24 Be Different

Waktu berjalan dengan sangat cepat. Setelah wisuda, Fareza hanya tinggal beberapa minggu sebelum akhirnya dia berangkat ke Samarinda. Rere harus kembali ke Bandung, kota dimana dia berasal dan berkumpul dengan keluarganya.

"Re, trus lo bakal LDRan sama abang gue?"

"Iya, mau gimana lagi?"

"Kalo abang gue selingkuh gimana?" goda Farani.

"Nggak papa, biarin dia puas main sebelum akhirnya nikah." dengan kalem Rere menjawab. "Lo sendiri, gimana sama Sita?"

Mendengar pertanyaan Rere, Farani langsung tersenyum malu. "Nggak gimana-gimana."

"Nggak gimana-gimana kok dari tadi chat mulu sama Sita?"

Farani langsung meletakkan HPnya, mengganti kegiatan. Hari ini keluarga SIta akan sampai di Jogja. Seluruh keluarganya, termasuk Papa dan adik-adiknya. Kedatangan mereka bertujuan untuk membantu proses kepindahan Sita di Jogja.

"Hari ini keluarga Sita dateng, makanya gue mau bantuin dia." Farani menjelaskan.

"Padahal hari ini gue balik ke Bandung. Lo nggak mau bantuin gue?"

Ting tong.

Bel berbunyi. 'Itu pasti Sita' batin Farani sambil bangkit untuk membukakan pintu.

Benar saja, Sita berdiri di depan pintu. Yang membuat Farani terkejut, dia bersama Kia.

"Farani." langsung saja Kia memeluk Farani begitu melihat Farani.

"Wah kejutan nih." Farani membalas pelukan Kia.

Mereka lalu masuk ke dalam rumah menuju ruang tengah. Disana ada Rere, Fareza pun juga sudah keluar dari kamarnya dan bergabung dengan mereka.

"Kia, kapan dateng?" Rere menyapa Kia. Meski tidak akrab, Rere dan Kia saling mengenal.

"Semalem." jawab Kia sambil tersenyum.

Segera Kia dan Farani mengasingkan diri. Mereka berbincang heboh di kamar Farani, meninggalkan Sita dengan Rere dan Fareza. Sepertinya mereka melepas kangen setelah sekian lama tidak bertemu.

"Keknya adek lo yang pacaran sama adek gue." Fareza memperhatikan Farani yang masuk ke kamarnya bersama Kia.

"Kayanya gitu." Rere menganggukkan kepala.

"Padahal mereka selalu video call-an."

"Berapa lama keluarga lo disini?"

"Minggu pagi mereka balik. Adik-adik gue kan masih harus sekolah."

Rere beranjak dari posisinya untuk mengambilkan minum Sita dan Kia. Setelah mengantarkan minuman untuk Sita, Rere segera bergabung dengan Farani dan Kia di atas. Rere seperti punya feeling bahwa kedua lelaki itu ingin memiliki obrolan antar lelaki.

"Kapan lo berangkat?" tanya Sita saat mereka sudah berdua saja.

"Dua minggu lagi." jawab Fareza sambil mengganti chanel TV. "Lo bakal jaga adek gue kan?"

Sita menjawab pertanyaan Fareza dengan anggukan yang mantap. "Tapi kalo pada akhirnya kita berpisah gimana?"

Sontak pertanyaan itu membuat Fareza sedikit terkejut. Menurut Fareza, pertanyaan itu tidak bisa dijawab. Tapi, dengan tenang Fareza akhirnya menemukan kata untuk menjawabnya, "Kita liat aja nanti."

*

Minggu terakhir Raffi berada di rumah.

Semua barang yang akan dibutuhkan Raffi selama kuliah sudah dipacking dengan rapi. Niat awal, Raffi hanya akan membawa baju dan beberapa barang pribadi, estimasi hanya akan memerlukan 2 atau 3 koper. Tapi karena Mama ngotot ingin membantu Raffi packing, alhasik menjadi 3 koper besar dan 1 koper sedang.

"Ma, ini berlebihan banget deh. Apa aja yang ada di koper selain baju?"

"Selimut tambahan buat ganti, trus beberapa mainan kamu. Apalagi ya tadi yang Mama masukin?" Mama berusaha mengingat barang apa saja yang tadi dimasukkan ke koper. Melihat kelakuan Mama, Raffi hanya menggelengkan kepala.

"Nanti Raffi liat lagi, kalo nggak penting amat, Raffi tinggal ya?"

Dengan pasrah Mama menerima keputusan putranya. Kalau dipikir lagi, memang beberapa hal yang tidak penting Mama masukkan tanpa meminta persetujuan Raffi.

"Raff, jemput Adek ya. Mama mau ngopi cantik sama Adek." pinta Mama sambil membantu Raffi merapihkan kamarnya.

