11 Bos dan Rahasianya

Semua gara-gara tragedi cincin berlian pagi tadi. Steve masih kesal padaku. Sudah hampir jam makan siang di kantor, tapi Steve belum mengirimkan pesan cinta di gawai. Apalagi sekarang kita berdua beda kantor. Duh, sepi hidupku tanpa teriakan Steve.

"Kania ...." Maya menepuk pundakku.

Aku menoleh. Dari tadi pagi, para kaum hawa di kantor ini seperti terbius oleh ketampanan Dani begitu bersemangat ketika ada makan siang bersama Dani.

"Nanti mau gabung pakai mobil kantor atau setir sendiri?" tanya Maya.

"Males, gak berangkat kayaknya. Pengen tidur di kantor," jawabku.

"Ah, mentang-mentang udah gak ada Steve ya? Gabung aja kenapa sih? Bos baru kita cakep tau," kata Maya sambil melirik ke ruangan Dani.

"Setir sendiri aja deh," kataku.

Kembali kupandangi layar gawai. Mau kirim pesan duluan, takut. Takut ketahuan kalau lagi kangen. 'Please Steve, bikin mood aku naik dong,' kataku dalam hati.

Baru sekitar 5 menit, gawaiku bergetar. 'Hore,' kataku dalam hati. Steveku mengirim ajakan video call.

"Hi Honey," sahutku.

Steve tersenyum, dengan wajah orang baru bangun tidur.

"Miss you so bad, Kania," kata Steve.

Langsung semangatku naik 80 persen. Steve sudah tak marah.

"Sepi nggak ada teriakan kamu, Steve. Ntar malem nonton yuk,' ajakku.

Steve mengangguk dan tersenyum. Aku merona melihat tubuh bagian atas Steve yang tak memakai kaos.

"Honey, aku mau makan siang. Sampe nanti ya. Love you."

"Ok. Love you, Kania," sambil mengirimkan ciuman buatku lalu sambungan terputus.

Steve memang paling bisa membuatku bersemangat.

***

Saat makan siang tiba, Dani duduk di antara para 'single ladies.' Mereka semua berusaha jadi teman bicara yang asyik buat Dani. Aku duduk di satu deret dengan Beck dan Dion. Merasa nyaman saja duduk di sekitar mereka. 

"Kania ...." Suara Beck terdengar sedikit berbisik. Matanya mengisyaratkan sesuatu.

"Apa," jawabku lirih.

"Ini cuma perasaanku atau apa ya ...." Beck mulai lihat kanan kiri. Aku makin penasaran.

"Apa sih?" desisku lirih.

"Kayaknya Dani dari kemarin suka liatin kamu deh. Steve bakal dapet saingan nih." Fix, saat itu aku merasa Beck memang tak cocok jadi progammer.

"Ah, kamu jangan ngaco," jawabku.

"Bukan cuma aku, Dion juga ngerasain yang sama." Tangan Beck mencolek bahu Dion. Seketika Dion menoleh ke arahku dan Beck.

"Nih, kita buktiin," kata Dion.

Ternyata, walaupun Dion diam tapi telinganya mendengarkan aku dan Beck.

Kami bertiga melihat ke arah Dani. Saat itu Dani tertangkap basah sedang melihatku.

"Ini udah yang ke seratus kali mungkin." Beck berkata.

"Wah, kasus. Katanya belum bisa move on. Kok sekarang malah ngelirik kamu, Kania," sahut Dion.

"Udah ah, ngaco!" kataku sambil mencebik.

Sebenarnya, aku juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, aku memilih tak acuh. Aku takut untuk mengakui kesalahan, kebodohan, atau apa pun. Aku tahu, aku yang salah tapi itu sudah beberapa tahun yang lalu. Itu masa laluku. Tak kusangka, masa laluku kembali datang untuk menuntut sebuah penyelesaian.

Haruskah aku datang pada Dani dan berkata, "Maaf?"

Lebih tepatnya, "Maaf, mari kita lupakan semuanya." Semudah itu?

Yang benar saja! Aku sudah sangat mengacaukan hidupnya, lalu tiba-tiba minta semua beres dengan bermodal kata maaf.

'Oh Kania, betapa bedebahnya dirimu!' rutukku pada diri sendiri. Lalu aku harus bagaimana Bambang untuk menyelesaikan semua ini? Hih!

