20 Tahu Batasan

Liburan telah usai, saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya. UJIAN!!

Setelah enam hari full libur tanpa memikirkan pelajaran sama sekali, Farani merasa otaknya seperti mendapat penyegaran.

"Kayanya liburnya kelamaan, otak gue rasanya hampir kosong nih." beberapa buku yang niatnya akan dibaca malah menjadi alas kepala Farani.

"Iya, gue belum bisa move on dari Bali. Ngebayangin gadis pantai yang pada pake bikini bikin pengen tinggal disana aja." seketika Raffi mendapat tatapan menusuk dari Lulu dan Farani.

"Dasar mesum!" Lulu lalu membereskan bukunya dan beranjak meninggalkan Raffi. "Ayo Dek kita pergi, nggak baik lama-lama sama orang mesum."

Mengikuti Lulu, Farani segera meninggalkan Raffi yang masih berkhayal tentang beberapa gadis di pantai.

"Hei kalian mau kemana? Jangan pergi sembarang, nanti gue dimarahin sama Fareza." dan Raffi pun akhirnya mengikuti dua sahabat itu keluar dari ruang tengah rumahnya.

Angin sepoi membelai rambut Farani, memberikan rasa sejuk yang membuai. Halaman belakang rumah Raffi memang banyak pohon mini, semuanya ditaman dalam pot. Juga beberapa jenis bunga yang beraneka ragam, membuat mata serasa dimanjakan oleh warna-warni bunga yang bermekaran.

"Gimana pengumumannya?" suara Raffi mengagetkan Farani yang sedang melamun.

"Hah? Oh itu. Oke, nama gue kecantum."

"Wah selamat ya, akhirnya jadi mahasiswa juga." duduk di sebelah Farani, Raffi menyilangkan kakinya.

"Lo sendiri gimana?"

"Berita bagus juga, gue keterima." terlihat bangga dengan dirinya sendiri, Raffi membusungkan dadanya.

"Kapan berangkat kesana?"

"Setelah musim panas disana. Sekitar tiga bulan lagi."

Pembicaraan Farani dan Raffi memang terdengar biasa, tapi penuh dengan makna. Raffi memilih untuk kuliah ke luar negeri, tepatnya di Paris. Sejak dulu, dia bercita-cita untuk kuliah disana. Dan keputusannya itu di dukung penuh oleh kedua orangtuanya. Meski itu berarti mereka akan terpisah lebih jauh stu sama lain.

Berbeda dengan Farani, dia hanya berani bermimpi untuk kuliah di dalam kota saja. Bahkan dia tidak pernah memikirkan untuk kuliah di ibukota atau keluar negeri. Mungkin karena dia anak bungsu yang sering dimanja membuatnya enggan berpisah dengan kedua orangtuanya.

"Good luck. Semoga nggak sia-sia usaha lo selama ini."

Dengan diterimanya Raffi di Paris, otomatis mereka bertiga akan berpisah. Lulu yang juga sudah berencana melanjutkan kuliah di Australia juga sudah mendaftar di beberapa universitas. Disana Lulu akan hidup bersama dengan Mamanya.

"What a perfect life!" kehadiran Lulu membuat mereka berdua menjauh, memberikan ruang untuk Lulu duduk. "Jangan pernah lupain gue ya guys, walopun kita terpisah jauh."

Menyadari semakin dekatnya waktu mereka untuk berpisah, Farani dan Lulu saling berpelukan. Air mata yang tak pernah diharapkan mengalir membasahi pipi mereka.

"Hei nggak usah lebay gitu deh. Toh masih bisa video call-an kan." Raffi merasa aneh dan kikuk melihat tingkah dua sahabat itu. Sebegitu berartinya mereka satu sama lain.

Setelah puas berpelukan, Farani dan Lulu segera kembali ke ruang tengah untuk kembali belajar. Dengan bantuan Raffi, Lulu dan Farani belajar lebih giat lagi. Diantara mereka bertiga, Raffi memang yang paling pintar. Tidak heran jika dia mampu lolos seleksi masuk ke universitas di Paris.

Pukul 15.00 WIB.

Fareza menelepon Farani untuk menanyakan dimana keberadaannya. Ini hari Minggu, dan besok dia akan ujian nasional hari pertama. Begitu Farani menajawab bahwa dirinya berada di rumah Raffi, Fareza langsung menuju rumah Raffi.

Di rumah Raffi, Farani dan Lulu sedang beristirahat di kamar yang disediakan untuk Farani. Iya, ini memang rumah Raffi, tapi Farani juga mendapatkan perlakuan spesial berupa kamar khusus untuknya. Alasan Mama, "Biar nanti kalo adek mau nginep disini tuh gampang."

"Udah mau pulang?" tanya Raffi saat melihat Fareza memarirkan mobilnya di halaman depan.

"Nggak, cuma Bunda nyuruh ngecek aja."

