7 Keinginan yang Tertunda

Gegara pesan dari Sita, hampir semalaman Farani tidak bisa tidur. Bolak-balik dia mengecek HP-nya, memastikan ada atau tidak pesan yang masuk dari nomor asing itu. Tapi ternyata sampai matanya terpejam, yang ditunggu tak kunjung datang.

Dan Farani juga tidak membalas pesan tersebut.

Saat turun ke lantai bawah, rumah sudah sepi. Ayah jelas sudah berangkat kerja, Bunda dari semalem pamit untuk mengunjungi nenek yang sedang kurang sehat. Fareza? Sepertinya dia masih bermimpi di kamarnya.

Tok tok tok, "Abang, Adek masuk."

Seperti dugaan, Fareza masih terlelap. Langsung saja Farani melanjcarkan aksinya, menyidak HP sang kakak. Farani masih curiga kalau sang kakak yang memberikan nomornya kepada Sita. Setelah dicek, ternyata nihil. Tidak ada bukti bahwa sang kakak yang memberikan nomornya kepada Sita.

"Maafin adikmu yang cantik ini sudah menuduh, Bang." bisik Farani kepada kakaknya.

*

Siang ini, Farani berencana menepati janjinya untuk berkunjung ke rumah Lulu. Hingga akhirnya Lulu mengirim pesan ke Farani, 'Jangan datengke rumah dulu, lagi nggak bagus suasananya. Ntar malem aja gue ke rumah lo.'

Setelah membaca pesan itu, Farani merasa sedikt jengkel. Bagaimana tida, dia sudah bersiap untuk berangkat tapi malah mendapat pesan seperti itu.

"Trus gue mo ngapain ini yak?" tanyanya pada diri sendiri.

Fareza sudah berangkat ke kampus, dan kalau mau keluar matahari sedang teriknya.

'Raffi' batinnya sambil segera mengotak-atik HP-nya.

20 menit kemudian Raffi sudah muncul dihadapan Farani.

"Mau kemana kita?" Raffi langsung to the point.

"Nggak tau."

"Ya udah, ke rumah gue aja. Mama lagi bikin kue."

Tanpa banyak pikir, Farani langsung mengiyakan ajakan Raffi. Sudah lama Farani tidak berjumpa dengan Mama Raffi.

Raffi adalah anak tunggal dengan kedua orangtua yang sibuk bekerja. Namun saat ada waktu luang, mereka akan berkumpul bersama. Bahkan terkadang Raffi akan ijin sekolah demi bisa berkumpul dengan keluarganya saat ada waktu. Farani yang sudah akrab dengan kedua orang tua Raffi memang sering berkunjung. Kehadiran Farani membuat keluarga Raffi makin ramai.

Begitu sampai di rumah Raffi, aroma kue memenuhi rumah.

"Wanginya kue buatan Mama." langsung saja Farani menuju dapur, memeluk Mama Raffi dengan hangat.

"Jelas dong, siapa dulu yang buat. Mama gitu." Mama Raffi mencium Farani seperti anak gadisnya sendiri. "Nanti bawa pulang ya, Mama buat banyak ini."

Siang itu dihabiskan oleh Farani dengan bercanda dengan keluarga Raffi. Sungguh momen yang langka mengingat betapa sibuknya kedua orangtua Raffi. Keseruan yang dilewatkan membuat Farani lupa dengan HP yang sedari tadi berdering, entah itu dering pesan maupun dering panggilan.

Setelah selesai makan malam bersama, Farani pamit untuk pulang.

"Pulang dulu, Ma, Pa." kecupan hangat mendarat di kening Farani dan juga pelukan Mama Raffi.

"Besok kita liburan bareng ya, kalo Papa udah dapet cuti yang agak panjang." kata Mama Raffi sambil membelai Farani. "Mama sayang Farani."

"Hei hei hei, yang mana anak Mama?" Raffi menyerobot dari belakang. Tangannya penuh dengan bingkisan kue yang di tadi di buat.

Farani menjulurkan lidah sambil terus memeluk Mama Raffi.

"Bye Mama, bye Papa." ucap Farani sambil melambaikan tangan kepada orangtua Raffi.

Selama perjalanan Raffi sedikit cemberut. Jelas Farani tau apa penyebabnya.

