46 Hidup Baru

Angin pantai, daun palem melambai, air laut yang berkilauan. Matahari sudah berpindah ke arah barat, cahaya jingga menyapa dengan ramah.

Aku tersenyum berjalan sebagai seorang ratu sehari di atas rumput hijau. Pernikahan yang sempurna. Steve menantiku di ujung sana. Senyumnya mengembang tatkala aku melangkah perlahan mendekati dirinya. Steve terlihat tampan dalam jas berwarna putih. Dani, Beck, dan Dion berdiri tak jauh dari Steve. Tinggal selangkah lagi, posisiku ada di samping Steve.

Namun semuanya jadi kacau. Aku menjerit tatkala Steve roboh dengan peluru yang menembus dadanya. Matanya terpejam. Steve tak bernyawa.., Steveku pergi bahkan sebelum Ia sempat mengucapkan sumpah perkawinan.

"No Honey, don't leave me! No, don't leave me! Steve!" jeritku disertai tangis yang menyanyat.

Kurasakan tangan mengguncang bahuku.

"Love ... Love .., bangun," kata Dani.

Aku terlonjak. Keringat mengalir deras di tubuhku. Astaga mimpi yang mengerikan! Melihat Steve tumbang di depan mata dengan darah berceceran.

"Minum dulu, Love," kata Dani lembut. Tangannya mengulurkan segelas air.

Aku mengangguk. Duduk di sofa bed, meneguk air dari gelas yang disodorkan Dani.

Oh, aku ingat sekarang. Bahkan aku belum naik ke kamar tidurku. Aku tertidur di sofa bed setelah puas menangis dalam pelukan Dani. Mataku tertuju pada Dani yang kini kembali meringkuk di atas sofa bed.

Kuraih ponsel dan menatap petunjuk waktu di sudut kiri atas sebelum aku menekan kontak Steve.

Aku menatap wajah Steve yang kacau dari layar gawai.

"What?" tanya Steve dengan suara parau.

"Let me in, trust me I know what I do," jawabku.

Seketika Dani bangkit dari rebahan dan menatapku.

"No, Kania. I am sorry," jawab Steve lalu memutus sambungan.

Bibirku mencebik. Dengan kesal kulempar gawai ke sofa bed. Apa karena aku perempuan ya jadi Om bule enggak percaya? Ok, lihat saja nanti. Kalau Steve punya cara, aku juga punya.

"Steve benar, Love. Ini terlalu bahaya untukmu dan anak-anak," kata Dani.

"Haruskah aku membiarkan Steve sendirian? I love him, Dani!" kataku setengah berteriak.

"I know tapi kalau Kamu memaksa keadaan, itu egois, Love. Sama saja Kalian bunuh diri. Pikirkan Amanda, bayi yang ada di perutmu, Ibu, dan aku. Kamu pikir hidupku akan baik-baik saja melihatmu tersiksa, dikejar sana-sini?" tanya Dani. Walau bersuara lirih tapi nadanya penuh penekanan.

"But I am using You, Dani," kataku antara putus asa dan sedih. Sadar, ternyata tanpa Dani aku bukan apa-apa.

Dani tersenyum, "Mungkin aku memang tercipta untuk itu, Kania. Gunakan aku, pakai aku kapan pun Kamu mau."

Oh ya ampun, Dani! Aku tak percaya cintamu sehebat ini. Manusiakah dirimu?!

***

Four Season Bay menjadi saksi. Sabtu, kala matahari sudah berpindah ke arah barat, cahaya jingganya membuat air laut berkilauan. Aku berjalan di atas hamparan rumput hijau dan kelopak mawar yang bertebaran. Canon in D mengiringi setiap langkah.

Gaun pengantin dua puluh senti di atas lutut, punggung terbuka, belahan dada yang rendah, detail rumit pada desain menambah kesan glamor. Walau berkali-kali Steve memintaku mengganti model gaun tapi aku menolak. Menurut Steve, ini terlalu seksi, terbuka di sana-sini. But, I love to be sexy. Gaun ini membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Tak seorang pun boleh mengatur apa yang akan ku pakai di hari besarku.

Lalu tibalah saat sakral itu. Saat Kami menjawab I do dan sah sebagai suami istri. Sepasang cincin yang dibawa Amanda berpindah ke jariku dan Steve. Mendengar Steve mengucapkan sumpah perkawinan lalu semua tertawa karena sangat lucu, hal menarik yang akan selalu kurindukan.

"I promise to love You till the end of time since I realized that you were still standing strong when I am yelling at You in every single day."

Dasar Om bule tukang teriak. Oh my gosh, Steve! Kelakuan deh, hobi teriaknya sampai dibawa ke wedding vow. Giliraanku mengucapkan wedding vow. Bersiaplah mendengar, Steve.

