webnovel

Marah.

Adiba terlihat memikirkan sesuatu. Dia merasa menyesal karena marah akan perkataan dari sang kekasih hati. Dia saja dan kembali menghubungi nomor calon imamnya.

'Tindakan ku memang salah. Seharusnya aku tidak marah karena memang benar. Kami hanya hamba yang dititipi cinta,' batinnya. Adiba segera menekan tombol telepon.

Panggilan masih menunggu. "Assalamualaikum ... calon kekasih halal. Aku yakin marahmu akan meredam. Cintaku ... jangan diam saja." Mendengar itu dari pujaan hati Adiba tersenyum tipis. "Aku yakin kamu disana tersenyum," imbuh Ridwan.

"He, bagaimana aku tidak tersenyum. Kamu mampu merayu ku. Kak, bagaimana bisa aku kehilanganmu, suaramu saja selalu mengiang-ngiang di telingaku. Aku pun sulit tidur, jika tidak tahu kabar tentangmu. Aku malu mengungkapkan cintaku yang keterlaluan kepadamu. Jika Allah tahu pasti Allah marah kepadaku. Karena aku telah membagi cintaNya dengan hamba. Astaghfirullah ... Tapi itu bukan kesalahan karena aku ingin kau menjadi kan aku makmummu. Di relung hidupmu, di lembah-lembah hidayah yang Allah berikan. Kak ...." Suara wanita itu mah rendah.

"Naam (ya)" jawab Ridwan singkat.

"Apakah benar aku tulang rusuk mu?" Pertanyaan itu membuat Ridwan tersenyum.

"Wallahu a'lam." Sungguh singkat jawaban dari Ridwan. Sama sekali tak membuat Adiba yakin akan dia. Senyuman Adiba memudar. Lebih terkejut lagi saat telepon itu terputus. Adiba pasrah dengan sedikit kecewa.

"Wallahu a'lam katanya? Terputus pula teleponnya," keluhnya lalu beranjak dari sofa.

Dringggg.

Dengan cepat Adiba mengangkat telepon itu dan kembali duduk. "Halo ... Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam kenapa terputus? Kamu marah lagi? Kamu tidak marah kan?" tanya Ridwan sangat penasaran. Adiba tetap saja diam. "Cinta kita hanyalah apa ... jangan sampai kita keterlaluan. Jangan sampai cinta kita melemahkan iman kita kepada Allah. Cintaku untukmu tiada batas pemisah, rasaku untukmu lebih dalam dan lebih luas daripada lautan dan samudra. Allah subhanahu wa ta'ala tahu itu, dan allah sendiri yang memberikan cinta itu kepada kita. Di setiap pejamkan mataku aku sering menghayalkan kamu. Padahal itu maksiat, namun cintaku insyaallah bukan nafsu. Bukan amarah, bukan pula obsesi. Allah telah menurunkan cinta di mana-mana kepada siapa saja. Seperti Nabi Adam dan Siti Hawa. Seperti nabi Musa dan Shafira, seperti nabi Yusuf dan Siti Zulaiha. Nabi kita Muhammad dan Siti Khodijah. Serta sayyidina Ali dan Siti Fatimah Azzahra. Aku memang bukan di antara para suami yang bisa sempurna dalam menjalankan tugasnya. Aku kan belajar dari semua kisah para Nabi. Yang cintanya abadi walau maut memisahkan. Jika kau tanya berapa banyak cintaku. Cintaku lebih banyak dari air lautan, lebih ribuan bahkan miliaran dari derasnya yang hujan. Aku selalu ingin membimbing mau seperti nabi Sulaiman yang menjaga imannya ratu Bilqis. Seperti kesabaran nabi ayub ketika ditinggalkan sang istri Siti Rahma. Dan tugas menghukum istrinya dengan 100 pecutan lidi. Nabi Ayub meringankan dengan pecutan pelan. Karena Siti Rahma benar-benar mencintai apa adanya saat kondisi nabi Ayub terpuruk. Siti Rahma rela menjual rambutnya padahal rambut itu sangat disukai oleh Nabi Ayub."

"Dan aku ingin menjaga kamu seperti Siti Rohmah, yang tetap setia menjaga nabi Ayub dalam sakitnya, walaupun nabi Ayub tidak pernah tahu betapa beratnya pengorbanan Siti Rahma. Pada akhirnya pun Nabi Ayub alaihissalam bahwa pengorbanan siti Rahma sangatlah berat. Apa menurut kakak cobaan kita sudah berat. Karena menurut percobaan kita sangatlah berat. Kita penuh perjuangan. Apa itu masih kurang?" tanya Adiba.

