7 Dani Wibisono

Minggu yang menyebalkan. Aku terjebak di sini bersama beberapa manusia lain dan merasakan bahwa stres itu nyata menyiksa. Di depanku, laptop menyala, menyajikan data yang membuat pelipisku berdenyut. Aku melirik Beck, Dion, beberapa peserta lain. Kami semua terlihat kacau. 

Sementara para pelatih sibuk berkeliling, memantau pekerjaan kami. Beberapa kali aku terkena teguran. Kalau sudah begini, tak bisa kubayangkan hasil dari pelatihan ini. Asalkan lulus, aku tak keberatan jika nilaiku berbunyi C. Kalau sampai tak lulus, aku harus siap-siap tak dapat promosi jabatan dan mungkin tak ada perpanjangan kontrak. Dalam hati kuberdoa, otakku tak separah itu.

Lima belas menit lagi, sebelum para pelatih mengusirku keluar. Apa yang terjadi jika kutekan tombol sakti ini? Terserah, aku sudah capek. Apa pun yang ditampilkan aku sudah pasrah. Sebentar .., aku mau lihat Beck dan Dion dulu sebelum menekan tombol. Beck masih di ruangan, tapi Dion mungkin sudah menyelesaikan tugasnya. Baiklah, sekarang saatnya kutekan. Lalu kutinggalkan ruang itu. Soal hasil bukan urusanku lagi.

Saatnya mencari udara segar. Istirahat satu jam sebelum memasuki sesi 2. Steve sedang apa ya? Segera kubuka gawaiku, sepi, tak ada pesan. Ah, kirim pesan ke Dion saja. 

[Dion, tadi bisa nggak ngerjakan pelatihan?]

Sambil menunggu balasan, aku berjalan menuju taman hotel. 

[Nggak bisa. Diem, jangan bawel! Aku lagi sakit perut.] Balas Dion.

Wah, Dion stres. 

Beck sudah selesai belum  ya? Gantian kirim pesan ke Beck.

[Beck, bisa ngerjakan?]

Langsung direspon Beck.

[Gila nih yang bikin soal! Dia pikir kita bukan manusia kali. Eh bilang tuh sama pacarmu, kalo buat sistem yang masuk akal.]

Wah, Beck juga sama saja. Loh Steve ikut andil buat sistem, baru tahu.

[Emang Steve ikutan tim?]

Balasan Beck bikin aku tertawa.

[Ke laut aja dah! Punya pacar kok nggak tahu apa-apa. Bulan kemarin Steve dua minggu di Singaura, emang ngapain? Main congklak?]

Kok jadi pada sensitif sih abis pelatihan. Mungkin harus cek tekanan darah setelah pelatihan.

Akhirnya aku belok ke resto hotel, batal ke taman. Segelas cokelat dingin cocok menemaniku. Santai sambil dengar musik.

Ternyata waktu satu jam itu singkat. Rasanya baru saja duduk di kursi empuk, aku sudah harus kembali ke ruangan untuk sesi kedua, ujian.

Kutatap wajah para peserta. Sesi kedua, banyak wajah lelah yang bermunculan. Kalau wajahku sih lebih tepatnya masa bodoh. Kalau bisa aku kerjakan, kalau buntu ya sudah relakan saja, paling nanti kalau hasilnya jelek, dimarahi sama bos baru. Rugi bandar kalau aku mikir sampai gila.

Bagiku, semua sudah kuselesaikan dalam waktu dua jam. Bosan berada dalam ruangan ini, tapi mana boleh keluar ruangan. Kugeser komputer jinjing ke tengah meja. Aku mau tidur, kepalaku pusing. 

Kutelungkupkan wajahku di pinggir meja. Suara orang mengetik, tekanan tombol, bunyi klik pada mouse seperti instrumen pengantar tidur.

Aku terlonjak tatkala kurasakan seseorang menepuk-nepuk bahuku. Seorang pengawas sudah berdiri di belakangku.

"Already done," kataku dengan suara serak. Ciri khas orang bangun tidur. Pengawas itu segera mencatat pengenalku. Untuk sementara, aku disuruh menunggu di luar ruangan.

