40 Ini Keseriusan Gue

Hari kepulangan Fareza.

Setelah menghabiskan masa liburnya selama dua minggu full, kini saatnya Fareza kembali ke Samarinda.

Ayah, Bunda dan Farani mengantarkan kepergian salah satu anggota mereka ke bandara. Suasana bandara tidak terlalu ramai, tidak seramai saat weekend.

"Abang baik-baik disana, jangan lupa makan yang sehat, jangan mie instant mulu." seperti tahun lalu saat akan mengantarkan kepergian Fareza untu pertama kalinya, Bunda dengan telaten menyebutkan beberapa hal untuk dilakukan dan tidak dilakukan.

"Bunda tenang aja, anak Bunda udah gede. Bisa jaga diri."

"Sekarang ngomongnya bisa, nanti sampe sana langsung homesick." cibir Farani tanpa tameng.

Langsung Bunda mencubit pinggang anak perempuannya itu. "Kalo ngomong yang baik ah."

Dengan manjanya Farani memeluk kakaknya sambil berkata yang baik. "Yang baik ya abang sayang, adekmu yang imut ini menanti di rumah."

Dari kejauhan terlihat Sita yang setengah berlari menghampiri mereka. Sama seperti Fareza, beberapa luka akibat perkelahian mereka beberapa waktu lalu sudah tersamarkan.

"Maaf telat." sedikit terengah-engah, Sita menyapa keluarga kekasihnya.

"Kamu bolos atau ijin ini?" begitulah pertanyaan Ayah. Sapaan khas Ayah.

"Ijin, Ayah." jawab Sita, masih berusaha mengatur napasnya.

Menyeret Sita menjauh dari keluarganya, Fareza berbisik dengan mencurigakan. Entah apa yang mereka berdua perbincangkan, tapi sepertinya sangat serius. Itu terlihat dari sikap Sita yang hanya bisa mengangguk.

"Ayah, Bunda, Fareza masuk dulu. Jaga kesehatan kalian ya." memeluk orangtuanya secara bergantian, Fareza memberi salam perpisahan. "Adek kuliah yang bener, jangan pacaran mulu."

Dengan jahilnya melirik ke Farani dan Sita secara bergantian, membuat Farani malu.

Melihat Fareza yang sudah menghilang dibagian keberangkatan, Farani dan keluarganya beserta Sita segera kembali ke rutinitasnya yang biasa. Ayah dan Bunda akan kembali ke rumah, sedangkan Sita dan Farani akan keluar sebentar. Begitulah pamit mereka kepada Ayah dan Bunda.

"Can you drive for me?" Sita mengulurkan kunci mobilnya kepada Farani.

"Baik Tuan." dengan patuhnya Farani mengambil kunci mobil Sita. "Mau kemana kita Tuan?"

Kemampuan mengemudi Farani sudah meningkat tajam. Bahkan sekarang dia juga sudah mahir mengendarai mobil matik. Itu hal yang membanggakan yang harus dipamerkan kepada semua orang.

"Nggak tau. Kita nyari makan aja."

Di dalam mobil, Sita menyandarkan kepalanya di kursi penumpang dan memejamkan matanya. Terlihat bahwa Sita sangat kelelahan.

Bahkan Sita tidak sadar bahwa supir pribadinya itu membawa ke rumahnya.

Begitu sampai di rumah Sita, Farani tidak langsung membangunkan Sita. Seperti biasa, dia mengamati wajah pacarnya dengan seksama. Terlihat beberapa lebam yang masih membiru.

Meskipun terlihat kelelahan, tapi wajah tampan Sita masih membius dan memikat Farani.

"I love you with everything I have." Farani berucap lirih, berharap Sita tidak mendengar apa yang dia ucapkan.

Setengah jam berlalu, dan Sita belum bangun dari tidurnya. Jujur saja Farani merasa kelaparan saat itu, tapi dia merasa sayang untuk membangunkan Sita.

Sebagian besar hanya berdasarkan tebakan, tapi terkadang tebakan Farani benar. Bisa dipastikan beberapa hari ini Sita jarang tidur dengan nyenyak. Entah apa yang dia pikirkan, tapi Farani merasa sedikit bersalah.

Satu jam lebih lima menit. Waktu yang dibutuhkan Sita untuk bangun dari tidur singkatnya itu.

"Udah sampe?" itu ucapan pertama yang terlontar dari mulut Sita.

"Iya, Tuan. Bisa kita turun? Gue udah laper banget."

Sedikit kaget melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 3 sore, Sita hanya memberikan senyuman manis kepada Farani. Sebagai permintaan maaf.

"Mau makan apa? Gue yang traktir."

"Harus lah. Lo pikir gue mau apa traktir lo." balas Farani dengan ketus.

Yah, anggap saja itu upah yang harus Sita berikan kepada sang kekasih karena dengan setia menunggui dirinya yang tertidur.

Setelah berganti posisi menjadi pengemudi, Sita melajukan mobilnya menuju rumah makan steak kesukaan Farani. Kenapa para wanita suka makan steak? Pertanyaan itu belum ditemukan jawabannya oleh Sita.

