2 2. Awal yang pahit 2

"Benarkah kau sanggup dengan pekerjaan yang benar benar keras ini?" Tanya kakek Agus memastikan keputusan Lita.

"Benar kek, Apapun itu aku tidak perduli. Asalkan ibuku bisa sehat kembali." jawab Lita dengan wajah penuh harap.

"Hehhh.... pekerjaan ini sungguh berat dan tak ringan." Kata kakek Agus sambil mengusap keningnya.

"Apapun kek, apapun itu bahkan jika kakek menginginkan ginjalku pun aku akan menjualnya sekarang." Ucap Lita tanpa berfikir panjang.

"Tidak ini bukan pekerjaan gelap seperti itu. Tapi, pekerjaan ini akan mengurangi jam mainmu." kata kakek Agus sambil menatap Lita dengan teduh.

"Tidak apa apa kek. Aku rela seumur hidup tidak bermain dan hanya bekerja asalkan nyawa ibuku tertolong." Ucap Lita penuh keyakinan.

"Anak ini sungguh menyayangi dan berbakti kepada ibunya. Sangat sulit menemukan anak yang berbakti seperti ini di jaman yang berantakan ini." Gumam kakek sambil mengangguk perlahan.

"Pekerjaan ini akan mempertaruhkan kebahagiaan dan kebebasan masa depanmu." Ucap kakek memberi pilihan lagi bagi Lita.

"Tidak apa apa kek. Berapapun gajinya aku akan bekerja keras. Asalkan ibuku tertolong." Kata Lita penuh harapan.

Kakek Agus tersenyum sambil mulai berdiri dan berjalan perlahan.

"Ikut aku, akan aku beri tahu padamu apa pekerjaan barumu." Kata kakek Agus sambil menatap Lita serius penuh makna.

Tanpa berfikir panjang Lita langsung mengikuti kakek Agus dari belakang. Kakek Agus berjalan memasuki rumah sakit dengan santainya seperti sudah sangat hapal dengan tata letak setiap ruangan. Lita hanya mengikutinya tapi kini sudah mulai muncul banyak pertanyaan di kepalanya.

Setiap staf rumah sakit selalu menunduk setiap melihat kakek Agus lewat. Lita hanya memandang heran dan kebingungan. Tatapan Lita terus saja menyusuri setiap gerik dan suasana yang di laluinya.

"Apa, jangan jangan kakek ini adalah orang berpengaruh di rumah sakit ini?" batin Lita

"Oh, aku tau maksud dia dengan pekerjaan kasar dan berat adalah aku akan menjadi tukang bersih bersih di sini dan semua gajiku akan di potong untuk biaya ibu."

"Hhhh.... tidak apa apa aku ikhlas asalkan ibu bisa bernafas dengan sehat." Batin Lita dengan pikiran positifnya.

Sampailah di salah satu ruangan tepat di lantai paling atas di sudut terakhir yang ada di lorong. Pintunya cukup besar untuk ukuran ruangan seorang dokter. Semua warna dinding berwarna putih, warna yang sangat identik dengan rumah sakit.

Masuklah kakek Agus dengan perlahan kedalam ruangan itu. Tertulis di sebuah papan yang tercantum di pintu.

Kantor direktur.

"Kantor direktur? Kakek ini dia direktur?" batin Lita sambil melongo melihat isi seluruh ruangan.

Terpajang sebuah foto keluarga besar yang hanya beranggotakan dua orang tua dengan satu wanita paruh baya dan dua orang anaknya. Mata Lita terus saja menatap kagum foto itu. Karena terlihat sekali kemewahan dan kehangatan di dalam foto itu.

"Kenapa? kamu bingung melihat foto kakek ada di sana?" Tanya kakek Agus sambil tersenyum ramah.

Lita mengangguk.

"Rumah sakit ini adalah milikku." Kata kakek Agus.

Lita semakin terheran heran mendengar ucapan kakek Agus. Lita sampai menelan ludahnya karena merasa tak percaya jika doanya akan di kabulkan secepat itu.

"Baca ini, dan isilah. Lalu kau bisa bekerja denganku. Dan aku dengan segera akan memberikan pelayanan terbaik untuk ibumu." Kata kakek Agus sambil memberikan dua lembar kertas putih pada Lita.