"Kenapa Mama nggak jemput Adek aja? Sekalian tuh minta ijin ke orangtua Adek kalo mau ngajakin pergi." balas Raffi sedikit sewot.

Bletak. Majalah otomotif milik Raffi mendarat mulus di kepalanya, membuat kepala Raffi berdenyut sakit. "Mama apaan sih? Sakit tau. Ini KDRT namanya."

"Iya, kenapa? Kamu nggak terima?" Mama dengan beringasnya memukuli Raffi dengan majalahnya, tanpa ampun. "Mama nyuruh kamu tuh biar kamu akrab sama orangtua adek. Jadi besok kalo mau lamaran tuh nggak canggung."

"Mama kayanya udah kesepian akut. Udah sana ajuin pensiun dini aja trus ngikut Papa." Raffi tidak mau kalah dengan Mamanya, sama-sama sewot.

Sekali lagi Mama memukulkan majalah Raffi ke kepala Raffi sebelum meninggalkan Raffi di kamarnya. Mama keluar dari kamar dengan wajah penuh emosi.

'Apaan sih Mama, main lamar aja. Suka aja nggak.' batin dalam hati.

Tak kalah emosi, Raffi melempar action figure miliknya. Raffi tidak marah dengan apa yang Mamanya katakan, dia hanya merasa seperti pengecut karena tidak bisa jujur dengan perasaannya sendiri.

Sekian tahun kenal dengan Farani, sekian tahun pula dia menyimpan rasa sukanya tanpa pernah sekalipun menyinggung di depan Farani. Dan sekarang dia tahu bahwa Farani sudah menjadi milik orang lain.

"Tapi, selama janur kuning belum melengkung, masih bisa diperjuangkan kan?" kata Raffi menyemangati dirinya sendiri.

Setelah berganti kaos, Raffi segera meraih kunci mobilnya dan berjalan turun. Di dapur, Raffi hanya sekilas pamit kepada Mamanya sambil lalu.

"Ma, Raffi jemput adek dulu."

Now or never, begitu pemikiran Raffi saat itu. Memang sudah terlambat untuk menyatakan perasaannya kepada Farani. Bukan hanya karena Farani sekarang sudah punya pacar, tapi juga Raffi akan berangkat ke luar negeri dalam waktu dekat.

Beethoven no. 15.

Farani membukakan pintu untuk Raffi. Beberapa saat yang lalu, Farani menerima pesan dari Raffi, mengabarkan bahwa Mama mengajaknya 'kencan'. bagai gayung bersambut, ajakan Mama datang tepat waktu. Farani yang sendirian di rumah merasa hampa karena tidak ada kerjaan.

Ayah tentu berangkat kerja, Bunda dari kemarin di rumah nenek karena ada saudara jauh yang datang berkunjung. Sedangkan Sita sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya.

"Ayo, gue udah siap." kata Farani yang bahkan tidak mempersilahkan Raffi untuk masuk ke dalam rumahnya.

Raffi mengangguk dan berjalan menuju mobilnya, membukakan pintu untuk Farani lalu masuk ke mobil. Ajakan Mama memang tidak pernah ditolak oleh Farani, dan ajakan Mama Raffi selalu datang disaat dia merasa sendirian tanpa ada kerjaan.

Entah kenapa, baik Raffi maupun Farani tidak mood untuk ngobrol. Biasanya, bahkan dalam perjalanan singkatpun mobil akan bising dengan celotehan keduanya. Perjalanan 20 menit pun tidak ada yang bersuara.

Begitu sampai di rumah Raffi, Farani hanya turun untuk berganti mobil. Mama sudah stand by di mobilnya, jadi begitu Farani masuk, keduanya langsung meninggalkan rumah. Meninggalkan Raffi yang sedang galau memikirkan nasib percintaanya.

Setelah memandangi HPnya beberapa saat, akhirnya Raffi memberanikan diri mengirim pesan kepada Farani.

'Besok ada waktu? Kalo ada, kita keluar yuk. Temenin gue ke pantai sebelum gue ke Paris.'

Mendapati pesan seperti itu, Farani langsung mengiyakan ajakan Raffi. Teman tersayangnya sedang berusaha mengatasi perasaan galaunya karena akan meninggalkan negara yang sudah ditinggalinya selama 18 tahun belakangan ini. Farani menganggap itu bukan hal yang mudah.

Ditambah lagi cerita Mama tentang Raffi yang belakangan ini lebih banyak diam ketika sedang berdua dengan Mama. Itu bukan kebiasaan Raffi untuk berdiam. Juga tadi saat perjalanan ke rumah, mereka hanya saling berdiam tanpa ada yang mengeluarkan suara sedikitpun.

avataravatar
Next chapter