"Lo nggak ngapa-ngapain gue pas tidur kan?" tanya Sita penuh kecurigaan.

Mendengar pertanyaan itu, Farani meletakkan garpunya. Menarik napas dan membuangnya secara perlahan.

"Emang gue bisa ngapain lo?" Farani bertanya balik.

Tapi Sita bisa melihat rona merah dipipi pacarnya itu. Jelas itu berarti sesuatu.

Terkadang Sita sangat beruntung Farani memiliki kulit yang putih. Saat Farani tersipu malu, pipinya akan dengan jelas berwarna merah. Itu terlihat menggemaskan.

"Biasanya kalo gue lagi tidur, lo suka kesengsem sama wajah gue. Trus lo elus-elus idung gue. Apa lagi ya?"

Perkataan Sita membuat pipi Farani makin merona.

"Nggak, gue nggak gitu." bantahan demi bantahan meluncur dari mulut Farani.

"Are you sure?"

"Tau ah. Gue jadi ilang selera kalo gini ceritanya." ini cara terakhir bagi Farani untuk mengalihkan topik pembicaraan.

"Oke. Gue pesen coklat float lagi."

Sita segera beranjak dari tempat duduknya, mengantri untuk memesan minuman favorit Farani.

Dan Farani tahu, ini cara Sita untuk meredakan emosi Farani, membuat kekasihnya merasa nyaman dan lebih tenang.

*

"Ayah, gimana kalo adek nanti nikah duluan sebelum abang nikah?" pertanyaan Bunda terucap tanpa basa-basi.

Ayah yang sedang membaca koran mendongakkan kepalanya. "Kenapa Bunda tanya kek gitu?"

Bunda menuangkan teh untuk Ayah, lalu duduk disamping Ayah sambil ikut membaca koran.

"Adek kan deket sama Sita. Bunda takut aja nanti kalo kedekatan mereka jadi ada fitnah."

"Mereka udah gede, tau mana yang baik dan mana yang nggak."

Tak berselang lama, muncul mobil CRV warna putih milik Sita. Membuat Ayah dan Bunda yang sedang menikmati sore, menolehkan pandangan ke arah mobil itu. Lalu tampaklah putri mereka, Farani.

Dengan wajah riangnya, Farani menghampiri ayah dan bundanya, diikuti oleh Sita.

"Kalian kemana aja?" tanya Bunda begitu mereka mendekat.

"Kita abis makan, Bunda. Sebelumnya, kita ngabisin BBM mobilnya Sita." jawab Farani masih dengan senyum terkembang.

Farani dan Bunda masuk ke dalam rumah. Farani berganti pakaian, sedangkan Bunda mengambilkan cangkir untuk teh Sita.

"Maaf Ayah, baru sempet datang." Sita memulai percakapan yang canggung itu.

Semua teman Fareza tahu, ayah Fareza bukan tipe orang yang ramah. Semua orang merasa bahwa beliau orang yang galak, ditambah lagi dengan kumis lebatnya.

"Kamu serius sama adek?" Ayah langsung to the point.

"Iya, Ayah." rasanya jantung Sita hampir melompat keluar. "Tapi saya bakal nunggu Farani."

"Kamu pernah tanya sama adek?"

Menganggukkan kepalanya, Sita menjawab, "Pernah. Dan Farani bilang dia masih mau kelarin kuliah dan kerja."

Ayah membalikkan korannya dengan wajah serius. Ini memang bukan percakapan antara hidup dan mati, tapi ayah merasa bahwa percakapan ini akan menentukan bagaimana masa depan putrinya kelak.

Putri kecilnya yang selalu dimanja oleh semua anggota keluarga.

"Dukung dia untuk lulus kuliah dan bisa kerja mapan. Kamu tau mana yang baik dan mana yang nggak baik. Jangan sampai kelewat batas."

Sita paham apa yang dimaksudkan oleh ayah. Melalui perkataan beliau, secara tidak langsung ayah memberikan sinyal hijau bagi dirinya untuk terus bersama Farani.

"Gimana kerjaan kamu?" Ayah mengubah topik. Tapi topik ini ada maksud tersembunyi.

"Lagi sibuk ayah. Beberapa pekerjaan yang menyita waktu."

"Kamu juga harus rajin kerja, yang giat. Buat fondasi yang kuat. Orang usaha itu kadang diatas kadang dibawah. Harus pinter manage waktu dan pikiran."

"Iya ayah, makasih untuk nasehatnya."

Itu adalah 5 menit yang menegangkan dalam hidup Sita. Rasanya setiap detik yang berlalu bagaikan bom yang bisa meledak kapanpun tanpa pemberitahuan.

Meski sudah menjadi pacar Farani selama setahun belakangan, Sita masih merasa keder kalau harus berhadapan dengan ayah kekasihnya itu. Apalagi beliau termasuk orang yang disiplin dan tidak bisa diinterupsi. Persis seperti anak gadisnya yang kini dia pacari.

avataravatar
Next chapter