31 Kangen

Setelah mengantar Sita berangkat kerja, Farani segera kembali ke rumahnya. Sebelum itu, dia mampir ke rumah Sita, mengecek beberapa hal untuk memastikan rumah dalam kondisi aman terkendali.

Memang sih setiap hari ada orang yang akan membersihkan rumah Sita, tapi Farani merasa harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri. Apalagi untuk isi lemari es yang kadang terabaikan oleh Sita.

"Pagi mbak. Tumben mampir pagi-pagi." Sapa Ana, orang yang mengurus rumah untuk Sita.

"Iya, mampir aja. Sama ngecek kulkas." Kata Farani.

Farani melakukan beberapa pengecek beberapa, hal termasuk kamar Sita. Dikamar Sita, Farani merebahkan dirinya di ranjang tidur Sitta. Mumpung yang punya sedang tidak ada di rumah. Tetiba Farani teringat pertanyaan Sita untuk mengajaknya menikah. Terkadang memang ada keinginan untuk menikah dengan Sita, tapi menikah bukan hanya sekedar hidup bersama. Menikah tidak segampang itu Marimar!!

Kling. Sebuah pesan masuk ke HP Farani.

'Abang nanti sampe di bandara jam 2, bisa jemput?'

Melihat itu, Farani langsung menelepon kakaknya.

"Halo." Telepon diangkat oleh Fareza.

"Abang serius?"

"Iya serius. Bisa kan?"

Penuh semangat, Farani menganggukkan kepalanya. Sadar kakaknya tidak bisa melihat, dia segera menjawab. "Bisa banget."

"Oke, nanti abang tunggu. Bye, adek."

Kepulangan Fareza tentu menjadi hal yang tidak terduga. Sejak kakaknya berangkat ke Samarinda, ini adalah kepulangannya yang pertama. Memang beberapa kali sempat pulang ke rumah, tapi hanya mampir. Benar-benar mampir karena hanya beberapa jam sebelum pulang ke Samarinda.

Kabar baik segera dia sebarkan ke orangtuanya. Ayah dan Bunda akan pulang dalam 2 hari lagi, jadi saat Ayah dan Bunda pulang, mereka akan disambut oleh putra tercinta. Tak lupa, Sita juga mendapar pesan penuh kebahagiaan dari Farani.

*

Makan siang kali ini, Farani memilih untuk mencari tempat yang dekat dengan bandara. Jadi dia tidak akan terburu-buru untuk menjemput kakaknya setelah makan siang. Beberapa saat lalu, Sita menawarkan diri untuk menemaninya menjemput Fareza, tapi di tolak Farani dengan tegas. Farani berdalih bawah setelahnya mereka berdua akan pergi berkencan.

Hampir setengah jam Farani berada di ruang tunggu bandara. Setiap kali ada yang berjalan sambil menarik koper, dia akan langsung mendongak dan memastikan bahwa itu kakaknya atau bukan. Tak kunjung mendapati kakaknya muncul,Farani berasumsi bahwa pesawat yang ditumpangi Fareza mengalami keterlambatan.

Cup. Kecupan yang singkat mendarat di pipi Farani. Langsung saja Farani berdiri dan hendak marah-marah kepada orang yang sudah menciumnya tanpa permisi itu. Dilihatnya wajah yang familier. Fareza!!

Seketika amarahnya lenyap, digantikan dengan tatapan kegirangan. Pelukan langusung didapat oleh Fareza begitu adiknya menyadari bahwa yang mencium tanpa ijin adalah dirinya.

"Please, lepasin." Pinta Fareza sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan adiknya.

"Why? Abang nggak suka dipeluk adiknya?"

"Peluk sih peluk, tapi jangan sambil nyekek dong. Bisa-bisa abang langsung mati ini, pelukannya kekencengen."

Tersipu malu, Farani langsung mencium pipi kakaknya. "Welcome home abang tersayang."

Melihat adiknya langung berubah ke mode manis, Fareza hanya bisa tersenyum dan membelai rambut Farani. Dari Farani lahir sampai setahun yang lalu, keduanya tak pernah berpisah terlalu lama. Perpisahan yang menurut mereka lama adalah saat Fareza ada kunjungan jaman kuliah, mereka terpaksa berpisah selama seminggu. Sayangnya, meski hanya berpisah selama seminggu, keduanya lalu memutuskan untuk sakit bersama. Benar-benar merepotkan.

