54 Bagaimana?

Untuk beberapa menit, Papa Sita masih berdiri di ambang pintu ruangan. Raffi masih berdiri di dinding kaca. Fareza masih menundukkan kepalanya sambil sesenggukan. Penjelasan dokter tentang penyebab kepergian Sita terasa seperti angin lalu.

Apa yang ada dipikiran Raffi dan Fareza sama, Farani. Bagaimana mereka akan memberitahukan kabar buruk ini kepada Farani? Memang gadis itu akan tampak tegar, tapi itu hanya diluarnya. Apalagi Fareza dan Raffi sudah cukup mengenal Farani. Bagaimana gadis itu akan beraksi pun sudah dapat mereka gambarkan.

"Za," Raffi berusaha menarik kembali kesadarannya secara paksa. "Gimana Farani?"

Mata Fareza yang sembab terlihat merah dan bengkak. Pikirannya yang kacau tidak dapat memproses informasi atau perkataan Raffi dengan jelas.

"Gimana?"

Raffi menganggukkan kepalanya.

Melihat Raffi yang juga bingung, Fareza lalu mengeluarkan HPnya, memanggil bala bantuan untuk memperjelas keadaan.

"Lo dimana?"

"Gue di Jakarta sekarang. Kenapa?"

"Kesini." Fareza berusaha setenang mungkin. "Sita udah pergi."

Keheningan terasa diujung telepon. Rere yang merasa ada kejanggalan dalam suara Fareza benar-benar terkejut. Berita buruk macam apa yang dia terima disiang bolong seperti ini? Bagaimana mungkin Sita meninggalkan mereka, padahal beberapa waktu yang lalu kondisinya membaik? Pasti ada kesalahan.

Jeda keheningan ditelepon terasa sangat lama, hingga akhirnya suara Rere terdengar lagi.

"Gue kesana sekarang." Lalu telepon terputus.

Terdengar suara langkah disamping mereka. Itu Papa Sita.

"Terima kasih kalian sudah mau repot-repot disini. Om minta maaf atas nama Sita, kalo selama ini dia ada banyaka salah." Ucap Papa Sita berusaha tegar.

Siapa yang akan tahan bila kehilangan orang yang disayanginya? Terlebih Sita adalah putra tertuanya yang sangat beliau sayangi. Bukan berarti membedakan antara anak-anak yang lain, tapi kedewasaan Sita membuat Papa Sita menaruh perhatian lebih untuk Sita.

Ditambah, belum lama ibu dari anak-anaknya juga meninggal. Bagaimana beliau akan mengabarkan berita buruk ini kepada ketiga anaknya yang lain? Terlebih kepada Kia yang sangat dekat dengan Sita.

"Reza juga minta maaf kalo selama ini ada banyak salah ke Om sama Sita." Tangis Fareza pecah dipelukan Papa Sita.

Disisi lain, Raffi hanya bisa menatap dinding putih yang ada di depannya. Harusnya dia adalah orang yang paling bahagia dengan tidak adanya Sita. Itu berarti saingan terberatnya untuk mendapatkan hati Farani telah tersingkirkan. Tapi entah kenapa, ada beban yang sangat berat yang sekarang dipikulnya. Rasanya ini tidak adil untuk orang-orang yang menyayangi Sita dengan sepenuh hati.

Terlebih untuk Farani.

Meski Raffi tidak menyukai kedekatannya dengan Sita, tapi dia tidak pernah sekalipun memiliki niat buruk untuk Sita. Apapun selama Farani merasa bahagia, dia akan merasa bahagia juga. Tapi sekarang kebahagiaan Farani sudah pergi. Bagaimana berita ini akan disampaikan? Dan bagaimana gadis itu akan bersikap?

Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepala Raffi dan semuanya berkisar tentang Farani, Farani dan Farani. Hanya itu yang ada dipikirannya.

Setelah dua jam proses panjang untuk kepulangan Sita, Raffi dan Fareza masih setia disamping Papa Sita. Rencananya, Sita akan langung dibawa terbang ke Jakarta. Dia akan dimakamkan di dekat Mamanya. Mendengar keputusan itu, Fareza dan Raffi langsung memikirkan Farani. Apa dia tidak akan pernah melihat kekasihnya untuk yang terakhir kalinya?

