2 2. Kamu Buat Aku Kikuk

"Unin..., haloooo..., memanggil Unin kembali ke Bumi!" Lola melambaikan tangannya tepat didepan wajah sahabatnya yang sedari tadi hanya bertopang dagu sambil memandangi jalanan dari balik jendela kantor mereka.

"Apa sih?" Unin tersadar dari lamunannya. Ya, ia belum bisa menerima kepahitan yang diberikan Ali. Walaupun ia menyibukkan diri, tetap saja hatinya belum bisa pulih atas penghianatan mantan kekasihnya yang ternyata tega membohonginya.

"Mau cari cuan gak nih? Mau bagi brosur lagi di pameran atau sebar di perumahan? Biar otaknya gak dipenuhin cowok yang gak penting lagi buat dipikirin. Untung aja gak jadi suami, kalau sampe nikah, serem deh. Kamu gakkan tahu kalau lagi diboongin dia." Lola bergidik membayangkannya. Ia sangat menyayangi sahabatnya yang kini masih patah hati. Mereka berdua bekerja sebagai Sales Marketing di bidang properti. Lola dan Unin sudah bersahabat sejak SMA, jadi sudah tahu luar dalamnya masing-masing.

Sambil menghela nafas panjang, Unin menjawab, "Oke, mungkin sekarang saatnya aku harus bangkit. Masih ada cicilan yang harus dibayar. Makasih Lola Aprilia, Sayang. Kamu udah kayak asuransi,"

"Asuransi? Apaan sih? Aku kan, jualannya rumah, tanah atau apartemen. Kok asuransi?" Lola mengernyitkan dahinya bingung.

"Iya, kayak asuransi. Always listening, always understanding, hahaha..." kekeh Unin.

"Bisa ajah. Ya udah yuk, kita let's go!" ajak Lola.

"Kita ke pameran aja, ya. Weekend gini, Mall suka ramai. Kali aja ada yang nyantol. Aku lagi males juga krliling di luar. Hatiku masih panas ni. Kalau di Mall kan adem," ujar Unin.

"Setuju. Sekalian cuci mata liat Sugar Daddy yang lebih kinclong dibanding berondong," canda Lola sambil tersenyum.

"Dih, serem amat gebetannya om-om. Makanya, jangan kelamaan jomblo. Dah setahun sendirian jadi seneng om-om," baas Unin memggoda, mereka tertawa bersama. Akhirnya mereka sepakat untuk mendatangi sebuah Mall di Bandung. Memang sedang ada pameran yang di buat untuk memperkenalkan apartement baru di area kota.

"Eh, ada cowok ganteng arah jam tiga!" Lola mencolek pinggang sahabatnya sembari memberi kode dengan lirikan ke arah kanan. Unin pun menoleh dan memandang lelaki berkemeja abu tua yang dilipat dibagian lengan, rambutnya yang ikal sebahu diikat nya dengan rapi. Rahang kuat menjadikannya lelaki yang maskulin seperti model yang biasa ada di majalah fashion."Duh, apakah ini jalanku untuk melupakan Ali? Allah baik banget ya, ngasih pemandangan indah ini didepan mata." bisiknya pada Lola.

Lola pun melirik sahabatnya dan berkata, "Sikat, Nin. Mode tempur nih, jangan sampe lolos!"

Tiba-tiba lelaki itu beradu pandang dengan Unin, membuatnya jadi salah tingkah. Unin langsung mengalihkan pandangannya dengan kikuk. "La, laper. Makan ramen, yuk!" ajak Unin. Ia ingin pergi dari tempatnya sekarang agar tidak dipandangi terus oleh lelaki yang membuatnya kikuk.

"Lah, kok malah ngajakin makan. Gak mau usaha tuh sama yang bening didepan mata? Dia dah curi pandang tuh,"tanya Lola.

"Duh, aku malah kikuk nih. Nyali ciut diliatin dia. Kita makan aja dulu," balas Unin.

"Ya udah, yang di foodcourt atas, 'kan?" tanya Lola. Unin pun mengiyakan. Mereka naik ke lantai paling atas Mall tersebut untuk menyantap makan siang mereka.

"Lola...," seorang lelaki memanggil Lola dari jauh. Lelaki itu pun menghampiri kedua gadis yang sedang menikmati makan siang mereka.

Lola tersenyum sambil melambaikan tangan dan memberi kode agar bergabung dengan mereka.

"Lola..., Unin..., kenalin nih, namanya Devan. Arsitektur muda yang bakal jadi partner perusahaan kita buat perumahan baru daerah Utara nanti!" Ardi yang merupakan teman kerja mereka memperkenalkan lelaki yang mereka pandangi di bawah tadi. Mereka saling berjabat tangan dan berkenalan. Lalu kedua lelaki itu pun duduk dan bergabung dengan Lola dan Unin.

"Namanya lucu ya. Jarang ada yang namanya Unin." ujar Devan sambil menatap Unin yang semakin salah tingkah.