"Kenapa pujaan hatiku berbicaranya seperti itu? Tidak baik Adiba. Jangan terlalu berlebihan dulu oh memang akan menjadi milikku namun seutuhnya kau dan aku masih milik Allah. Aku rela berjauhan dan berjuang untuk mendapatkanmu mendapat restu dari ayah ibumu. Karena aku memang tidak ingin Allah marah kepadaku, karena aku telah bersikap durhaka jika aku merebutmu dari orang tuamu. Aku terlalu takut jika sama-sama berlebihan dalam cinta duniawi, mengartikan cinta yang telah Allah beri. Aku ingin menjadi imam dan pemimpin mu. Namun kita belum tahu apa rencana Allah selanjutnya. Aku tidak ingin Allah memisahkan kita, tapi apa salahnya kita hati-hati."

"Tuh, kan mulai lagi! Jangan mulai berkata seperti itu," sahut Adiba dengan suara sangat serak menahan tangis.

"Adiba ... jika hal itu terjadi janganlah diantara kita membenci takdir Allah. Aku meminta itu kepadamu. Jika cinta tidak dapat kita miliki cinta biarlah berhijrah."

"Aku tahu, namun aku takut. Kak jangan membahas itu lagi, aku tidak suka, ini antara kita Kak, jangan membicarakan aneh-aneh di saat pernikahan kita tinggal menghitung jam. Kau tahu berapa lama aku diam atas cintaku, kepadamu, aku mendambamu, dan aku belum siap jika Allah memisahkan kita. Begitu berat menghadapi cobaan, kita menjalin hubungan hampir tujuh tahun. Kita sudah menghadapi berbagai hal. Walau Allah tahu seberapa kuat nya aku atas cobaan yang telah diberiNya. Namun kali ini aku tidak mau sakitnya aku jika harus kehilanganmu. Aku sudah pernah merasakan kehilangan mu ketika cinta kita tidak direstui. Dan aku tidak ingin mengulang hal itu lagi. Aku menahan nafsu ku karena agama umat islam sahabatku ketika aku ingin bersandar di bahumu. Aku menahan semua karena Allah melarangnya. Karena status kita yang belum halal. Aku juga ingin bermesraan seperti mereka, namun aku takut kepada Allah atas dosa dalam tatapan pandangan bayangan menjelma dan melintasi hati. Oh tahu melepaskan gelora semua itu tidak mudah, bahkan menyakitkan. Kak ... aku tidak tahu apa jadinya aku tanpa dirimu. Seharusnya aku tidak boleh mencintai hamba Allah terlalu berlebihan. Lalu perlahan merupakan kenikmatan yang sudah Allah beri naudzubillah ... semoga Allah menjaga hatiku. Aamiin." Adiba mengusap wajah.

""Aamiin semoga Allah mengabulkan doa aku dan doa mu," kata dari dalam telepon.

"Kita sama-sama meredam syahwat ketika kita ingin. Aku juga tidak tahu apa jadinya aku tanpamu. Kita harus selalu mengingat Allah dan berfikir panjang dan takut kepada-Nya walaupun tiada bukti cintaku padaNya, namun ikhtiar ku dan tawakal ku selalu kujaga, kehormatan tahta sebagai wanita aku juga sudah menjaga dengan itu dengan maksimal," jelas Adiba.

"Alhamdulillah kau akan tetap menjadi wanita solehah. Karena selama ini kamu tahan menanti ku. Kamu tidak pernah menurut nafsu saat kita bertemu. Kita juga bukan lagi anak-anak yang usage merasakan sebuah perasaan yang aneh. Aku tidak mau cintaku hanyalah sebatas pembicaraan, perkataan romantis. Selama ini aku sudah berusaha membuktikan, aku benar-benar mencintaimu hanya seorang. Semoga nanti ketika kita benar sudah ada di pelaminan dan menjalani hubungan ikatan suci. Allah selalu memasarkan cinta kita Aamiin ya robbal alamin." perkataan sederhana dari calon suami sudah sedikit menenang kan Adiba.

"Aamiin," sahu Adiba menatap langit-langit.

Dengan lirih ridwan berkata, "Entah mengapa kekasihku, aku sangat ingin bertemu denganmu namun aku sangat merasa semakin dekat dengan Allah." Ridwan merendahkan suara hingga Adiba tidak paham dengan perkataannya.

"Apa?" tanya adiba penasaran.

"Suara adzan sudah berkumandang. Cepatlah sholat calon makmumku Insya Allah besok pagi aku akan ke rumah doakan Umi dan Abah. merestui, aku datang untuk melepas rindu yang tertahan. "Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam." Sangat jelas ada kecemasan.

Bersambung...

Terima kasih Readers

Next chapter