"Gue mau tanya sesuatu nih. Kita ngobrol di lapangan basket aja." Fareza mengangguk, lalu mengikuti Raffi menuju lapangan basket di samping rumah.

"Adek punya pacar ya?" Raffi to the point.

"Setau gue sih nggak, kenapa?"

"Sita?"

Mendengar nama itu disebut, Fareza sedikit kaget. Dia tidak bisa menyangkal bahwa salah satu dari mereka memiliki rasa suka, tapi dia belum memastikan bagaimana kelanjutannya. Apalagi sejak Sita membawa Farani dan berkata bahwa mereka pacaran.

"Itu yang bikin gue bingung."

"Karena dia temen lo?"

"Bukan." menghela napas, Fareza lalu menyalakan rokoknya. Sesuatu yang tidak pernah dia berani lakukan kalau di rumah. "Nggak ada yang salah sama Sita, tapi gue nggak mau adek terlalu deket sama dia."

"Menurut lo, apa adek suka sama Sita?"

Mengangkat bahunya, Fareza menjawab, "Iya, mereka kayanya punya perasaan yang sama. Kenapa?"

Raffi terdiam sejenak. Dia merasa tidak yakin harus melanjutkan pembicaraan ini atau tidak. Kalau dilanjutkan, jelas dia akan mengungkapkan perasaannya ke pada Fareza tanpa sadar.

"Tiga bulan lagi gue ke Paris, gue bakal kuliah disana. Gue berharap ada seseorang yang bakal ngejaga Farani selama gue nggak ada disini. Gue yakin, lo juga pasti akan sibuk sama kerjaan."

Fareza memahami apa yang dimaksudkan oleh Raffi. Dirinya pun juga memikirkan hal yang sama. Siapa yang akan menjaga adiknya setelah dia bekerja di luar kota? Raffi memang menjadi harapannya, tapi dengan fakta bahwa Raffi akan keluar negeri untuk kuliah membuat Fareza kebingungan.

"Itu juga yang gue pikirin." keduanya berbarengan menghela napas.

*

Setelah makan malam selesai, Farani yang dibebastugaskan dari mencuci piring langsung beranjak ke kamarnya. Berusaha fokus untuk ujian besok, dia membuka ulang buku catatan dan buku yang diberikan oleh Raffi.

"Tuhan, semoga besok aku bisa mengerjakan semua soalnya." terdengar sedikit putus asa, Farani membolak-balik bukunya.

Tok tok tok.

"Boleh abang masuk?" kepala Fareza menyembul dari balik pintu kamar Farani.

"Nggak usah sok manis. Biasanya juga langsung masuk tanpa ijin juga."

Fareza menganggap omelan adiknya itu sebagai isyarat bahwa dia boleh masuk ke kamarnya. Setelah meletakkan secangkir coklat panas di meja belajar Farani, Fareza lalu duduk di kasur Farani.

"Gimana kabar Sita?" Fareza membuka pembicaraan.

Mendengar nama Sita disebut. Farani sedikit kaget. "Maksudnya?"

"Pas lo di Jakarta, Sita ngirim chat. Dia bilang lo lagi main sama Dia. Jemput adeknya sekolah sama main ke rumahnya."

'Serius?' Farani membatin, tidak berani menatap mata kakaknya. Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Farani mempunyai keberanian untuk menjawab.

"Dia baik-baik aja. Kenapa lo nggak nanya sendiri ke orangnya?"

"Kenapa lo nggak cerita dari awal?" Fareza menjawab pertanyaan Farani dengan pertanyaan balik.

Sambil memainkan pensilnya, Farani menjawab. "Gue pikir sejak insiden itu, hubungan kalian nggak baik. Dan kalo gue sebut namanya, gue pikir itu bikin lo marah."

"Awalnya gue juga mikir gitu. Tapi setelah ngeliat dia kek gimana ke lo, gue pikir dia nggak seburuk itu."

Farani tidak bisa menebak apa yang dipikirkan oleh kakaknya itu. Kadang dia akan marah, meluapkan emosi bagai gunung meletus, tapi kadang dengan mudahnya dia berubah pikiran dan pendiriannya menjadi kalem dan dewasa.

"Abang sehat kan?" kecurigaan Farani beralasan. Jelas sesuatu telah terjadi pada kakaknya itu.

Mendengar perkataan adiknya, langsung Fareza menarik rambut adiknya yang panjang itu. "Gue serius tau."

"Auch, sakit tau." sambil memegangi rambutnya yang sedikit kusut, Farani memasang wajah memelas. "Sumpah, lo nggak kek biasanya tau Bang."

"Iya, gue mikir. Setelah gue pindah ke Samarinda, trus Raffi ke Paris, Lulu ke Aussie. Lo mau sama sapa?"

"Sama Ayah sama Bunda."

avataravatar
Next chapter