Seperti mengetahui pemikiran kedua pemuda itu, Papa Sita mendekat.

"Jam berapa Farani kelar kuliah? Om tunggu sampai Farani datang."

"Harusnya udah kelar. Gue jemput." Raffi mengajukan diri.

Anggukan dari Papa Sita dan Fareza menandakan mereka menyetujui ususaln Raffi.

Papa Sita menyadari arti kehadiran Farani bagi Sita. Tidak hanya bagi Sita, Kia yang sedikit sulit bergaul pun merasa dekat dengan Farani. Gadis itu sudah mengubah Sita yang dingin dan cuek menjadi pemuda yang lebih hangat dan peduli dengan sekitarnya. Bahkan Sita rela menolak rencana study keluar negeri yang sudah diajukan oleh beliau.

Diparkiran, Raffi tertunduk lemas dan menyesali usulan yang dia utarakan untuk menjemput Farani. Bagaimana nantinya dia akan menjelaskan tentang situasi ini kepada Farani?

'Lo udah kelar?' pesan text meluncur dari HP Raffi.

Tak berselang, balasan masuk ke HP Raffi. 'Udah, kenapa?'

'Gue jemput ya, nanti mobil lo titipin temen.'

'Oke.' Hanya itu balasan dari Farani.

Langsung saja Raffi meluncur ke kampus Farani. Bersiap dengan segala kemungkinan yang ada.

*

"Genks, gue titip mobil dong. Ada yang bisa bawa nggak?" kata Farani setelah menyimpan HPnya.

"Gue nggak bisa bawa mobil, tapi kalo nyetir bisa." Tika menjawab dengan jahilnya.

"Emang kenapa?" tanya Sasha.

"Gue mau dijemput."

"Sama Sita?"

"Bukan." Farani menggelengkan kepalanya. "Raffi ntar yang jemput."

"Kok lo sekarang sering jalan sama Raffi? Gue jadi curiga deh." Jiwa detektif Amel muncul.

Jiwa detektif apa jiwa gossip?

"Lo nggak putus sama Sita kan?" Tika mulai curiga juga.

"Nggak lah, ngapain gue putus sama Sita? Mumpung dia ada di Indonesia, makanya gue sering jalan sama dia. Gitu doing."

Laki-laki yang sedang menjadi perbincangan mereka tiba-tiba muncul. Raffi berjalan menuju kearah kumpulan empat orang gadis yang sibuk bergosip.

"Sori lama." Kata Raffi saat sampai di dekat Farani.

Ketiga teman Farani langung diam setelah Raffi mendekat. Selain karena pemuda itu yang jadi topik pembicaraan, ketiganya terpesona oleh ketampanan Raffi. Bahkan Amel yang cuek karena sudah punya kekasih pun langsun memfokuskan pengelihatannya ke arah Raffi.

"Nggak masalah." Farani berdiri, memungut beberapa barang dan memasukkannya kedalam tas. "Ini kuncinya, nanti kabarin gue sapa yang bawa. Oke?"

Ketiganya hanya bisa menganggukkan kepala tanpa mengalihkan pandangan dari Raffi.

Lalu Farani meninggalkan ketiga sahabatnya yang masih terpesona oleh Raffi. Diikuti Raffi yang menyusul Farani.

Diparkiran, Raffi masih belum bisa membahas Sita di hadapan Farani. Dia masih sibuk harus memulai darimana menyampaikan kabar itu.

"Kenapa jemput? Lo kan tau gue bawa mobil."

"Hah? Oh, itu Fareza yang minta." Lalu Raffi mengemudikan mobilnya.

Otak Raffi masih berputar memikirkan situasi sekarang. Bagaimana adalah awalan dari sebuah pertanyaan yang sedari tadi dipikirkannya. Sesekali melirik ke arah Farani membuat Raffi makin tidak bisa memikirkan apa yang harus dilakukannya.

avataravatar
Next chapter