung berceloteh, "Untung pacarku bukan Kania. Nggak bisa romantis!"

Sementara Dion melihatku lalu berteriak, "Kania, kamu lagi dilamar!"

"Oh Waw, thanks, Honey. Aku suka deh!" Aku mencoba mengembalikan suasana, bersikap normal seperti perempuan yang dilamar. Terlambat, Steve sepertinya terlanjur marah.

"Stupid!" jawab Steve sadis. Lalu segera keluar dari pesawat menyusul Dani, Dion,  dan Beck. Aku menyusul mereka dari belakang dengan kakiku yang pendek.

avataravatar
Next chapter