1 01. Awal yang pahit

"Bangun Bu, bangun!" Ucap Lita lirih dengan Isak tangis menyelingi suaranya.

Malam itu sepi dan sunyi. Hujan dan gemuruh petir saling bersautan. Deras air hujan membasahi tanah menciptakan suasana mencekam. Lita berjalan di jalan setapak seorang diri menahan tangis dan kebingungan yang amat sangat.

Dirinya tak kuasa menayangkan hal terburuk apa yang akan menimpa sang ibu. Satu satunya kerabat yang di milikinya saat ini hanyalah ibunya. Sedari kecil Lita sudah di tinggal sang Ayah yang hilang saat melaut dan tak kunjung kembali hingga kini.

tok.... tok.... tok....!

"Assalamualaikum, bude."Panggil Lita pada sosok Bu Asri yang di panggilnya bude sedari dia kecil.

Bu Asri bukan sanak saudara atau kerabat Lita, melainkan hanya seorang yang baik hati yang mengijinkan kita dan Bu Ayu ibu Lita untuk menempati sebuah rumah kecil di dekat ladang mereka. Iya hanya rumah kecil di pinggir ladang itulah kediaman Lita.

"Lita? ada apa nduk? kamu kenapa nangis?" Tanya Bu Asri dengan khawatir sambil menyeka air mata Lita.

"Ibu tadi jatuh terpeleset bude. Aku enggak tau, tapi pas aku bangunin ibu ga bangun bangun bude. Aku takut ibu kenapa kenapa." Jawab Lita dengan wajah sembab dan suara parau.

"Pak ne, Cepetan to. ini Bu Ayu pingsan itu lho." Seru ibu Asri panik memanggil pak Joko.

"Opo bu? pingsan? walah, ayo cepet cepet. Kalian pulang dulu aku sama Pandu mau panggil pak mantri sekalian."

"Pandu, ayo nak. keluarkan motornya. kita kerumah pak Mantri Hasan." Seru pak Joko memberi perintah kepada Pandu yang sedang melipat sarung karena selesai menunaikan ibadah sholat isya.

Lita dan Bu Asri berlari pulang kerumah Lita. Sesampainya di rumah Lita Bu Ayu masih tergeletak diatas ranjang nafasnya seperti sesak tak beraturan tetapi dengan mata yang terpejam. Lita menyelimuti tubuh ibunya sambil menangis serta memijit kaki Bu Ayu.

Air mata Lita masih terus menetes dengan derasnya. Bu Asri yang panik juga ikut menangis melihat keadaan Bu Ayu. Sesekali Bu Asri memijit mijit tangan Bu Ayu untuk merangsang kesadaran Bu Ayu.

Tak lama berselang dengan basah basahan pak Joko dan Pandu datang membawa pak Hasan. Pak Hasan memeriksa Bu Ayu. Pak Hasan menggelengkan kepalanya setelah memeriksa Bu Ayu.

"Nduk, kita bawa kerumah sakit saja. Sepertinya keadaan ibumu cukup serius. Bapak mengira jika ibumu sedang koma saat ini." Ucap pak Hasan.

"Iya pak. Apa yang terbaik sajalah untuk Bu Ayu. Kami ingin Bu Ayu cepat mendapat penanganan." Ucap Bu Asri.

Seketika tubuh Lita seperti membeku mendengar ucapan Bu Asri. Apa yang ada di benak Lita adalah jejeran angka dengan tambahan beberapa nol yang berbaris rapi di belakangnya. Lita menjadi semakin sesak mendapati keadaan yang sungguh tak pernah di duganya itu.

Lita hanya diam hingga saat ibu Ayu di bawa kerumah sakit dengan mobil bak terbuka milik pak Joko. Saat itu untung saja hujan sudah reda. Lita dengan bingung dan sedih hanya duduk di kursi tunggu sambil menunggu hasil pemeriksaan dokter.

Tak berselang lama dokter keluar dari ruangan UGD, yang di ikuti oleh perawat yang mendorong brankar menuju ke ruang ICU. Lita hanya bisa menangis dan mengikutinya dari belakang. Tubuh Lita semakin lemas saat membaca tulisan yang menempel di kaca pintu ruangan itu.

"ICU. Ini ruangan yang paling mahal dengan segala peralatan yang ada." pikir Lita sambil duduk bersandar di kursi tunggu.

