53 Seperti Mimpi Buruk

Pagi ini, semua orang memulai aktifitasnya dengan sarapan.

Kelas siang yang diambil Farani membuat gadis itu santai untuk sejenak. Alasan lain kenapa Farani memutuskan untuk berangkat di kelas siang adalah untuk mengantarkan Lulu. Iya, hari ini Lulu akan kembali Negeri Kanguru untuk melanjutkan kuliahnya.

Koper yang akan di bawa Lulu sudah masuk ke mobil, siap angkut ke bandara. Dan beberapa cemilan buatan Bunda juga sudah masuk ke dalam ransel. Tinggal Lulunya yang masih santai mengenakan piyama dan menikmati sarapannya.

"Tenang aja, gue kalo mandi cepet. Nggak nyampe 5 menit." Kata Lulu sambil berjalan ke kamar Farani.

Ayah sudah berangkat kerja sedari tadi, Bunda sedang sibuk di dapur dibantu Farani. Menengok keadaan rumah yang sepi, bisa dipastikan Fareza belum pulang. Meski begitu, Farani tidak berani membahas kakaknya yang belum kembali sedari kemarin.

Penerbangan Lulu jam 1 siang dan sekarang baru pukul 10, jalanan sedikit sepi karena bukan jam sibuk. Dengan kecepatan sedang, keduanya akan sampai di bandara satu jam kemudian. Benar saja, saat kedua gadis itu sampai di parkiran bandara, waktu menunjukkan pukul 11 siang.

"Nggak usah nganter, takutnya lo telat masuk kelas." Begitu kata Lulu saat Farani akan keluar mobil.

"Nggak papa, masih ada waktu kok." Farani melepas seatbelt dan keluar.

Sinar matahari yang terik membuat keduanya memilih menunggu keberangkatan Lulu di dalam kafe bandara.

Ternyata bukan hanya Farani yang akan mengantarkan kepergian Lulu kali ini. Dari kejauhan tampak Raffi berjalan ke arah keduanya dengan santai. Karisma Raffi yang lain daripada yang lain langsung menarik perhatian beberapa orang.

Meski hanya memakai celana jeans dan kaos, Raffi tetap terlihat mempesona. Paling tidak, begitulah pendapat Mama yang selalu memuji ketampanan putra tersayangnya itu.

"Kok lo kesini?" tanya Farani heran.

"Gue yang ajak, biar nanti kalo lo nangis ada yang pukpuk." Jawab Lulu sambil menyeruput minumannya.

Farani memanyunkan bibirnya, tanda tidak setuju dengan pemikiran Lulu. Meski begitu, Farani hanya bisa iklas menerima kehadiran Raffi. Lalu ketiganya melewatkan waktu tunggu dengan segala rencana indah untuk melewatkan liburan yang akan datang.

Ketika tiba saatnya untuk berpisah, Lulu dan Farani saling berpelukan erat. Setahun yang lalu mereka juga mengucapkan perpisahan, tapi kehadiran keduanya yang hanya beberapa hari membuat mereka lebih dekat. Dan perpisahan ini terasa berat.

"Jangan lupa kasih kabar. Jangan pacaran mulu." Ucap Lulu melepas pelukannya.

Farani mengangguk. "Jaga kesehatan, jangan pacaran mulu."

Keduanya berusaha tegar untuk tidak meneteskan air mata. Dua sahabat itu terkenal dengan gengsinya, jelas Raffi bisa melihat kelakuan mereka yang sedikit aneh. Tapi keduanya tetap adalah sahabat yang akan selalu mendukung walaupun terpisah jarak yang cukup jauh.

Setelah Lulu menghilang dibalik pintu, air mata Farani menetes.

"Mau gue peluk?" Raffi berusaha menghibur sahabatnya itu.

"Nggak ah, gue kan strong." Lalu Farani berjalan mendahului Raffi.

Meninggalkan Raffi yang masih sedikit syok dengan penolakan Farani barusan.

Hanya dengan beberapa langkah, Raffi berhasil menyusul Farani. "Gue sakit ati tau ditolak kek gitu."

Melemparkan pandangan tajam ke arah Raffi, Farani tak berkomentar apapun tentang pernyataan Raffi. Meski masih merasa sedikit sedih dengan perpisahannya dengan Lulu, Farani mau tidak mau tersenyum mendengar Raffi yang sudah mengeluarkan ekspresi imutnya itu.

"Iya iya, sini gue peluk."

"Lah kok malah gue yang dipeluk? Kan lo yang lagi sedih."

"Nggak papa, buat hiburan aja biar lo nggak sakit ati lagi,"

Setelah sampai di parkiran, keduanya berpisah. Farani ke kampus untuk menunaikan kewajibannya sebagai mahasiswa,menghadiri kelas yang sudah dia tunda dipagi harinya. Raffi pulang ke rumah karena memang tidak ada kegiatan yang berarti.

Saat akan menjalankan mobilnya, tiba-tiba telepon Raffi berdering. Telepon dari Fareza.

"Halo, Za, ada apa?"

"Lo dimana?" suara Fareza tidak terdengan baik.

"Gue lagi mau jalan balik, abis nganter Lulu ke bandara."

"Sama Adek?"

"Iya, tapi gue pake mobil sendiri. Farani ada kuliah, jadi langsung balik kampus." Terang Raffi. "Gimana?"

"Ke rumah sakit sekarang." Lalu Fareza menutup sambungan teleponnya.

Sedikit heran dan penasaran dengan kelakuan Fareza, Raffi tetap menuruti perkataan Fareza.

*

Fareza menunggu kedatangan Raffi.

Dia duduk di ruang tunggu yang ada di luar pintu masuk ke bangsal. Disana, Fareza sedikit gemetar dan berkeringat. Beberapa saat yang lalu menjadi momen yang paling berat dalam hidupnya yang baru saja dilaluinya. Penantian 20menit terasa berjam-jam yang dirasakan Fareza.

"Gimana, Za?" suara Raffi terdengar.

Fareza mengangkat kepalanya yang sedari tadi terasa berat. Tatapan kosong itu terasa seperti lubang yang bersiap akan menelan Fareza dan Raffi kedalam.

"Sita." Hanya itu yang terucap.

Papa Sita yang berdiri tak jauh dari pintu kamar. Wajah yang terlihat lelah dan kurang tidur terpampang di wajah Papa Sita. Tak ada kata yang terucap saat Papa Sita melihat ke arah Raffi. Fareza yang terduduk kembali membenamkan kepalanya dan terlihat menangis. Suaranya tertahan, seolah tidak ingin orang lain mendengar tangisannya.

Dengan sedikit dorongan, Raffi berjalan ke arah kamar Sita. Di dinding kaca itu, tak tampak wajah Sita yang sudah beberapa waktu mengisi ruangan itu. Digantikan oleh kain putih yang menutupi sesosok tubuh di ranjangnya.

Raffi tidak bisa melanjutkan langkahnya. Pikirannya langsung tertuju ke arah tubuh yang telah ditutupi kain dan juga terbang melayang ke Farani. Kepalanya terasa berat, dan sekarang dia menyadari alasan Fareza tidak mampu mengangkat kepalanya. Tiba-tiba saja dadanya terasa berat, bahkan hanya untuk menarik napas dalam satu tarikan.

avataravatar
Next chapter