***

Ketika kembali ke kantor, jalanan begitu ramai. Di mobilku ada Beck, Dion, dan Maya. Beriringan dengan mobil dinas kantor di depanku. Dani ada di dalam sana, bersama beberapa teman. 

Aku menyetir mobil. Di sebelahku Beck, sementara Maya dan Dion di belakang. Saat itu kita sedang berhenti di lampu merah.

"Duh, yang pdkt di belakang. Jangan diem aja dong," kataku.

Beck tertawa, "Udah jadiin aja, ngapain nunggu lama-lama."

Maya mencubit lenganku dari belakang. Wajahnya mulai memerah.

"Cie, ada yang malu." Aku makin bersemangat menggoda.

"May, jadian yuk. Aku dah lama nungguin kamu nih. Sama aku ajalah May yang udah jelas cinta ma kamu," rajuk Dion.

Aku dan Beck tergelak. Sementara Maya wajahnya makin merah.

"May, jawab dong ah!" godaku.

"Iya," jawab Maya yang akhirnya luluh juga oleh perjuangan Dion selama tiga tahun.

Wah, di luar dugaan. Maya menjawab perasaan Dion di mobilku.

"Makan-makan," kata Beck.

"Kita saksi sejarah, Beck!" kataku sambil tertawa bahagia.

Saat itulah dari arah belakang sebuah mobil minibus menghantam bagian belakang mobilku. Sementara mobilku, menghantam mobil kantor di depan. Kututup mataku untuk menghindari pecahan kaca mobil yang berhamburan.

Aku sempat mendengar jeritan Maya di kursi belakang. Mobilku bergoncang lumayan keras. Ketika guncangan reda, sambil mengatur napas aku melirik ke kursi belakang. Dion yang memeluk Maya seperti berusaha melindungi Maya agar tak terkena pecahan kaca. Mereka berdua hanya terkejut di belakang. Beck juga sama. 

Aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku di luar. Dengan gemetar, kubuka pintu mobil. Otakku masih memproses apa yang baru saja terjadi. Kakiku rasanya lemas saat keluar dari mobil. Dani memelukku. Sesaat aku bahkan tak mengerti Dani bicara apa. Aku hanya menutup mataku dan menangis ketakutan di dadanya.

"Love ..., love ..., lihat aku, sadar Kania! Itu cuma mobil yang penting kamu selamat, Love." Dani menepuk-nepuk  bahu dan punggungku.

Aku memberanikan diri menoleh ke belakang, melihat mobilku. Rusak berat. 

"Dani ..., mobilku ...."

Dani menggenggam tanganku yang masih dingin.

"Love ..., yang penting kamu selamat. Masalah mobil nanti kita pikirin sama-sama," kata Dani sambil tersenyum.

Dani menuntunku ke tepi jalan. Rasa terkejutku berangsur-angsur hilang. Terlebih lagi ketika Dani menyodorkan botol minuman. Setelah beberapa tegukan, otakku mulai mampu mencerna keadaan dengan baik.

Aku melihat sekeliling. Mobilku baru saja diparkir di pinggir jalan agar tak mengganggu lalu lintas. Sayup-sayup, kudengar suara Dani, Beck, dan Dion bernegosiasi dengan orang yang menabrak mobilku.

Aku menyeret kaki, hendak mengambil gawai dan tasku tertinggal di mobil.

"Kania, ini tas sama hp Kamu," sahut Maya. Ternyata Maya sudah mengamankan barang milikku.

"Makasih, May." kataku pendek.

"Kania, kamu pucat. Duduk aja gih, kamu masih shock gitu," kata Maya.

Aku mengangguk lalu duduk di samping Maya.

"Kania ..., maaf, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Maya.

Aku mengangguk.

"Sebenernya hubungan kamu sama Pak Dani itu apa? Maaf kalau aku lancang. Tadi waktu aku minta tanda tangan ke bos, aku nggak sengaja lihat laptop bos. Di sana ada fotomu sama bos Dani, seperti foto pre-wedding," katanya kemudian.

Oh ya ampun, tamat riwayatku!

"Tadi bos Dani juga berkali-kali manggil kamu dengan sebutan Love. Kita semua yang ada di tempat kejadian denger loh Kania. Maaf Kania, kalau aku lancang," kata Maya.

Aku menarik napas panjang dan menutup mataku. Pasti habis ini Beck dan Dion juga akan bertanya hal yang sama. Siapkah aku mengakui semuanya?

avataravatar
Next chapter