Semenjak kenal dan akrab dengan Farani, Raffi selalu mengajaknya ke rumah setiap kali kedua orang tuanya ada waktu luang. Dan karena keakraban itu, Mama Raffi lebih sering meluangkan waktu dengan Farani ketimbang dengan Raffi. Dari dulu Mama Raffi menginginkan anak perempuan, tapisetelah sekian lama usahanya untuk memiliki anak kedua tidak berhasil, akhirnya beliau menyerah.

Kedatangan Farani seperti membawa angin segar untuk Mama Raffi, dimana beliau bisa merasa seperti memiliki anak perempuan.

"Udah, nggak usah cemberut gitu." Farani mencoba menggoda temannya itu. "Emang jadi ganteng gitu kalo cemberut?"

Raffi masih dengan pose yang sama, cemberut sambil fokus mengendarai.

"Mama kadang bikin jengkel kalo udah gitu. Untung dulu nggak jadi punya adik."

"Kata abang, punya adik itu ada manfaatnya."

"Apa?" Raffi menjadi tertarik dengan topik pembicaraan itu.

"Kalo nggak punya adik nggak bakal dipanggil abang. Kalo nggak punya adik nggak ada yang bisa diusilin." cengiran Farani membuat Raffi menjadi makin jatuh hati.

Melihat Farani yang bersemangat, membuat Raffi ingin terus berada disisinya. Tapi terkadang perasaan khawatir muncul bila mengingat kakak Farani adalah temannya. Ada kemungkinan Fareza tidak akan merestui hubungan mereka, mengingat Fareza tahu sifat buruk Raffi. Disam[ing semua itu, yang jelas dipikirkannya adalah, apakah Farani menyukai dirinya atau hanya menganggap Raffi sebatas teman?

'Percuma Fareza mengijinkan kalo ternyata yang disukai malah nggak suka balik' batin Raffi tanpa sadar tersenyum sendiri.

"Kenapa coba nyengir sendiri?"

"Ngebayangin, kalo gue jadi abang lo."

"Mungkin rumah bakal adem ayem." jawab Farani, sambil terus memeriksa HPnya.

Setelah teringat dengan HPnya, Farani segera membalas beberapa pesan. Mulai dari Bunda dan Ayah yang menanyakan kenapa belum pulang, Abang Fareza yang juga menanyakan hal yang sama dan berkeras akan mencarinya kemanapun, Lulu yang meminta maaf karena gagal hangout bersama. Dan... Sita.

"Kenapa tampangnya gitu coba? Ada sesuatu kah?" melihat muka serius Farani, Raffi menjadi sedikit cemas.

"Ah? Nggak." Farani langsung memasukkan HPnya kedalam kantung celana.

Sesampainya di rumah, Farani disambut oleh Ayah dan Bunda, juga Fareza dan Rere.

"Maaf Ayah, Bunda, tadi nggak ngabarin kalo Farani main ke rumah Raffi. Dan nggak bilang kalo bakal pulang malem." dengan sopannya Raffi menjelaskan.

Ayah dan Bunda tidak bisa marah melihat sikap Raffi yang begitu sopan. Ayah dan Bunda juga tidak terlalu keberatan asalhkan Farani jelas kemana dan dengan siapa perginya. Terlebih Raffi juga sudah cukup dekat dengan keluarga Farani.

"Ya udah, lain kali jangan lupa pamit, orang rumah pada panik tadi." Ayah berpesan dengan nada kalem.

"Ih ayah, adek kan bukan anak kecil lagi." rengek Farani mendengar ucapan ayahnya. Ucapan Ayah terdengar seperti Farani masih anak kecil yang masih harus dijaga dan di kawal.

"Adek kan emang anak kecilnya Ayah sama Bunda." ucap Bunda sambil memeluk putri semata wayangnya itu.

"Kalo gitu Raffi pamit pulang dulu, Ayah, Bunda." setelah berpamitan, Raffi lalu meninggalkan Beethoven no 15.

Farani langsung mlipir ke kamarnya. Badannya terasa lelah dan ingin segera beristirahat. Setelah mencuci muka dan ganti baju, Farani langsung menjatuhkan diri di kasur yang empuk dan nyaman. Saat tengah berusaha memejamkan mata, tiba-tiba dia teringat dengan pesan yang sedari tadi mengganggunya.

Apalagi kalau bukan karena pesan dari Sita.

avataravatar
Next chapter