Lita dengan bahagia dan semangatnya langsung mengisi begitu saja setiap titik-titik yang ada. Tanpa mencermati atau teliti membaca tiap lampiran peraturan yang ada pada surat itu.

Kakek Agus sedikit tersenyum melihat kebodohan Lita yang ceroboh tanpa membaca tiap penjelasan dan keterangan yang terlampir dalam surat itu.

"ini kek sudah."

"Tanda tangan jangan lupa." jawab kakek.

"Sudah kek." ucap Lita yakin.

"Sudah kamu baca?" tanya kakek Agus memastikan.

"Sudah kek." Jawab Lita yakin.

"Baik, ini salinannya untuk kamu dan yang asli kamu kakek yang simpan." kata kakek Agus santai sambil menyimpan surat kerja sama itu kedalam brangkas.

"Siapa nama ibumu?" Tanya kakek Agus sambil memegang gagang telepon yang sudah siap untuk menelfon.

"Ayu Saraswati. kamar ICU." Jawab Lita dengan wajah bahagia.

"Kamu bacalah surat itu dengan teliti." kata kakek Agus sambil melanjutkan menelfon seseorang.

"Hallo, siapa yang bertanggung jawab atas pasien ICU dengan nama ibu Ayu Saraswati?"

"Berikan perawatan maksimal, berikan yang terbaik semaksimal mungkin. Pasien itu adalah ibu dari cucu menantu saya. Jadi, kalian harus bekerja dengan sangat teliti dan sempurna untuk kesembuhannya." Ucap kakek Agus sambil menutup panggilannya.

Seperti tersambar petir di siang hari mendengar ucapan kakek Agus yang mengatakan jika ibu Ayu adalah ibu dari cucu menantunya. Lita seketika menjadi lemas karena secara bersamaan mendengar sekaligus membaca isi surat yang sudah di tanda tanganinya.

"Aku kira itu hanya formulir pendaftaran kerja. Tapi ternyata ini adalah surat perjanjian yang mengharuskan aku menikah dengan cucu kakek hingga 7 tahun?

Harus mampu memberikan keturunan lebih dari dua sebagai penerus keluarga Alfiansyah?

Harus merahasiakan perjanjian ini dari pihak manapun termasuk Robby Alfiansyah?" ucap Lita sambil membaca salinan surat perjanjian.

"Kek, apa maksudnya ini?" tanya Lita yang baru saja tersadar dari kebodohannya.

"Ya itu, sudah jelas semuanya kan. Aku hanya ingin kamu bekerjasama denganku untuk menikah dengan anak bandel itu. Hanya tujuh tahun." kata kakek Agus dengan santai.

"Lalu soal anak? bagaimana kami bisa punya anak kalau kami tidak saling cinta?" Kata Lita dengan wajah polosnya.

"Itu urusan kecil. kalian tidak harus berhubungan badan. Ini sudah jaman canggih. soal kenapa harus menikah jika hanya menginginkan keturunan lagi. Aku yakin itu ada dalam otakmu."

"Status itu hanya memberikan kenyamanan kepadamu saat mengandung agar tidak mendapat tudingan miring dari orang orang." jawab kakek.

"Ba... bagaimana jika aku membatalkan perjanjian ini?" Tanya Lita dengan wajah bingung.

"Terserah, aku tidak akan memaksa. Tapi semua fasilitas untuk ibumu juga akan berhenti detik ini juga. Dengar aku hanya ingin kita bekerja sama demi keuntungan bersama. Soal anak jika nanti kalian bercerai, maka aku akan tetap menjamin tunjangan hidupmu. Bahkan aku akan memberikan 15% saham dari perusahaan ku." jawab Kakek Agus sambil memberi makan ikan di akuarium mininya.

"Tidak apa Lita, menikah itukan ibadah dan berpahala. Lagian juga ini semua malah memberikan banyak keuntungan padamu. Lanjutkan saja Lita."Pikir Lita saling berdebat.

"Lalu mulai kapan aku akan bekerja kek?" tanya Lita dengan pasrah.

"Bersiaplah, Minggu depan kalian akan ku nikahkan." Jawab kakek dengan senyum bahagia sambil mengotak-atik ponselnya.

avataravatar
Next chapter