Lola mengerti kalau sahabatnya ini sedang kikuk. Itu berarti, Unin punya sinyal asmara terhadap Devan. "Unik 'kan, Van. Nama aslinya juga unik, Ayunindya Xantara. Unin tuh panggilan kesayangan." ungkap Lola.

Unin hanya tersenyum, entah kenapa lidahnya terasa kelu. Jantungnya berdegup kencang kala itu."Kenapa aku kayak ayam sayur gini, ya? Nin, jadilah diri kamu dengan mode ceria!" ungkapnya dalam hati.

"Unin lagi sakit tenggorokan? Tumben gak nyablak," goda Ardi.

"E-ehm..., sorry, lagi hemat suara sebelum konser." Unin mencoba untuk tak terlihat kikuk dihadapan Devan.

"Wah, kayaknya suaranya emang bagus ya. Kapan-kapan kita karaoke bareng, mau ya?" tanya Devan yang sedari tadi tatapannya tak pernah lepas dari Unin.

"Mau banget. Jangan kaget kalau denger Unin nyanyi, suaranya kayak Agnes Mo!" ujar Lola yang sedang mempromosikan sahabatnya agar terlihat hebat di depan Devan.

"Agnes apa? Agnes Mo nyolong? Jangan percaya Lola, dia suka hiperbola. Tapi karaoke barengnya aku setuju." ujar Unin sambil tersenyum tipis. Unin memang cantik dan menarik. Salah satu kelebihannya selain pintar dan wawasannya luas. Walau hanya kuliah sampai jenjang D-3 di jurusan Ekonomi di salah satu Universitas ternama di kota Bandung, ia juga belajar Public Speaking, jadi cukup mudah untuknya berkomunikasi dengan siapapun dan itu kenapa, ia mudah mendapat konsumen.

"Kalau gitu, boleh dong minta nomernya?" pinta Devan.

Unin merogoh kartu nama dari dalam dompetnya dan memberikannya pada Devan.

"Jadi cuman Unin doang yang dimintain nomer telefon, aku gak nih?" goda Lola.

"Jangan khawatir, aku adil kok! Mana punya Lola?" Devan mengulurkan tangannya meminta kartu nama Lola.

"Eh, aku duluan ya. Ada konsumenku dibawah." ujar Ardi dan berlalu pergi. Sedangkan Devan masih menemani para gadis.

"Kalian tinggal dimana?" tanya Devan.

"Aku tinggal di Cikutra, kalau Unin tinggal di daerah Dago. Kamu?"

"Rumahku di Setiabudi." jawab Devan.

Kedua sahabat itu saling melirik, seakan mereka punya telepati untuk berkomunikasi tanpa berkata-kata. Keduanya berpikir bahwa Devan pasti bukan orang sembarangan. Rumahnya pasti berada dikawasan yang bisa dibilang elit. Dari penampilannya pun terlihat karena apa yang dipakainya adalah merk-merk terkenal. Mereka berbincang santai sampai akhirnya membubarkan diri untuk kembali bekerja.

-----

Saat Unin sedang bersantai di sore hari di rumahnya sehabis bekerja, ponselnya berdering dengan nomer yang tidak dikenal.

"Halo..., dengan siapa ini?" tanya Unin.

"Devan. Gak ganggu 'kan aku nelefon kamu?" Suara maskulin itu menggetarkan hati Unin.

"Gak. Lagi rebahan aja sambil nonton TV." ujar Unin.

"Sabtu ini ada acara, gak? Aku mau ajak nonton." ajak Devan.

"Dia ngajak kencan?" dalam hati Unin bertanya-tanya, "Emh, gak ada. Ini cuma kita berdua atau ajak Lola nih?" Unin memastikan apa pikirannya sama dengn yang dimaksud oleh Devan.

"Sepupuku baru datang dari Jogja. Jadi kalau nontonnya cuman berdua sama dia kan, gak seru." ujar Devan.

Luntur sudah harapan Unin yang sesaat tadi berpikir kalau Devan mengajaknya kencan. "Boleh, nanti aku ajak Lola."

"Makasih. Lusa aku kabarin nonton jam berapa dan dimana, ya!" ujar Devan.

Telefon pun ditutup. Walaupun bukan kencan, entah kenapa ajakan Devan membuat hatinya senang. Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponselnya.

[Nin, tolong aku! Jemput aku di Terminal Leuwi Panjang. Aku tunggu di rumah makan 'Salero Minang'. Jangan kasih tahu siapa-siapa apalagi mamaku, ya! Aku pinjam ponsel orang ini. Please... Jemput aku! Queenara.]

Queenara adalah sepupu Unin yang dekat dengannya dulu. Sembilan tahun sudah mereka tidak saling berkomunikasi setelah Queenara menikah dan pindah keluar kota. Ada apa sebenarnya? Sampai Queenara mengirim pesan seperti itu?

-----

avataravatar
Next chapter