22 Awal yang Baru(?)

Pukul 22.00 WIB

Janji untuk pulang jam 8 malam tidak sesuai kenyataan. Farani dan Fareza jelas akan mendapat masalah kalau Bunda menyadari bahwa kedua anaknya pulang terlambat.

"Abang punya kuncinya kan?" bisik Farani sesaat setelah mereka turun dari mobil. Dengan mantap, Fareza menganggukkan kepalanya.

Mengendap-endap, keduanya memegang gagang pintu. Saat berusaha membuka pintu, tiba-tiba pintu terbuka.

"Ngapain kalian ngenda-endap kek maling gitu?" Ayah berdiri di balik pintu.

"Haduh, Ayah ngagetin aja deh."

"Dari mana aja kalian? Kenapa jam segini baru pulang?" pertanyaan Ayah bagai kereta apai, panjang dan tanpa henti.

"Abis dari rumah Raffi." Fareza menjawab tanpa berani memandang ayahnya.

"Mentang-mentang udah kelar kewajiban belajarnya trus pada seenaknya? Gitu?"

"Maaf Ayah, adek salah." Farani langsung memasang wajah memelas.

Tak tega melihat putri kesayangannya memelas, Ayah menghela napas. Menepi dari pintu masuk dan memberi isyarat untuk masuk ke rumah.

"Kalo sampe kalian pulang telat lagi, nggak usah pulang sekalian. Ayah dengan senang hati mencoret nama kalian dari kartu keluarga."

Mendengar amcaman Ayah, baik Farani maupun Fareza langsung berhenti. Wajah keduanya memucat bersamaan, bahkan tidak ada yang memberi aba-aba. Dengan langkah lemas, keduanya berjalan menuju menuju kamar masing-masing.

Kebiasaan sebelum tidur, Farani mengecek HPnya. Dan disana, pesan yang selalu ditunggunya menampakkan diri. Pesan dari Sita. Sita mengabarkan bahwa dirinya sudah di terima disebuah perusahaan swasta yang berlokasi di Jogja. Sesuai dengan apa yang selama ini diharapkan oleh Sita.

"Apa lo yakin akan bekerja di Jogja? Gajinya nggak sebanyak kalo lo kerja di Jakarta." balas Farani.

Drrtt. Kaget karena panggilan masuk, Farani menjatuhkan HPnya. Tanpa membuat suara yang terlalu berisik, Farani mengambil HPnya yang tergeletak dibawah kursi belajarnya dan segera mengangkat telepon. Dari Sita.

"Halo?"

"Udah tidur?" balas suara diseberang.

"Belum. Gimana?"

"Nggak papa. Cuma mau mastiin lo sampe rumah dengan selamat."

Tersipu, pipi Farani langsung berubah warna menjadi merah. "Udah sampe rumah. Anyway, lo keterima kerja dimana?"

"Ada lah. Tapi bukan perusahaan yang terkenal."

"Nggak papa, asal nggak maling sama korupsi."

"Kia bilang dia kangen, tanya kapan lo bisa ke Jakarta lagi."

"Gue juga kangen sama Kia, …"

"Sama gue?" Sita segera memotong perkataan Farani.

Mendengar pertanyaan Sita yang tiba-tiba membuat Farani tidak bisa berkata. Kalau boleh jujur, Farani jelas akan menjawab iya, tapi …

"Gue tunggu lo ke Jogja." lalu Farani menutup telepon.

Meletakkan HPnya di meja dekat tempat tidurnya, Farani tersenyum lebar. Sepertinya ada seseorang yang berbahagia malam ini. Oh iya, satu lagi yang berbahagia. Dia yang jauh disana, berbeda kota juga merasakan kebahagiaan. One step closer.

*

Semua memulai rutinitas pagi harinya. Ayah sibuk sarapan sebelum berangkat kerja, Bunda yang sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya, Fareza yang sibuk bermimpi dan bermalasan karena sudah bebas tugas dan Farani yang sama seperti Fareza menikmati hari bebasnya.

Farani segera terbangun, mengecek HPnya. Semalam rasanya dia bermimpi mendapat pesan dari Sita. Setelah mengecek dan mencdapati pesan dari Sita, Farani segera tersenyum puas. Itu artinya dia dan Sita akan lebih mudah untuk bertemu.

'Ternyata semalam bukan mimpi'

Sekembalinya dari Jakarta beberapa waktu, hubungan keduanya menjadi lebih dekat. Meski begitu, Sita masih Sita, orang yang irit kata dan irit ketikan. Namun mereka berdua lebih banyak berkirim pesan daripada sebelumnya.

Dengan tergesa-sega, dia bangun dan berlari menuju kamar kakaknya. Melihat kakaknya masih terlelap, Farani langsung membalikkan selimut dan menarik kakaknya. "Abang, bangun. Ada berita bagus nih."