"Mbak, mbak ganti baju dulu ya. Baju mbak basah, nanti bisa masuk angin."Ucap pandu dengan polosnya sambil menatap sedih Lita.

" Pandu. Sini kamu duduk disini dulu ya temani bude Ayu. Mbak mau ke kamar mandi dulu." Ucap Lita kepada Pandu dengan lembut.

Bu Asri yang sengaja pulang duluan dengan niatan membawakan segala keperlua Lita untuk menjaga Bu Ayu. Sedangkan Pandu sebelum datang menemui Lita, dia telah membeli baju ganti untuk Lita meskipun dia sendiri basah seluruh tubuh.

"Mbak Lita, semoga baju ini pas dengan ukuran tubuhmu. Aku tidak tau harus membantu apa atau harus berbuat apa untukmu." Gumam Pandu sesaat sebelum memberikan baju kepada Lita sambil terus menatap kepergian Lita yang perlahan menghilang.

Lita menangis sedih dalam sujudnya. Dia tidak tau harus berbuat apa dan harus mencari dana kemana lagi. Hutangnya dengan keluarga Pandu sudah sangat banyak. Tidak mungkin baginya untuk meminjam uang lagi apalagi sekarang bukan dengan jumlah yang sedikit.

Lita menangis dalam doanya berharap ada sebuah pertolongan dan keajaiban menghampirinya. Di dalam masjid itu dia tidak sendiri, ada seorang kakek tua yang juga sedang bermunajat kepada Tuhannya. Samar samar kakek itu mendengar Isak tangis Lita.

Entah semua sudah takdir dari yang maha kuasa atau memang hanya kebetulan semata. Lita berpapasan dengan kakek Agus saat akan melangkahkan kaki keluar dari masjid.

"Nak, maaf. itu sandal kakek yang kamu pakai." kata kakek Agus sambil menunjuk sandalnya yang telah di pakai Lita.

Karena pikirannya entah sedang melayang kemana hingga Lita salah memakai sandal. Bukan hanya itu bahkan pandangan Lita pun sangat hampa.

"Oh, maaf kek. Saya tidak sengaja." Jawab Lita dengan wajah setengah melamun.

"Gadis ini terlihat sekali jika sedang di rundung masalah besar." pikir kakek Agus sambil memakai sendalnya.

Penampilan kakek Agus sangat sederhana. Berbaju putih dan sarung coklat dengan kopiah putih bersih.

"Kamu, sedang sedih? kenapa menangis sampai seperti itu?" Tanya kakek Agus perhatian dan penasaran.

"Ibuku sedang sakit kek, dan aku tidak tau harus berbuat apa lagi. Aku tidak punya biaya kek." Ucap Lita polos dengan kesedihannya.

"Ceritakan, siapa tau kakek bisa bantu." Kata kakek halus.

"Mungkin dengan bercerita dengan kakek ini bisa meringankan sedikit beban di pikiranku ini." batin Lita polos.

"Ibuku sakit kek, dia terjatuh dan karena benturan keras di kepalanya ibuku sekarang koma. Aku butuh banyak uang kek untuk menyambung nyawa ibuku. Tapi aku tidak tau harus mencari kemana. Hutang kami sudah sangat banyak kek. Aku bingung." kata Lita sambil menangis sedih.

"Terimakasih ya Tuhan. Mungkinkah kau pertemukan aku dengan gadis ini sebagai tanda jika dia jodoh untuk cucuku yang bandel itu?" Pikir kakek sambil menatap haru Lita.

"Seandainya saja kakek bisa menolongmu." Ucap kakek Agus perlahan sambil duduk di sebelah Lita di tangga masjid.

"Aku akan bekerja keras kek, bahkan mati Matian untuk menyambung nyawa ibuku. Tapi aku juga tidak tau harus bekerja apa sekarang." Kata Lita masih dengan tangis sendunya.

"Aku akan melakukan pekerjaan apa pun untuk menolong dan menyambung nyawa ibuku kek. Tanpa alat alat itu, ibuku tidak akan bertahan lama." Kata Lita semakin menjadi dengan tangisnya.

"jika aku menawarkan pekerjaan yang tergolong sedikit berat dan kasar, bahkan bisa menguras tenagamu. Apa kamu bisa?" Tanya jelek serius.

avataravatar
Next chapter