Duduk di atas karpet hotel, melanjutkan tidur dalam posisi duduk.

"Kania Wisnu Brata ...." Namaku dipanggil tiga puluh menit kemudian. Dengan malas aku menghampirinya.

Aku kembali bergabung dengan tim. Laptop sudah dalam keadaan mati. Para peserta sudah merapikan mejanya. Sementara aku, baru memasukkan laptop ke dalam tas.

Seperti bocoran info Beck, acara selanjutnya adalah perkenalan. Eh, ada Steve. Wah, dia pamitan juga pada tim ini. Cuma ada Steve yang memasuki ruangan. Steve menyampaikan beberapa patah kata. Aku tidak mendengarkan. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

Di saat Steve bicara di depan, seorang pria memasuki ruangan. Rasanya aku tak bisa mempercayai apa yang kulihat.

'Duh Gusti ..., cobaan apa lagi ini? Kenapa orang ini muncul di hadapanku?'

Ternyata benar, Dani Wibisono yang kukenal, saat ini sedang berdiri di sana berdampingan dengan Steve Bregmann.

Sambil menunggu kesempatan bicara, Dani mulai memperhatikan para peserta satu per satu. Aku menundukkan wajah, menyamarkan wajahku. Tentu saja, aku bodoh. Seorang Dani sangat mengenalku dengan baik. Bahkan dengan mata tertutup sekalipun.

Giliran Dani bicara, semua mata perempuan dalam ruangan itu tertuju ke arahnya. Wajar sih, dengan wajah tampan seperti itu. Sementara aku, sibuk menghitung ubin, memperhatikan corak sepatu Beck, atau melihat-lihat katalog hotel. Selama sepuluh menit mereka bicara di depan, sebelum akhirnya pelatihan resmi ditutup.  

Hal yang paling menyiksaku di akhir acara, bersalaman dengan Dani. Mata itu melihatku dengan penuh luka yang terpendam. Entah apa yang akan Tuhan ujikan untukku. Di saat aku menata diri yang baru bersama Steve Bregmann, Dani muncul di hadapanku. Padahal sudah bertahun-tahun Dani hidup di Jerman. Siapa sangka sekarang Dia berdiri di ada depanku.

Aku melakukan kesalahan besar delapan tahun yang lalu. Ketika Ayah mengirimku belajar di Jerman. Dengan kemampuan bahasa asing yang mengerikan, aku terpaksa menjalani semuanya. Asal Ayahku senang.

Di semester pertama, rasanya ingin bunuh diri. Nilaiku hancur. Aku tak mengerti dosenku bicara apa. Di saat itulah, aku mencari tutor privat untuk membantuku. Seorang teman mengenalkanku pada Dani, seorang mahasiswa semester akhir yang sudah lama tinggal di Jerman.

Bermula menjadi tutor privat hingga kami jadi dekat lalu tinggal bersama. Timbal baliknya, nilaiku membaik, bahkan bisa lulus.

Saat aku lulus, Dani sudah bekerja, walau karirnya belum sehebat sekarang. Dia mengajakku menikah, tapi entahlah hubungan Kami terlalu rumit.  Sebenarnya aku juga mencintainya. Ada banyak hal rumit yang membuat Kami bertengkar hingga puncaknya, aku minggat.

Setiap hari, Dani mengirimiku pesan.

[Kunci rumah masih berada di tempat yang sama, jika Kau berubah pikiran, Sayang.]

Atau mungkin pesan romantis lainnya.

[Rumah ini terlalu besar untuk kutinggali sendiri, Kania.]

Suatu malam, aku terbangun karena terkejut. Dani mengirimiku pesan

[Katakan, di mana letak kesalahanku. Akan kuperbaiki, jika itu bisa membuat kita kembali bersama.]

Hingga akhirnya dua tahun yang lalu, Ia berhenti mengirim pesan. Mungkin dia sudah menikah. Ternyata sampai saat ini Dani belum menikah dan itu seperti menyeretku ke dalam rasa bersalah.

avataravatar
Next chapter