"Apa sih? Nanti aja kenapa?" sambil menarik selimutnya, Fareza mengabaikan adiknya.

"Abang." Membisikkan tepat di telinga Fareza, Farani tidak mau menyerah begitu saja.

"Apa?" dengan pasrah, Fareza membuka matanya.

"Sita semalem ngirim pesan, katanya dia udah keterima kerja di Jogja." Dengan semangat, Farani memberitahukan berita itu kepada Fareza.

Anggukan lemah diberikan oleh Fareza. Dia ingin ikut berbahagia untuk adiknya, tapi disatu sisi dia sedang mengantuk karena baru bisa tidur jam 3 pagi.

"Nanti gue telepon Sita deh. Udah ya, mau tidur bentar lagi."

Baru saja Fareza meletakkan kepalanya dibantal, telinganya tiba-tiba terasa sakit karena dijewer.

"Enak ya Bang mau tidur lagi. Kemarin siapa yang janji mau anter Bunda ke tempet Nenek?"

Seketika Fareza langsung bangun. Bahkan matanya yang tadi terasa berat, langsung bersinar cerah begitu melihat Bunda. Apalagi janji untuk mengantar ke rumah Nenek.

Setelah Ayah berangkat kerja, Fareza mengantar Bunda ke rumah Nenek. Karena di rumah sendirian, Farani akhirnya memutuskan untuk ikut. Lagipula nanti siang dia harus ke rumah Raffi, kalau berangkat sendiri tentu akan merepotkan, naik taksi juga akan keluar uang lebih.

Siangnya, sesuai perjanjian, Farani ke rumah Raffi hari ini untuk membuat roll cake kesukaan Farani. Begitu sampai dirumah Raffi, Farani langsung menuju dapur, membantu Mama menyiapkan beberapa bahan yang kemarin sudah dibeli. Fareza yang ngotot menemani Farani langsung menuju kamar Raffi. Sudah bisa ditebak mereka berdua akan sibuk main game lagi.

Saat sedang membuat cake, Mama tiba-tiba berkata serius, "Dek, Mama berharap kamu bisa selalu nemenin Raffi. Mama pengen dia nggak merasa kesepian karena Mama sama Papa nggak bisa selalu ada nemenin dia."

"Mama kenapa sih? Dari kemarin bahasnya kek gitu?" tentu Farani sangat penasaran dengan sikap Mama Raffi yang tiba-tiba mellow.

"Nggak tau, Mama ngerasa beda aja. Saat Raffi sama Adek dan saat Raffi sama Mama tuh rasanya beda. Raffi lebih plong kalo sama adek." mata Mama tiba-tiba berkaca-kaca.

Farani mengerti perasaan Mama. Mama yang sayang kepada Raffi tentu menginginkan yang terbaik untuk putranya, tapi karena harus berpisah karena pekerjaan membuat keduanya memiliki jarak yang tidak sedikit. Meski terlihat akrab, tak jarang keduanya merasa canggung satu sama lain. Dan menurut Mama, Raffi bahkan tidak bisa curhat dengan lepas kepada Mama.

Mama menumpahkan semua keganjalan yang ada dihatinya. Tentang kekhawatiran Mama saat harus terpisah dengan Raffi dan juga perasaan bersalahnya karena tidak bisa selalu berada disisi anak tersayangnya itu.

Menurut pandangan Farani, menjadi Raffi bukan hal yang mudah. Memang sekarang dia sudah berusia 17 tahun, tapi tetap saja di usianya itu dia membutuhkan sosok orangtua sebagai pendamping dan juga pengawas dalam hidup. Apalagi emosi anak usia seperti dirinya, terkadang naik turun.

Mama segera menghapus air matanya. Beliau tidak ingin Raffi melihat kesedihan yang jelas tergambar di wajahnya itu. Betul saja, tak lama berselang, Raffi keluar dari kamarnya sambil beradu mulut dengan Fareza. Mereka dengan sengitnya beradu argument tentang siapa yang lebih kuat dalam hal bermain game.

"Kalian ini ya, bisa nggak sih nggak rebut soal game?" sambil berkacak pinggang, Mama mengomeli Raffi dan Fareza. Sepertinya mood Mama sudah kembali.

"Ma, wajar dong kita bahas game. Daripada kita bahas cewe, Mama malah makin emosi dengerinnya." Balas Raffi sambil melakukan tos dengan Fareza. "Kapan kuenya jadi? Udah laper pengen nyicip ini kita."

"Nyicip itu dikit ya. Nanti kalo udah jadi, porsi nyicipnya ditentukan." Dengan tegas, Farani menentukan batasan antara nyicip dan doyan.

avataravatar
Next chapter