30 I think Im ready

Gerimis yang turun sejak tadi sore membuat dingin menjadi teramat. Terlebih sekarang sudah hampir tengah malam. Meski sudah mengenakan jaket dan syal, tetap saja Sita merasakan kedinginan. Terlihat dari telinga dan hidungnya yang sedikit memerah.

"Ayo, gue buatin minuman hangat bentar." Sita mengikuti Farani masuk ke dalam rumah.

Setelah memberi selimut kepada Sita, Farani membuat susu hangat. Telapak tangan dan wajah Sita terasa dingin. Bisa jadi Sita akan membeku kalau Farani tidak segera membawanya masuk.

"Gue nggak bakal mati beku. Tenang aja." Sita menenangkan kekhawatiran Farani.

"Tapi tetep aja nggak ada alasan buat lo parkir diluar kek gitu." tegur Farani, sambil terus berusaha menghangatkan pipi Sita.

Mengenggam tangan Farani, Sita membelaikan di pipinya. "Gue cuma mau memastikan lo baik-baik aja."

Perlahan tangan Sita mulai terasa hangat. Genggaman tangan Sita membuat Farani merasa sedikit tenang.

"Jangan pernah lakuin hal bodoh kek gitu lagi. Janji?"

"Ini bukan hal bodoh."

Farani langsung memeluk Sita. Entah pacarnya ini terlalu lebay atau bodoh. Atau malah terlalu nekat?

"Gue cuma nggak mau sesuatu hal yang buruk terjadi."

"So do I."

Sejenak mereka berpandangan, saling menghawatirkan satu sama lain.

Farani memutuskan bahwa Sita akan menginap di rumahnya untuk malam ini. Dengan catatan dia melapor kepada satpam dan juga tidur di ruang tengah. Setelah membereskan beberapa hal kecil itu, Farani bisa tidur nyenyak untuk malam ini.

Ini Sabtu pagi yang cerah. Setelah hujan yang mengguyur sejak sore sebelumnya. Rasanya menyegarkan untuk bisa menikmati matahari untuk sejenak. Turun menuju dapur, Farani melihat Sita yang masih tidur, membungkus tubuhnya dengan selimut. Tanpa berusaha membangunkannya, Farani membuatkan kopi hangat yang harum untuk Sita.

"Tuan Molor, ayo bangun. Ini udah jam 7 pagi." Setengah menggoga, Farani mencium pipi kekasihnya.

Menggeliat, Sita membuka matanya. Didapatinya Farani berdiri tepat di depan wajahnya. Tak dapat menyembunyikan kegembiraannya, Sita tersenyum kepada Farani.

"Baik Nyonya."

Hidung Sita mencium bau kopi kesukaannya. Segera dia menyesap kopinya dengan penuh kenikmatan. Itu membuat dirinya terlihat sedikit murung.

"Kopinya nggak enak?" tanya Farani yang menyadari perubahan raut muka Sita.

Menggeleng, Sita beruaha menyembunyikan kesedihannya. "Jadi inget Mama, Mama suka bikini gue kopi kek gini."

Mendengar Sita menyebut Mamanya, membuat Farani teringat akan Bundanya sendiri. Bagi siapapun di dunia in, sosok ibu adalah segalanya. Tentu akan sangat merasa kehilangan bila sosok ibu pergi meninggalkan kita. Farani tidak tahu bagaimana hubungn Sita dengan Mamanya, tapi dari apa yang dilihat Farani, keduanya memiliki hubungan yang cukup baik.

"Mama orangnya kek gimana?"

"Nggak ribet, dan disiplin. Selalu on time." Sita mendiskripsikan Mamanya dengan singkat namun efisien.

Dari deskripsi Sita, Farani bisa sedikit membayangkan bagaimana Mama Sita. Hampir seperti Ayah, tapi dalam versi perempuan.

"Do you miss your mom?"

Melihat ke arah Farani, Sita hanya mengangguk. Tiba-tiba Farani memeluk Sita dengan eratnya. Bisa dilihat Sita sangat kehilangan, tetapi Farani tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Yang bisa dilakukannya hanyalah memeluk Sita.

"It's okay. Gue cuma bisa doain Mama dari sini, dan berharap Mama punya kehidupan yang lebih baik disana." Tersenyum, Sita berusaha memberitahu Farani bahwa dia baik-baik saja.

Farani dalam mood yang baik, jadi dia berinisiatif membuat sarapan, meski yang dibuatnya hanyalah nasi goreng. Tentu ini bukan pemandangan yang biasa bagi Sita. Melihat Farani yang tidak begitu pandai memasak, tapi selalu berusaha dan terus belajar.

