55 Ini yang Terbaik

"Kita mau kemana?" tanya Farani akhirnya.

Sebenarnya Farani sedikit curiga dengan Raffi. Jelas telah terjadi sesuatu sehingga dia memasang tampang yang sedikit layu. Ditambah lagi kelakuan Raffi sedikit aneh.

"Ke rumah sakit." Jawab Raffi tampa berani menatap mata Farani.

Farani hanya menganggukkan kepala, lalu mengalihkan pandangannya.

Rumah sakit? Apa terjadi sesuatu sama Sita?

Entah Raffi yang sengaja mengulur perjalanan atau memang perjalanan dari kampus ke rumah sakit terasa jauh, waktu sepertinya melambat. Ditambah lagi Raffi sengaja berhenti di pom bensin untuk mengisi BBM, padahal masih ada setengah isi BBM.

"Apa terjadi sesuatu?" Farani mencoba mencari tahu.

Lebih baik mencari tahu daripada mencoba menebak yang tidak pasti.

"Ntar juga Lo bakal tau." Raffi masih bermain rahasia.

Sesuatu yang buruk sedang terjadi. Farani bisa menebak dari cara Raffi menghindari tatapan matanya. Juga dari nada bicara Raffi yang seerti berpura-pura.

Ada apa? Apa Sita masuk ICU lagi?

Beberapa pemikiran Farani tak dapat dikendalikan. Bahkan dia sempat memikirkan kemungkinan terburuk tentang kondisi Sita. Tapi, bukankah beberapa hari ini kondisi Sita menujukkan progress yang baik? Atau Raffi sengaja memasang tampang sedih untuk mengelabuhinya bahwa sebenarnya Sita sudah bisa pulang ke rumah?

Farani tidak berani memikirkan hal yang terlalu baik, bahwa Sita sudah bisa pulang ke rumah. Namun dia juga tidak akan pernah memikirkan kemungkinan terburuk tentang kondisi Sita.

Raffi sengaja memarkirkan mobilnya di basement. Itu akan memakan waktu lebih lama untuk sampai dimana Sita berada. Ini adalah usaha terakhir yang dapat dipikirkannya, tapi pada akhirnya Farani akan tetap bertemu dengan Sita. Untuk yang terakhir kalinya.

"Kok kita nggak ke lantai 3?" Farani menyadari bahwa Raffi menekan tombol lantai 2, bukan ke tombol lantai 3 dimana Sita dirawat.

"Mampir bentar, ada urusan." Hanya itu jawaban Raffi.

Begitu pintu terbuka, Raffi berjalan memimpin. Farani dengan tenang mengikuti dibelakang Raffi. Jarak masih sekitar 5 meter dari ruang jenazah, tapi Fareza telah menyambut kedatangan Farani dan Raffi.

Melihat tatapan mata Fareza yang begitu sembab dan merah, Farani menghentikan langkahnya. Otaknya bekerja keras untuk memproses apa yang dimaksudkan dengan kedatangan mereka ke lantai 2, juga Fareza yang terlihat kusut. Juga Papa Sita yang akhirnya muncul dari balik pintu.

Untuk beberapa menit, Farani terdiam. Dia jelas mulai mengerti apa yang terjadi.

Tatapan Fareza dan Farani saling bertemu. Tanpa ada kata atau tindakan apapun. Baru setelah Farani menguasai dirinya, dia mengangguk ke arah Fareza. Balasan yang sangat tidak ingin dilihat Farani nampak, Fareza menganggukkan kepalanya.

Percakapan tanpa suara itu dimengerti oleh Raffi. Dan secara reflex Raffi mengganddeng tangan Farani, berjalan perlahan menuju ruangan yang ada di depan Papa Sita.

Di dalam, tubuh kaku Sita tertutup kain putih bersih. Ditemani Fareza dan Raffi, Farani masuk dan menemui Sita.

Wajah kekasihnya itu tampak tenang. Persis ketika dia tidak sengaja tertidur di sofa. Wajah yang selalu membuat Farani merasa berdebar saat melihatnya. Wajah yang selalu ingin dia ganggu saat tidur. Tapi sekarang dia tidak sedang tertidur. Dan Farani tidak ada keinginan untuk mengganggu agar kekasihnya itu terbangun.

Dada dan otak Farani serasa berhenti bekerja. Udara yang seharusnya mengalir seperti terhambat tanpa bisa masuk. Dan itu terjadi secara tiba-tiba. Lalu Fareza memeluknya dengan erat. Menenggelamkan wajah Farani dari semua orang.