"Udah makan siang?" tanya Fareza sambil berjalan menuju parkiran.

Sejauh mata memandang, Fareza tidak melihat dimana mobilnya diparkirkan. Berusaha mencari mobil milik ayahnya pun tak ada. "Adek kesini sama sapa?"

"Sendiri." Jawab Farani sambil mencari kunci mobil di dalam tasnya.

"Pake mobil siapa?"

Pertanyaan Fareza dijawab oleh Farani dengan mengacungkan kunci mobil, mobil CRV warna putih itu lalu berkedip sebentar. Dengan langkah penuh percaya diri, Farani lalu masuk ke dalam mobil, siap mengemudikan mobilnya.

"Mobil siapa ini?" tanya Fareza lagi, setelah memasangkan sabuk pengaman di kursi penumpang.

"Sita."

"Buat lo?" Farani tersenyum lebar. "Kalian ngapain aja sampe Sita ngasih mobil buat dia?"

Farani masih tersenyum lebar, dia tidak membalas ataupun merespon perkataan kakaknya. Melihat adiknya bertingkah seperti itu, pikiran Fareza mulai bekerja dengan cepat. Berusaha berpikir positif, tapi juga sedikit memikirkan hal yang negative terhadap adiknya. Satu hal yang diyakini Fareza, bahwa adiknya tidak akan bertindak terlalu jauh.

Sampai di rumah, Fareza langsung menuju kamarnya. Setahun berpisah dengan ruangan yang menjadi saksi bisu kehidupannya, tetiba dia merasa mellow. Mengedarkan pandangan, kamarnya terlihat rapi, kecuali lemarinya.

Pintu lemari sedikit terbuka. Setelah dibukanya, beberapa baju mencuat keluar dari jalur tumpukan baju yang biasanya. Sudah pasti ada yang membuka lemarinya.

"Siapa yang berani mengusik lemari gue?" berjalan mendekati lemari, dia mendapati beberapa bajunya tidak tertata rapi. Jelas ini bukan perbuatan Bunda.

Dibawah, Farani sedang bertukar pesan dengan Sita, membuat janji untuk menjemput di jam 4 sore. Itu berarti Farani harus segera berangkat menjemput Sita kalau tidak mau terlambat.

"Mau kemana lo?"

"Mau jemput Sita. Kenapa emang?" tanya Farani polos.

"Siapa yang berani buka lemari baju gue?"

Terkejut, Farani berusaha mengendalikan dirinya. Dari mana kakaknya tahu kalau ada seseorang yang sudah menyentuh lemari baju yang berharga itu? Sedikit ketakutan, Farani mengacungkan jarinya. "Gue."

"Ambil apa?"

"Kaos."

"Buat?"

"Sita."

Wajah Fareza langsung merah menahan amarah. "Jadi Farani, lo biarin Sita tidur disini? What have you done with him?"

Farani hanya bisa diam dan menundukkan kepalanya. Dalam hati dia ingin menjelaskan semuanya kepada kakaknya, tapi dia tahu bahwa penjelasannya akan diragukan oleh kakaknya.

"Jawab!" kesabaran Fareza habis, dia membentak Farani tanpa sadar.

"I didn't do anything." Air matanya mengalir tanpa disadari. Bukan karena takut ketahuan telah melakukan hal buruk, Farani menangis karena kakaknya membentak. Dia tidak pernah mendapat perlakuan yang menurut dia kasar.

Fareza masih menatap Farani dengan tatapan penuh amarah.

Pikiran Farani langsung terbagi menjadi dua. Antara menjemput Sita dan menghadapi amarah kakaknya.

"Pas Ayah sama Bunda pergi, Sita nungguin di luar. Akhirnya gue suruh masuk." tanpa berani memandang kakaknya, Farani menjelaskan yang sebenarnya. Air mata masih mengalir di matanya. "Kita nggak ngapa-ngapain."

Entah harus merasa lega atau jengkel mendengar penjelasan Farani, yang bisa dilakukan Fareza hanya berjalan mendekat ke adiknya dan memeluknya. Penyesalan terbesar dalam hidupnya adalah membiarkan adiknya berpacaran dengan temannya.

avataravatar
Next chapter