8 Berteman

Hampir 15 menit Farani membolak-balikkan Hpnya, berpikir apakah dia harus membalas pesan dari Sita atau tidak. Ada sebagian dari dirinya ingin membalas pesan, tetapi sebagian lagi ingin mengabaikannya. Beberapa teman kakaknya memang ada yang sering berkirim pesan dengannya, dan Farani dengan senang hati membalasnya. Entah kenapa yang ini terasa berbeda.

"Balas nggak balas nggak balas nggak" sambil menghitung dengan jemarinya, Farani berusaha meyakinkan dirinya untuk tidak membalas pesan. "Nggak usah ajalah."

Sekelebat ingatan tentang pertemuan pertama mereka membuat Farani menunda tidurnya.

Di Kafe Book.

Saat pertama melihat Sita, Farani seperti tersihir untuk selalu menatapnya. Kehadiran Sita entah kenapa sulit untuk ditolak oleh Farani. Garis wajahnya, hidungnya yang mancung dan matanya yang hitam dan dalam. Siapa yang mampu menolak ketampanan Sita yang tak pernah dia lihat. Belum lagi postur tubuh Sita yang tegap dan tinggi, membuat Farani seolah ingin dilindungi.

Dari dulu, dia bercita-cita memiliki pasangan yang lebih tinggi dari dirinya. Dengan tinggi yang lebih, membuat Farani merasa terlindungi dan merasa bahwa pasanganya itu 'pelukable'. Memikirkan Sita membuat imajinasinya melayang.

'Ya Tuhan, kenapa cobaan ini datang padaku?' Farani serasa ingin menangis saat itu juga.

*

Setelah libur paska latihan ujian selesai, beberapa minggu kemudian ujian semester dimulai. Semua murid mulai menyibukkan diri dengan belajar. Termasuk Lulu yang selalu bolos les, akhirnya sadar untuk menampakkan wajahnya di depan guru les privatnya. Tak berbeda jauh dengan Farani, dia juga menyibukkan diri dengan les yang sudah runtut menanti.

"Bisa nggak sih ini di skip ujiannya? Otak rasanya mau pecah." keluhan demi keluhan keluar dari mulut Lulu. Jelas Lulu bukan tipe siswi yang hobi belajar.

"Makanya, make otak nggak cuma pas ujian aja." celutukan jahil Raffi membuat Lulu ingin mengguyurnya dengan es teh.

"Malem minggu besok gue boleh main nih. Sapa yang mau ngikut nonton?" Farani memberikan ide untuk refreshing otak.

"I can't, guru les gue sekarang nggak bisa slow." Lulu menarik diri dari ide segar tersebut.

"I can't too. Otak gue nggak seencer pemenang olimpiade matematika, jadi harus kejar target." Raffi juga mengundurkan diri.

Ketiganya lalu menghela napas bersama, lalu kembali membolak-balikkan buku pelajaran yang mereka pegang.

Setelah ujian semester berakhir, liburan menanti. Itu benar-benar hal yang sangat diinginkan oleh semua murid. Bahkan para murid kelas XII juga mendambakan liburan yang tenang. Seolah seperti masa tenang sebelum badai ujian menghadang.

"Paling nggak, liburan besok gue pengen setenang-tenangnya liburan." Raffi dan Farani menganggukkan kepala, setuju dengan pernyataan Lulu.

"Gimana kalo kita ke Bali bareng?" tanya Raffi memandangi kedua temannya bergantian. "Papa sama Mama kan udah janji mau ngajakin liburan bareng."

"Emang Adek boleh nginep?" pertanyaan Lulu membuat mereka menghela napas bersama lagi.

"Oh iya, gue lupa mikirin anak pingitan kita." sebuah buku melayang, mendarat tepat di muka Raffi yang mulus. "Ouch, sakit tau." Sambil mengelus wajahnya, Raffi segera menghindar dari jangkauan Farani.

Halaman depan SMA Beethoven ramai oleh para penjemput. Farani mengedarkan pandangan, mencari abangnya yang berjanji akan menjemputnya hari ini. Tiga kali mengitari halaman depan, tak tampak seorang Fareza Narendra. Dengan perasaan sedikit kesal, Farani berjalan untuk pulang ke rumah.

"Untung rumah deket, coba kalo nggak, udah tinggal nama tuh orang!" dengan berapi-api, Farani meluapkan kekesalannya.

