14 Ketika Aku Pura-pura Tidur

Nasi goreng buatan Dani sudah terhidang di meja. Aromanya membujuk diriku untuk mencicipi sepiring bukan sesendok. 

Suapan sendok pertama ke mulut, ah enak. Sederhana sih, cuma nasi goreng. Namun, hal itu yang membuat Dani dipuji terus oleh Ibuku.

"Kania, contoh nih Dani biarpun dia laki-laki tapi pinter masak."

Aku menggaruk kepalaku. Kenapa juga harus dibandingkan denganku. Ish, Ibu ini.

Penderitaanku belum berakhir. 

"Kamu itu udah bangunnya siang, nggak bisa masak, hobi tidur."

Ibu mulai mengupas aibku di depan Dani, saat sarapan pagi. Suara Ibu bagaikan angin di telingaku. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

"Nanti kamu kalau menikah gimana, Kania? Apa Dani kamu suruh bikin sarapan tiap pagi?"

Aku tersedak. Nasi goreng di mulutku berhamburan keluar. Ada yang berceceran di atas meja, ada yang tumpah ke piringku.

Aku segera memunguti ceceran yang ada di depanku, lalu memakannya.

Gawat! Sepertinya ibuku lebih condong memilih Dani daripada Steve. Memang sih, dari dulu Ibu sudah suka pada Dani. Siapa  yang tak suka melihat Dani dengan wajah tampan? Wah Steve dapat saingan berat.

Dani menyodorkan segelas air putih padaku. Ibu tersenyum menyaksikannya. Aku meneguk air putih yang disodorkan Dani. Segera kuselesaikan makan pagiku agar bisa terbebas dari omelan Ibu.

Suapan terakhir masuk mulut. Sambil mengunyah, aku berdiri membawa semua piring kotor ke belakang. Dani mulai menggulung lengan kemejanya ke atas. Lalu mengikuti langkah kakiku ke belakang.

"Mau apa?" tanyaku sadis ketika kulihat Dani mendatangi tempat cuci piring.

Dani tak menjawab, bahkan menoleh ke arahku saja tidak. Kampret! Dengan wajahnya yang datar dia mencuci semua piring makan. Lebih baik aku ke kamar mandi dan gosok gigi daripada melihat wajah Dani tanpa emosi.

"Ya ampun, Dani. Nanti bajunya kotor loh," kata Ibu ketika melihat Dani mencuci piring.

Di dalam hati aku berkata, 'Biasa aja kali, Bu. Cuma nyuci piring semua orang juga bisa.'

"Gak apa-apa, Bu. Saya sudah terbiasa." jawab Dani.

Ibu meninggalkan Dani lalu duduk di ruang tamu. Ku hampiri Dani.

"Apa-apaan sih, pakai nyuci piring segala? Biar dipuji Ibu ya," bisikku lirih pada Dani.

Dani tetap diam, seolah-olah tidak ada yang mengajaknya bicara. 

"Mendingan kamu nggak usah kesini deh kalau cuma membuat Ibu membandingkan aku dan kamu," kataku tajam.

Dani mengeringkan kedua tangannya, masih diam tanpa melihatku. Lalu bersiap berangkat ke kantor.

Hih, Bambang! Kamu pikir aku ini nyamuk? Ini yang aku benci dari Dani. Tiap aku marah, Dani selalu tenang, diam, dan tentu saja tidak menanggapi kemarahanku.

Aku menyusul Dani, hendak bersiap berangkat ke kantor. Kami berpamitan pada Ibu. 

Hujan masih mengguyur dengan deras. Dani membuka payung, lalu menggandengku dalam diam menuju mobil. Semarah atau sediam apa pun Dani, dia tetap peduli padaku.

Hujan ditambah pendingin udara dalam mobil menghasilkan kantuk. Dani masih terus diam sambil menyetir. Aku memejamkan mata dan sudah hampir terlelap ketika kurasakan tangan Dani menutup tubuhku dengan selimut.

Dani melanjutkan menyetir mobil. Pemberhentian lampu merah pertama, aku merasakan Dani mencium punggung tanganku disertai ucapan, "I'm still in love with you, Kania."

Beberapa kali tangan Dani mengusap rambut dan pipiku. Mendaratkan sebuah ciuman di rambutku lalu mobil berjalan kembali. Wah, rasanya aku tak jadi mengantuk. Jantungku berdesir aneh.