Pikiran Sita sedikit berkelana. Dia selalu bermimpi untuk menikah muda. Menyaksikan anak-anaknya tumbuh dan dewasa. Dan dihapadapnnya sekarang ada sosok yang sangat dia sayangi, yang dia inginkan untuk menjadi pendamping hidupnya.

Berjalan mendekati Farani, Sita tiba-tiba memeluk Farani dari belakang. Sontak Farani kaget, hampir saja dia menjatuhkan piring yang sedang dipegangnya.

"Lo ngagetin. Hampir aja piringnya jatuh." Kata Farani sambil berusaha menguasai kekagetannya.

"Lo mau nikah sama gue?" kejutan demi kejutan dilontarkan oleh Sita.

"Untuk saat ini gue bakal jawab nggak. Jadi Tuan, mohon duduk dikursi, karena nasi goreng sudah siap."

Tak menuruti perkataan Farani, Sita masih saja memeluk Farani dari belakang. Kepalanya dia sandarkan di bahu Farani. Karena perbedaan tinggi yang terlalu mencolok, Sita sampai harus membungkukkan badannya agar bisa menyandarkan kepalanya.

"Gue tunggu sampe lo siap buat nikah. 5 tahun lagi? Atau 10 tahun lagi?" suara Sita terdengar serius.

Meletakkan piring yang sedang di pegangnya, Farani berbalik. "Untuk saat ini, keingingan gue cuma lulus kuliah dan bekerja. Menikmati apa yang jadi jerih payah gue."

Terdengar egois, tapi itulah yang dipikirkan Farani untuk diwujudkannya dalam waktu 5 tahun kedepan. Bukan tidak mau menikah, tapi dia hanya belum mau memikirkannya. Bagi Farani, pernikahan adalah hal yang sacral. Dan dia tidak mau melakukannya dengan tergesa-gesa.

"Gue bakal tunggu."

Mendengar jawaban Sita, Farani hanya bisa memandang kekasihnya dengan perasaan yang campur aduk. Antara bahagia karena Sita menerima pemikirannya dan tertekan karena ajakan yang menurut Farani terlalu dini untuk diutarakan. Paling tidak, itu yang dipikirannya saat ini.

Lama mereka saling memandang satu sama lain. Tapi arah pandangan mereka berbeda. Saat Farani focus ke mata Sita seolah mencari sesuatu, arah pandangan Sita tertuju kepada bibir Farani.

Untuk sesaat pikiran Sita menjurus untuk melumat bibir Farani yang berwarna merah muda itu, sebelum dia teringat akan janjinya. Sita segera mengalihkan pandangannya, dan pikirannya tentunya.

Selesai sarapan dan selesai mencuci piring, Sita segera keluar, menyalakan mobil yang ada di garasi milih Ayah Farani dan mobilnya sendiri. Mengamati beberapa saat, Sita lalu masuk kedalam mobil Fareza. Honda Accord tahun 2011 itu punya beberapa kenangan bagi dirinya.

"Gue mau mandi dulu." Kata Sita yang bajunya basah karena mencuci 3 mobil yang ada di rumah, termasuk mobilnya sendiri.

"Perlu baju ganti?" sekali anggukan, Sita menjawab pertanyaan Farani.

Farani segera masuk ke kamar kakaknya, mencari baju yang sekiranya muat dipakai oleh Sita. Fareza dan Sita sebenarnya memiliki tinggi yang sama, tapi ukuran tubuh mereka berbeda. Sitalebih berisi ketimbang Fareza. Dan sepertinya beberapa baju yang didapati Farani akan sedikit kekecilan di tubuh Sita.

Benar saja, baju yang menurut Farani adalah baju paling besar yang bisa ditemukannya di lemari kakaknya, tetap terlihat kecil untuk ukuran tubuh Sita.

"Maaf, cuma baju itu yang ukurannya paling gede."

Tanpa banyak protes, Sita segera duduk disamping Farani yang sedang menonton kartun.

"Fa, lo masih kontak sama Raffi?"

Selama menjalin hubungan dengan Farani, Sita tak pernah membahas atau menyebut nama sahabatnya itu. Sekaran, tiba-tiba Sita memulai pembicaraan tentang Raffi. Ada apakah gerangan?

"Masih. Kenapa?"

"Nggak, gue cuma mikir, jangan sampe lo putus hubungan sama dia hanya karena kita pacaran. Gue tau dia suka sama lo."

"Raffi hubungin lo?"

Sita menggelengkan kepalanya, "Gue nggak punya nomor dia."

Menggenggam tangan Farani, Sita menatap kearah kekasihnya itu. Entah apa yang membuatnya berpikir tentang Raffi, tapi dia merasa tersaingi oleh Raffi.

avataravatar
Next chapter