Suara tangisan Farani terdengar. Tangisan yang berusaha ditahannya sejak menyadari apa yang terjadi. Kalau tidak dalam pelukan kakaknya, Farani tidak akan bisa meluapkan tangisannya dihadapan orang asing. Bahkan dia tidak akan berani menangis di depan Sita.

*

Pukul delapan malam, pesawat yang akan membawa Sita ke Jakarta akan berangkat.

Semua orang akan mengantarkan kepergian Sita, untuk yang terakhir kalinya.

Bahkan Ayah dan Bunda juga datang secepat kilat ke rumah sakit saat mendapat kabar itu dari Raffi. Tidak hanya kedua orangtua Farani, Mama Raffi pun ikut datang.

Setelah semua persiapan, ambulance membawa Sita dan Papa Sita menuju bandara. Fareza pada akhirnya akan ikut menemani Sita ke Jakarta. Menemani sahabatnya untuk yang terakhir kalinya. Sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka. Bahkan Sita sudah seperti saudara, yang menerima dan memahami Fareza dalam galau dan gilanya.

Sebelum masuk ke pesawat, Fareza memeluk Farani. Itu adalah pelukan yang erat penuh makna dari seorang kakak kepada adiknya. Pelukan untuk menenangkan dan menguatkan Farani disaat tersedihnya.

Farani sudah tidak menangis. Dia hanya beberapa menit menangis, melepaskan kesedihannya ditinggal sang kekasih. Tapi kini, wajah cantik Farani menjadi dingin. Tidak ada senyum ataupun cahaya seperti biasanya. Hanya wajah tanpa ekspresi yang menggambarkan kesedihan mendalamnya.

"Ayo kita pulang." Ajak Bunda setelah pesawat itu terbang menuju Jakarta.

Bunda dan Ayah mengerti tentang kesedihan yang sedang dialami putrinya. Dengan rangkulan sang ayah, Farani berjalan bersama Ayah dan Bunda. Dibelakangnya, Raffi dan Mama mengikuti.

Di mobil, Farani masih memasang wajah tanpa ekspresi itu. Jelas dia berusaha untuk menahan semua kesedihannya agar kedua orangtuanya tidak kepikiran. Tapi dengan diamnya Farani justru membuat Ayah dan Bunda merasa khawatir. Keduanya bertanya kenapa putrinya tidak meluapkan kesedihannya dengan menangis? Apalagi di dalam mobil hanya ada keluarganya.

Begitu sampai di rumah, Beethoven 15, Farani langsung berjalan menuju kamarnya. Tanpa sepatah katapun untuk basa-basi ataupun menyambut Mama yang datang. Mama mengantar Raffi yang membawa mobil Fareza.

"Maaf, Adek kayanya capek banget." Bunda mencoba mencari alasan untuk sikap Farani.

"Aku naik bentar, Ma. Mau liat Farani bentar." Kata Raffi kepada semuanya.

Ketiga orangtua itu menganggukkan kepalanya. Mereka berharap Raffi bisa menenangkan Farani yang sedang kacau. Paling tidak itu akan sedikit mengurangi kesedihan Farani. Itulah harapan Ayah, Bunda dan Mama.

"Gue masuk ya?" Raffi langsung masuk ke kamar Farani. Pintu tidak tertutup, tapi di dalam kamar itu gelap.

Setelah berusaha menyesuaikan pengelihatannya dalam gelap dan menemukan sosok yang dicarinya, Raffi berjalan ke arah Farani. Gadis itu duduk di tempat tidurnya, memandang tangannya. Jari manis yang berhiaskan cincin pemberian Sita.

"Kata dokter, Sita kena hemathoraks. Ada darah di paru-paru dia yang bikin dia sulit bernapas. Makanya beberapa hari ini dia terlihat pucat."

"Apa kartu yang lo kasih beneran bakal lo kabulin apapun permintaan gue?" tanya Farani, tanpa mengalihkan pandangannya dari cincin di jari manisnya.

"Gue pasti kabulin, sesuai kemampuan gue." Jawab Raffi.

Sebenarnya dia sedikit terkejut saat Farani mengajukan pertanyaan itu. Beberapa waktu lalu saat pertama kali mendapatkan kartu 'your wish'-nya, Farani tampak bersemangat dan penuh dengan niat jahil. Tapi sekarang wajah dan suaranya serius.

"Gue pengen ungkapin perasaan gue ke Sita. Selama ini gue nggak pernah benar-benar jujur ke Sita."

"Lo mau nyusul ke Jakarta?"

Farani menggelengkan kepalanya. "Gue khawatir kalo kesana gue bakal ngerepotin banyak orang."

"Besok pagi, gue dateng. Sekarang lo istrahat dulu. Gue bakal kabulin permohonan pertama lo."

avataravatar
Next chapter