Masih ada tiga pemberhentian lampu merah lagi. Sekuat tenaga aku bertahan agar tak tertidur. Entah apa yang akan dibelai Dani selanjutnya.

Pemberhentian kedua. Dani membetulkan posisi selimut yang sedikit merosot. Kurasakan napas Dani di kulit wajahku. Sesuatu yang lembut menempel di bibirku.

Dani menciumku, tapi aku harus tetap memejamkan mata sambil menahan hatiku yang bergejolak. Mobil kembali berjalan, Dani kembali berekonsentrasi melihat jalanan.

Kuubah posisiku. Kali ini aku menghadap ke jendela, memunggungi  Dani. Menunggu reaksi Dani di lampu merah ketiga yang terkenal sebagai pemberhentian terlama. 

Pemberhentian ketiga, kudengar bunyi 'klik' lalu terdengar alarm seat belt. Sepertinya Dani ingin lebih dekat tanpa gangguan seat belt. Beberapa ciuman mendarat di leher dan bahuku.

"Aku kangen Love, kembalilah ke pelukanku. Aku tak peduli sekalipun Kamu dan Steve pernah tidur bersama," kata Dani kian mengiba disertai beberapa kali tarikan napas kasar.

Dani kembali memasang seat belt, mobil berjalan beberapa meter ke depan dan kembali berhenti.

Belum ada sentuhan apapun dari Dani. Hanya alunan lagu Beautiful in White mulai terdengar. Dani ikut bernyanyi dan kurasakan belaian di rambutku. Hingga akhir waktu pemberhentian dan mobil berjalan normal.

Pemberhentian lampu merah terakhir. Volume musik yang tidak terlalu keras, membuatku bisa mendengar perkataan Dani dengan jelas. 

Sambil mencium tanganku, Dani berkata,"Waktuku mungkin tinggal sedikit, Kania. Entah sampai kapan aku sanggup bertahan. Semoga aku masih sempat melihatmu berjalan dengan gaun pengantin. Kau pasti sangat cantik, Sayang," kata Dani, suaranya mulai serak.

'Deg!' Hatiku rasanya tak karuan. Sepertinya Dani menyembunyikan sesuatu. Maksudnya apa Dani berkata seperti itu. Mataku tetap terpejam, tapi telingaku mendengar Dani mulai menangis. Mobil kembali berjalan.

"Mungkin kau akan berjalan sebagai Nyonya Bregmann, Kania. Tak akan pernah sebagai pengantinku. Kenapa cinta sesakit ini, Kania?"

Dani mulai susah mengatur napas.

Rasanya saat ini mobil sedang berbelok ke arah kantor. Jika sebentar lagi kurasakan tikungan, itu artinya aku memasuki basement. Benar saja, kurasakan badan sedikit meliuk ke kanan. Posisiku ada di basement. Sebentar lagi Dani akan sibuk mencari tempat parkir yang kosong.

Mataku tetap terpejam, hingga kurasakan mobil berhenti sempurna. Aku belum berniat bangun, lebih baik aku menunggu Dani membangunkanku. Masih ingin mendengar keluh kesah dari Dani.

"Waktuku akan tiba, Kania. Jika ada sedikit keajaiban, aku ingin dikenang orang sebagai suamimu. Mati dipelukkan seorang Kania Wisnu Brata. Ya Tuhan .., aku sangat mencintaimu, Kania," kata Dani di sela tangisnya.

Dani mencoba meredakan tangisnya sendiri. Mendengar semua perkataan Dani, pertahananku nyaris runtuh. Susah payah aku mengatur emosi agar tetap terlihat seperti orang tidur.

Butuh sekitar 10 menit agar Dani kembali tenang. Napasnya pun sudah kembali teratur.

"Bangun Kania, waktunya kerja," kata Dani sambil menepuk pipiku.

Kukerjapkan mata sambil menyingkirkan selimut.

"Oh, sudah sampai," jawabku.

Aku turun dari mobil, sesekali kulirik Dani. Ekspresinya kembali datar, seolah tak terjadi apa pun. Begitu hebat Dani menutupi semuanya.

Kau memang tak pernah berubah Dani, selalu berusaha menelan kepedihan sendiri. Maaf, kali ini aku memaksa untuk berbagi denganku. Suka ataupun tidak, aku akan memakai caraku sendiri untuk membuka rahasiamu.

avataravatar
Next chapter