Lalu tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Sikap waspada langsung tampak di wajah Farani. Otomatis dia mundur melangkah, menjauhi mobil tersebut.

Kaca mobil diturunkan, lalu tampaklah si pengemudi.

"Sorry telat jemputnya, tadi kejebak macet." Suara Sita membuat Farani sedikit lega. Paling tidak dia kenal dengan orang yang berada di mobil. "Ayo masuk."

"Gue?" Farani menunjuk hidungnya dengan tak percaya. 'Ada apakah ini?'

"Iya lah, emang sapa lagi?"

Farani mengedarkan pandangan. Disekitar nya memang tidak ada siapa-siapa. Dengan sedikit canggung, Farani lalu melangkah masuk ke mobil.

Begitu masuk ke dalam mobil, Farani mendengar alunan lagu A Thausand Years milik penyanyi terkenal, Christina Perri. Tapi lagu ini dalam bentuk instrumental.

"Gue belum pernah denger yang ini." celutuknya tiba-tiba.

"Oh, ini dicover sama Iskandar Widjaya." jawab Sita tanpa mengalihkan pandangan.

"Oh." Lalu suasana kembali hening.

Farani masih terdiam, sampai akhirnya dia menyadari bahwa jalan yang mereka lewati bukanlah jalan yang dia kenal. "Kita mau kemana?"

Sita masih diam, memindahkan persnelingnya dan berhenti di lampu merah.

"Mau ke rumah gue." Menyadari ekspresi Farani yang sedikit kaget, Sita melanjutkan, "Abang lo nunggu disana juga, kita lagi ngerjain tugas."

Dan sisa perjalanan kembali dilanjutkan dalam keheningan.

Dalam hati, Farani ingin menanyakan apakah benar Sita yang ini yang mengiriminya pesan, tapi urung diucapkan. Farahi khawatir topik pembicaraan itu akan membuat mereka makin canggung. 'Tapi kalo nggak ditanyain kok rasanya ganjel ya? Dan rasanya kepo juga.'

"Kenapa lo nggak bales chat gue?" Sita memulai percakapan. Dan topiknya pas dengan apa yang ini Farani ingin bahas.

"Oh, itu... gue pikir bukan lo." dengan sedikit merasa bersalah, Farani menjawab.

"Apa lo biasa mengabaikan chat orang?"

"Nggak sih. Cuma kadang gue males aja balesnya."

"Karena banyak chat random yang ngajakin jalan?"

Dalam diam, Farani mencoba mencari jawaban yang tepat, berusaha agar jawabannya tidak membuat suasana menjadi canggung. Sita masih dalam mode cuek, menanti jawaban Farani.

"Lupain aja, bukan hal yang penting." Sita akhirnya berkata, mengakhiri percakapan yang tidak mengenakkan tersebut.

Sampai di rumah Sita.

Farani tidak tahu ini di daerah mana, yang jelas dia merasa bahwa rumah Sita pastilah jauh dari rumahnya.

Benar saja, di dalam rumah Sita sudah ada Fareza, Rere dan beberapa temannya. Juga seorang anak yang mungkin berusia dibawah 12 tahun, duduk di pangkuan Rere sambil bermain Tab. Melihat anak perempuan itu, Farani langsung mengira bahwa dia adalah adik Sita. Seperti yang Abangnya pernah bilang, adik Sita masih SD.

"Kia, jangan gangguin. Ayo duduk sendiri." melihat kakaknya sudah kembali, anak yang bernama Kia itu lalu menghampiri Sita.

"Why it's take to long?." Rengekan Kia memecah keheningan.

Dengan sigap Sita segera menggendong Kia dan mencium pipinya. "Maaf, tadi macet."

"Don't leave me alone." Kia lalu memeluk kakak tersayangnya itu.

Tanpa sengaja, mata Farani dan Kia bertemu. Segera Kia melepaskan pelukannya dan membisikkan sesuatu di telinga Sita. Hal yang tak pernah dilihat oleh Farani terlihat. Sita tersenyum!

Iya, Sita tersenyum.

Memang mereka belum terlalu kenal dan akrab, tapi sejak pertama Farani mengenal Sita, dia belum pernah melihat lelaki itu tersenyum. Bahkan menarik sudut bibirnya pun belum.

'Gue pikir urat senyumnya udah putus, ternyata nggak.' batin Farani sambil menganggukkan kepala.

avataravatar
Next chapter