"I am ready for a new journey, full surprise, stay strong for unexpected moment. Hearing when You start yelling then exploding in my every single day. Try to laugh when You say national word, stupid! I am gonna missed your word when you far away."

Steve tergelak mendengar ucapanku hingga wajah dan telinganya memerah. Saat itu kulirik Dani, Ia tertawa sambil menggeleng-geleng mendengar ucapanku.

Jauh di dalam hatiku, ada sebuah ucapan maaf untuk Dani. Terlebih ketika Steve menciumku. Duh, seperti apa ya perasaan Dani? Eh, kenapa aku jadi kepikiran Dani, bukankah sekarang aku sudah resmi jadi Nyonya Bergmann?!

***

Delapan belas hari setelah pernikahan.

Aku masih ingat kejadian seusai makan siang, di halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan. Aku, Dani, dan Beck berada di dalam mobil yang sama. Dion bersama Maya. Steve bawa mobil sendiri.

"Kania," Om bule memanggilku. Tumben namaku disebut. Biasanya Om bule memanggilku dengan kata Honey.

Aku menoleh, berjalan mendekati suamiku.

"Apa?" tanyaku.

Steve memeluk dan menciumku. Memelukku erat dan lama hingga Beck, Dion, dan Maya berkomentar.

"Ah elah, timbang balik ke kantor doang, Bergmann. Peluknya jangan lama-lama. Ada yang ngenes loh," ucap Beck.

"Iya tahu, baru married dua minggu. Masih panas-panasnya tapi hargai perasaan rival yang kalah dong," timpal Dion.

"Bos Dani yang sabar ya," ucap Maya.

Steve melepas pelukannya, berjalan mendekati Dani, berbisik di telinganya. Lalu mereka saling berpelukan. Aku tak dapat melihat ekspresi Steve karena membelakangiku. Aku hanya dapat melihat Dani yang memeluk Steve dengan mata terpejam. Mata Dani basah ketika terbuka.

"Wah pemenang sama rival pelukan nih. Enggak pakai nangis kali, malu sama umur woi," kata Beck.

Steve dan Dani tak menanggapi celotehan anak kantor. Perasaanku mulai tak enak. Ada apa ini? Apa yang Steve bisikkan di telinga Dani?

***

Pukul tiga sore, gawaiku berdering ketika aku dan tim sedang meeting. Nomor yang tidak kukenal.

"Angkat saja Love, siapa tahu penting," kata Dani.

Aku mengangkatnya dan sebuah berita yang mengubah hidup dan statusku. Mobil Steve ditemukan terbakar dan menabrak pembatas jembatan. Mereka masih mencari keberadaan Steve yang diperkirakan jatuh ke jurang.

Aku menjerit dan menangis histeris. Tak sanggup mendengar kata selanjutnya. Dengan sigap Dani menyambar tubuh dan gawaiku.

Langit seakan runtuh. Jadi tadi siang adalah peluk dan cium yang terakhir dari seorang Steve Bergmann, suamiku. Kenapa ... kenapa sebentar sekali Ia menemaniku. Kenapa?!

"Kenapa suamiku harus pergi dengan cara seperti ini? Kenapa?!"

Aku meraung dan menjerit. Tak bisa kubayangkan Amanda dan bayi dalam perutku menjadi seorang yatim.

***

Hari ke-4 setelah kecelakaan naas itu, sebuah peti jenazah dengan tulisan don't open berada di ruang tamu.

Jenazah Steve rusak parah. Selain hangus, terdapat patah tulang karena jatuh ke jurang. Jenazahnya tak dapat dikenali. Satu-satunya petunjuk yang masih tersisa, cincin pernikahan yang melekat di jari walau tak utuh.

Secepat itu Ia meninggalkanku, anak-anak dan juga semua yang mencintainya. Siang yang muram saat aku berjalan di belakang peti jenazah suamiku. Dani mendorong kursi roda Amanda. Sementara Ibuku menggandeng Ibu mertua.

***

Malam pertama aku tidur tanpa suami. Tubuhku lelah. Aku memasuki kamar dengan perasaan yang bercampur aduk.

'Eh, apa itu di atas nakas?' tanyaku pada diri sendiri.

Tatapanku tertuju pada sebuah origami berbentuk rumah-rumahan. Bentuknya sama seperti surat yang Steve berikan padaku ketika di Singapura. Perlahan, kubuka. Oh astaga, ini tulisan tangan Steve. Kubaca isi suratnya.

"Everything will gonna be alright. Don't you cry, don't be sad. Marry Dani, my children need a complete parental figure."

Kulirik tanggal surat, tertulis hari ini. Aku segera mengecek rekaman cctv. Astaga!

Jadi siapa yang dimakamkan siang tadi?

Tamat.

****

avataravatar